Episode XLVI

6.7K 449 36
                                    

Selamat menikmati....




Alya tidak pernah berpikir jika kesempatan yang ia berikan adalah perjalanan ke tempat ini. Seminggu adalah waktu yang ia berikan untuk suaminya. Ia ingin melihat sejauh mana Prana dapat mempertahankan rumah tangga mereka. Dalam benaknya, ada perlakuan Prana untuk membuktikan kesiapannya untuk terus menjadi suami Alya.

Tiga hari pertama setelah adegan di dapur itu, Prana menghilang. Laki-laki setiap hari memang menelepon Alya. Bertanya tentang kondisi Alya dan juga banyak hal. Mereka berbicara-lebih sering Prana yang bertanya dan Alya hanya menjawab. Tiga puluh menit adalah waktu minimal yang Prana luangkan untuk meneleponnya.

Aku harus menyelesaikan pekerjaan di pabrik, Al. Setelahnya, aku akan memanfaatkan sisa waktu empat hari itu.

Hanya itu yang diucapkan Prana padanya. Mungkin, Alya yang terlalu sering menonton film dan membaca buku romantis. Membayangkan romatisme yang dilakukan Prana membuatnya malu sendiri. Makan malam romantis, sebuket bunga mawar merah yang cantik, gaun, atau kalung yang indah. Semua itu membuatnya senyum-senyum sendiri. Nyatanya, tidak ada satu barang pun yang diberikan laki-laki itu.

Alya justru kelimpungan sendiri. Ia merasa seperti remaja labil yang baru saja jatuh cinta kembali. Menunggu tiap malam-saat suaminya meneloponnya. Seringkali uring-uringan sendiri jika belum ada panggilan meskipun jam di meja telah menunjukkan angka tujuh.

Sekarang, Alya semakin bingung. Perjalanan panjang ini seakan menimbulkan pertanyaan baru di kepalanya. Bagaimana bisa kesempatan itu justru datang ke tempat yang ingin Alya hindari? Sesaat, perasaan meragu justru muncul di hati Alya. Apa suaminya serius saat meminta kesempatan padanya?

Prana tidak mengatakan banyak hal pada Alya. Di hari keempat, laki-laki itu hanya meminta Alya berkemas. Gunakan koper jangan tas travel. Seperti itulah pesan Prana untuknya. Laki-laki itu bahkan tidak mengindahkan pertanyaan Alya mengenai tujuan mereka. Saat di Bandara Soekarno Hatta-di hari kelima kesempatan, Alya tahu ke mana mereka akan melangkah.

"Kak," panggil Alya.

Mereka baru saja turun dari pesawat dan sedang berada di taksi. Alya merasa lebih percaya diri dengan kondisi tubuhnya yang tetap stabil meskipun belasan jam berada di burung besi. Ia tidak lagi mabuk perjalanan seperti dua tahun lalu.

Prana yang duduk di sampingnya menoleh. Laki-laki itu menatap istrinya. Ia tersenyum ketika matanya menangkap wajah bingung Alya.

"Sebenarnya kita ke sini mau ngapain?" tanya Alya.

"Aku mau memaksimalkan kesempatan dua hari tersisaku," jawab Prana.

Jawaban yang sama sekali tidak memuaskan bagi Alya. Tapi, pada akhirnya, ia tetap mengalah. Ia menyandarkan tubuhnya di jok taksi yang terasa empuk. Ia membiarkan telinganya menangkan perbincangan Prana dengan supir taksi yang tidak dimengertinya.

"Al," panggil Prana. "Itu," tangannya menunjuk bangunan besar di tengah hamparan rumput hijau yang luas. "Itu pabrik wine tertua di sini."

"Alya enggak minum wine, Kak," desisnya.

"Aku enggak ngajak, kok. Cuma kasih tahu. Mana tahu di sidang skripsi kamu ditanya dosen penguji."

"Alya enggak ambil sejarah Mittelbergheim. Skripsi Alya tentang sejarah Asia Tenggara!" katanya penuh penekanan.

Prana justru tertawa mendengarnya. Ah, sudah lama ia tidak mendengar kalimat panjang yang keluar dari bibir istrinya. Rasanya benar-benar menyenangkan.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now