Episode XXXIX

4.5K 441 37
                                    

Selamat menikmati. Jangan lupa berikan komentar dan votes kalian.




Orchard Road membentang sepanjang 2,2 km.

Jalan itu tampak berbeda dari yang Alya bayangkan. Di sebelah kiri Alya, mall dan hotel berjejer rapi-membentang sepanjang jalan itu. Di sebelah kanan, justu pohon-pohon yang menjulang tinggi. Ada hiasan di pohon-pohon itu. Mungkin lampu yang akan mempercantik jalan ini di malam hari.

Semakin jauh ia berjalan, semakin banyak keramaian yang dilihatnya. Jam di tangannya menunjukkan pukul empat sore. Banyak orang yang berlalu lalang di jalan tersohor di Singapura ini. Hanya, Alya justru merasakan kesepian yang teramat.

Di depannya, Marisa terus berceloteh dengan Mario. Perempuan itu seolah takjub dengan apa saja yang dilihatnya. Benar-benar seperti orang yang baru pertama kali ke tempat ini. Padahal, Alya tahu jika Marisa telah beberapa kali liburan ke negara ini bersama keluarganya.

"Suer, Kak. Kalau ke Singapura, enggak pernah ke sini. Bunda takut khilaf belanja. Secara, di sini banyak banget mall," cerocos Marisa.

Alya tersenyum mendengarnya. Di sampingnya, Ratu menyentuh bahunya. Itu membuat Alya menoleh meskipun tetap melangkah pelan mengikuti dua orang di depannya. Ada banyak pertanyaan yang ada di balik tatapan Ratu.

"Dinikmati, Al," kata Ratu.

Alya hanya mampu mengangguk. Mulutnya seperti enggan mengeluarkan suara. Rasanya terlalu lelah meskipun hanya berucap singkat.

Ini minggu kedua kakeknya di rawat di rumah sakit Negeri Singa ini. Belum ada perkembangan berarti. Kakeknya masih mendapat perawatan intensif. Belum juga membuka matanya meskipun hanya sebentar.

Setelah minggu lalu pulang, mereka semua kembali di Jumat sore. Datang mengunjunginya dan membantunya merawat kakek. Di setiap weekend itu pula, mereka mengajak Alya keluar. Minggu lalu, Mario mengajaknya, Marisa, dan Ratu ke Disneyland. Mereka terus membuat Alya mengalihkan sedikit saja pikirannya dari masalah kesehatan Kakek Hamid dan kondisi rumah tangganya yang di ujung tanduk.

Nyatanya tidak berhasil. Setiap kali mencoba menyingkirkan wajah Prana, sosok itu selalu muncul dalam pikirannya. Wajah Prana seperti bayangannya yang selalu mengikuti setiap langkah Alya.

"Wow, Singapore's ice cream," Marisa bergumam sambil melihat penjual es krim jalanan.

Ini seperti pedagang kaki lima. Tapi, di sisi "gerobak" penjual itu selalu ada kertas yang menunjukkan perizinan berdagang. Jadi, tidak perlu berjibaku memindahkan dagangan bila ada Satpol PP. Negara yang teratur.

Mereka memesan es krim seharga 1,2 dolar Singapura. Cukup terjangkau bila dibandingkan harga di restoran di jalan ini. Potongan es krim yang ditaruh di tengah roti tawar seperti layaknya sandwich.

Alya dan Ratu lebih memilih duduk. Marisa dan Mario menikmati es krim itu sambil berdiri untuk melihat penampilan musisi jalanan. Sekelompok anak muda yang memainkan musik-yang sangat menghibur. Tidak ada paksaan untuk memberikan uang pada mereka.

"Mereka beneran pengamen, Kak?" kalimat panjang itu akhirnya muncul dari mulut Alya. Perempuan itu mungkin bingung dengan penampilan orang-orang yang bermain musik itu. Pakaian yang cukup bagus dan trendi. Justru terlihat seperti seseorang penyanyi kafe. Sangat modis.

Ratu mengangguk. "Tapi banyak juga mahasiswa yang ngamen di sini. Biasanya buat cari uang tambahan," tambah Ratu.

"Om Bayu nyariin kamu," kata Ratu. Mulutnya kembali ia masukkan potongan es krim. Rasa manis, dingin, dan kelembutan roti tawar berpadu di mulutnya.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now