Episode II

6.2K 630 21
                                    


Hallo, terima kasih yang kemarin sudah memberikan votes dan komentar. Semoga cerita ini bisa mengurangi kebosanan kalian di rumah. Stay at home, ya. Hatur nuhun.


Rumah Alya berada di kawasan Salemba. Di ujung Jakarta Pusat, berdiri kokoh bangunan rumah dengan lebar delapan meter. Rumah itu peninggalan orangtua kakeknya-yang tidak pernah dilihat secara langsung oleh Alya. Gaya khas rumah Belanda tempo dulu. Bangunan lantai satu yang menjulang panjang ke belakang. Atap melengkung menjadi ciri khas bangunan bercat putih ini. Ada serambi di depan. Untuk mencapainya, melewati halaman yang cukup panjang-hampir sepuluh meter. Di halaman itu, ada pohon mangga.

Alya menikmati waktu senggangnya dengan mengurusi tanaman di halaman depan rumah. Bukan mawar, anggrek, atau melati yang membuat pekarangan itu harum semerbak. Di tanah hijau itu, tumbuh segala jenis sayuran. Perempuan muda itu memanfaatkan lahan sisa rumah kakek untuk memenuhi kebutuhan dapurnya. Lumayan menghemat uang belanja.

Sore ini, Alya berjalan sekitar sepuluh menit setelah turun dari Transjakarta untuk mencapai rumahnya. Berjalan lurus di jalan besar. Cukup strategis. Tangannya membuka pagar yang tidak digembok. Pagar hitam yang tingginya hanya seratus sentimeter.

"Assalamualaikum," Alya mengucapkan salam ketika melihat kakek di hadapannya. Laki-laki paruh baya itu sedang menyiram menggunakan selang yang dihubungkan dengan keran air di dinding pendek tempatnya menaruh Kijang tuanya.

"Walaikum salam," balas kakek.

Alya mencium tangan kanan kakek. Wajah laki-laki itu seketika tersenyum. Wajahnya teduh melihat cucu perempuannya. Perempuan belahan jiwanya.

"Daun pandannya udah banyak banget, Al," kata kakek.

"Iya. Mpok Wati cuti dagang, kek." Alya menyebut nama tetangga belakang rumah mereka yang rutin meminta daun pandan untuk membuat kue.

"Kamu coba kasih siapa, Al. Ini sayang banget kalau layu. Setiap pagi sore disiram tapi dibiarin mati," katanya panjang lebar.

"Iya, Kakek."

"Sekarang, kamu mandi. Pakai baju yang rapi dan bagus," cerocosnya. Kakek mematikan keran. Ia menggulung selang dan menaruhnya di kotak kayu samping keran.

"Emang kita mau ketemu siapa sih, Kek?" tanya Alya. Tangan perempuan itu menggandeng kakek dan membawanya masuk ke rumah.

Di ruang tamu yang merangkap ruang menonton-cukup luas, ada sofa kayu hijau muda. Sebuah sofa panjang dan dua sofa single. Kakek mendudukkan tubuhnya di sofa single. Sedangkan Alya menaruh bokongnya di sofa panjang. Ia menaruh tas ranselnya di samping-dan membawa bantalan sofa dalam pangkuannya.

"Kita mau ketemu teman SMA kakek."

Alya mengangguk. "Iya, maksud Alya, kita ke sana ngapain?"

"Makan malam, reuni. Dia, tuh, susah banget ketemunya. Kalau siang sibuk kerja."

"Emang teman sekolahnya Kakek masih kerja? Belum pensiun?"

"Dia pengusaha. Punya usaha produksi kain. Usahanya besar. Kainnya sering diekspor ke Korea dan Asia Timur."

Alya mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak membayangkan seperti apa sosok teman kakeknya. Kakeknya memiliki banyak teman-di masa sekolah dan saat masih menjadi ASN di Kementerian Pertahanan. Tapi, mengingat masih bekerja di usia yang hampir 70 tahun, sedikit bayangan tentang sosok itu.

Pasti seorang pekerja keras.

"Dah, mandi sana."

Alya mengangguk dan meninggalkan kakek menuju kamarnya.

***

Keremangan malam menyambut Alya dan kakek ketika sampai di sebuah rumah besar di kawasan selatan Jakarta. Bangunan yang didominasi cokelat muda diselimuti keheningan. Tidak ada suara kecuali hembusan angin. Pohon palem yang berjejer di halaman depan bergerak tertiup angin.

Muncullah laki-laki paruh baya menyambut kedatangan mereka. Sosok bertubuh tinggi, wajahna putih-yang Alya yakini jika laki-laki itu pasti tampan di masa mudanya.

