Episode XIV

3.2K 401 23
                                    


Rani pertama kali muncul dalam pandangan mata Alya saat perempuan itu sampai di rumah ini. Sejauh matanya memandang, tidak ada satupun pemilik rumah ini yang telah sampai dari aktivitas hariannya-termasuk Prana.

Rani telah sampai sejak siang. Tidak seperti biasanya. Alya selalu menduga jika perempuan seperti Rani akan menghabiskan sisa waktu kuliahnya bersama teman-teman kampusnya.

Mata Alya menengadah. Di langit, cahaya menghamburkan sisa-sisa daya dengan frekuensi lebih rendah. Jingga yang bergerak lurus melewati atmosfer mempercantik langit Kota Jakarta sore ini.

Perempuan itu kembali merenung. Ucapan Retno kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Ada sesuatu yang menyakitkan dari ucapan ibu mertuanya. Luka yang sampai saat ini masih begitu terasa menghimpit dadanya.

Bagi Alya, pernikahan yang kuat berpondasi pada cinta dan tanggung jawab. Keduanya mampu menyangga sisi-sisi lain dari indahnya pernikahan. Cinta dan tanggung jawab juga mampu menjadi penghalang bagi masalah yang kelak akan menerjang. Alya percaya hal itu.

Ketika akhirnya menyadari jika kedua orangtuanya tidak pernah menikah, Alya paham akan satu hal. Ada hal di antara cinta dan tanggung jawab yang tidak dimiliki keduanya. Mereka pernah bersama-mungkin pernah saling mencintai. Mereka tidak pernah menikah. Alya yakin jika ibunya tahu siapa laki-laki yang menghamilinya. Ketidakadanya rasa tanggung jawab membuat keduanya seakan lepas dari akibat perbuatan mereka.

Alya merasakan bagaimana kuatnya rasa tanggung jawab Prana kepadanya. Laki-laki itu memberikan seluruh hal terbaik yang dimiliki padanya. Perhatian, kasih sayang, dan nafkah-baik lahir maupun batin. Tapi, Alya justru meragu soal cinta.

Kalimat mama mertuanya berputar seperti kaset di kepalanya. Segala keyakinan akan cinta Prana padanya mendadak memudar. Alya bahkan sangat tidak yakin dengan hipotesisnya sendiri. Prana mencintainya? Itu terdengar konyol bila mengingat ucapan Retno tadi malam.

"Ada apa?" suara Rani menggema di udara.

Alya mendongkak. Menatap perempuan yang tengah berdiri menghadap sebuah kamera kecil. Perempuan itu sedang membuat video. Marisa kenal Rani. Temannya mengenal Rani yang cukup popular di kampus. Juga seorang selebgram yang followers-nya mungkin paling banyak di antara mahasiswa di kampusnya.

"Kamu lagi buat apa?" tanyanya.

Ini pertama kalinya ia berada hanya berdua dengan adik iparnya. Hubungan yang terasa canggung. Ada jarak di antara hubungan mereka. Jarak yang membentang-bagi Alya terasa sangat jauh.

"Endorse," jawabnya singkat.

Alya sudah bersiap jika perempuan di hadapannya akan melanjutkan kegiatannya. Seperti tidak peduli dengan kehadirannya-seperti yang selama ini dilakukannya. Nyatanya, Rani justru menatap Alya.

"Kamu di Paris ke mana aja?" tanyanya.

Butuh waktu beberapa detik bagi Alya untuk menyadari pertanyaan Rani sebelum akhirnya ia menjawab. "Cuma di kotanya aja. Kan, Kak Prana masih harus kerja."

Rani justru menyepitkan matanya. Pandangan penuh keraguan pada Alya. Ia tidak berbohong. Alya mengatakan hal sebenarnya. Tapi, Alya mengabaikannya.

"Aku harus edit video ini," katanya.

Alya tahu itu sebuah pengusiran secara halus. Ternyata masih sama. Rani enggan berbagi dengannya. Bahkan, meski itu hanya sekadar tempat besar di halaman belakang ini.

"Oh, oke. Aku akan ke kamar,"

Alya baru akan berbalik, ketika sebuah suara menginterupsinya. Rani memanggilnya dengan suara yang amat pelan. Jarak yang dekat di antara keduanya membuat telinga Alya mampu menangkap panggilan Rani.

"Harusnya Noëlle yang ada di posisimu sekarang."

Tubuh Alya mendadak kaku. Bibirnya tidak mengucapkan apapun. Alya hanya terus menatap perempuan sebaya dengannya. Rani juga tengah menatapnya.

Tatapan penuh kemarahan dan kesedihan. Alya melihat itu. Di antara rasa marah yang bergelayut dalam sorot mata Rani, ada kesedihan yang tersembunyi di sana. Ia hanya tidak mengerti untuk alasan apa rasa sedih itu muncul dalam diri Rani. Ia tidak paham.

"Harusnya Noëlle yang nikah dengan kakakku, bukan kamu," katanya lagi. "Delapan tahun mereka bersama. Harusnya yang menjadi istri Kak Prana adalah Noëlle. Bukan kamu yang baru dikenalkan." Rani selalu menekankan setiap kalimat yang diucapkannya.

"Aku...," hanya itu yang mampu keluar dari bibir Alya. Lidah perempuan itu terlalu kelu untuk mengeluarkan apa yang berkecambuk dalam hatinya. Tentang pembelaan dan alasannya ada di tempat ini. Tentang Prana yang juga memilihnya untuk menjadi istrinya.

"Orangtuaku menyukai Noëlle. Aku juga menyukainya," katanya lagi.

Ada keheningan yang menyergap keduanya. Banyak hal yang mengaduk-aduk perasaan Alya. Ia berusaha menahan gejolak air mata yang hendak turun dari kelopak matanya. Ia tidak boleh menangis. Setidaknya di hadapan Rani, ia harus terlihat kuat.

Maka, Alya hanya tersenyum. Ia hanya berucap, "Maaf."

Ketika Alya baru beberapa langkah meninggalkan tempat penuh sesak itu, suara Rani kembali menginterupsi.

"Tidak ada satu orangpun di rumah ini yang mau menganggapmu istri Kak Prana."

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now