"Hamid," laki-laki itu berucap menyebut nama kakek.

Mereka berpelukan. Inilah pelepasan rindu kedua laki-laki di masa senjanya. Ada kerinduan yang terpancar dari sorot mata keduanya. Binar yang justru membawa mereka mengingat masa di mana kumpul terjadi saat istirahat dan pulang sekolah.

Alya tersenyum melihatnya. Mungkin-kelak-dirinya akan melakkan hal yang sama. Binar di matanya juga sama seperti yang ia lihat dari mata kakek. Ketika ia dan Marisa kembali bertemu di masa tua mereka.

"Ini pasti Alya," Kakek Ali mendatangi Alya.

Perempuan muda itu mengangguk. Tangan kanannya terulur mencium tangan teman kakeknya-bentuk penghormatan dan kesopanan. Ia antas memperkenalkan dirinya dengan sopan. Itu membuat Kakek Ali tersenyum senang.

"Ayo masuk. Makan malam sudah siap," katanya mempersilakan.

Mereka berjalan beriringan menuju ruang makan. Alya mengekor di belakang. Ia tampak kaum dengan rumah tersebut. Atap tinggi dengan banyaknya kaca di setiap dinding pembatas menambah kesan luas. Di sisi dinding ruang tamu, mata Alya menangkap figura besar. Ada Kakek Ali duduk berdampingan perempuan yang sebaya-sepertinya istrinya. Ada dua pasang orang middle ages. Laki-laki menggunakan jas lengkap dengan dasi. Perempuan menggunakan kebaya modern. Di sampingnya, ada lima orang yang usianya lebih muda. Terakhir, ada tiga anak kecil di tengah mereka.

Ruang makan bersisian dengan halaman belakang. Bunga-bunga tumbuh cantik. Warna cerahnya terpancar lewat cahaya rembulan. Alya salah. Tidak semua rumah besar milik orang kaya ada kolam renangnya.

"Ayo, duduk," kata Kakek Ali.

Bayangan tentang makan dengan orang-orang yang wajahnya ada dalam figura besar muncul dalam benak Alya. Pikirannya menebak tentang banyaknya keluarga Kakek Ali yang ikut ke dalam acara non-formal ini. Pemikiran yang sirna begitu saja ketika mata Alya menangkap sosok muda-tapi sepertinya jauh lebih dewasa darinya-duduk di salah satu kursi makan.

Ketika Alya asyik memandangnya, tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Tatapan wajahnya tajam. Tapi, itu bukan jenis tatapan intimidasi yang membuat nyali Alya menciut. Perempuan itu langsung mengalihkan wajahnya. Ia malu bertatapan seperti itu dengan laki-laki. Seolah ia seperti ditelanjangi.

"Ini cucuku yang ketiga," kata Kakek Ali. Lewat matanya, ia menyuruh cucu laki-lakinya berdiri. "Namanya Mahaprana. Biasa dipanggil Prana."

Setelah acara perkenalan singkat itu, mereka langsung menikmati makan malam.

Alya berpikir jika makanan ini mungkin saja dimasak oleh salah satu asisten rumah tangga. Pasti banyak ART yang mengurusi rumah besar ini. Capek juga jika harus menyapu dan mengepel setiap hari.

Makan malam terasa sepi. Tangan mereka sibuk menggunakan sendok dan garpu untuk menyendokkan makanan ke dalam mulut. Tidak ada yang berbicara satu sama lain. Semuanya terlihat menikmati hidangan lezat yang tertata di meja panjang itu.

"Prana baru kembali dari Perancis. Sejak kuliah tinggal di sana. Kusuruh balik untuk mengurusi pabrik. Kakeknya punya usaha kain, dia malah ngurus kain perusahaan orang," kata Kakek Ali.

Prana hanya terdiam meskipun malam itu dirinya menjdi tokoh utama. Namanya sering muncul-diucapan oleh kakeknya sendiri. Pandangannya melihat pada gadis yang duduk di samping teman kakeknya.

Sangat muda dan lemah. Ia meyakini itu dalam hatinya. Hanya dua kata itu yang terlintas dalam otaknya saat melihat perawakan perempuan muda di hadapannya.

"Usianya 31 tahun. Enggak masalah, kan, Alya?"

Alya menajamkan pendengarannya. Ia menatap kakeknya bingung. Usia dan permasalahann dengannya? Otak Alya serasa tumpul saat itu. Ia tidak bisa berpikir jauh.

"Prana sedang mencari istri. Kamu mau, kan, menikah dengan cucu kakek?

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now