Episode XXVIII

3.4K 400 32
                                    

Baiklah, sore ini, aku posting kelanjutan cerita Prana dan Alya agar kalian enggak penasaran. Jangan lupa berikan bintang dan komentarnya. Selamat menikmati dan hatur nuhun.



Restaurant La Train Bleu at 8 P.M.

Prana membacanya sekali lagi pesan yang ia kirimkan pada Noëlle. Berkali-kali membuka ponsel dan mengeceknya. Ia hanya takut jika matanya salah membaca pesan yang ia kirimkan pagi tadi.

Sepertinya sudah benar. Ia bergumam pada dirinya sendiri. Laki-laki itu melirik jam dinding di apartemennya. Sudah lewat pukul tujuh malam. Ia harus segera bergegas.

Jean menemukan Prana di apartemen laki-laki itu. Ia melihat sahabatnya sudah begitu rapih dengan jas dan sepatu hitamnya. Rambutnya dibuat lebih klimis. Dan, ia melihat sendiri bagaimana tangan laki-laki itu gemetar memegang kotak beludru merah.

Tapi, Jean tidak pernah berhenti tersenyum melihat raut bahagia laki-laki itu. Hatinya menghangat menyadari kebahagiaan apa yang menyelimuti Prana. Laki-laki itu akhirnya memutuskan melamar Noëlle-kekasih yang telah bersama Prana selama delapan tahun. Prana akan menghabiskan sisa hidupnya bersama perempuan yang teramat dicintainya.

Prana akan menjadi laki-laki beruntung karena bisa menikah dengan perempuan yang dicintainya.

"Jadi, ini sudah waktunya," Jean memecah keheningan dengan mengucapkan kalimat itu dengan bahasa Prancis.

"Ya, setelah delapan tahun menunggu," balas Prana.

Jean mengangguk. Prana telah menghabiskan dua belas tahun hidupnya di negara ini. Hanya pulang ke Indonesia selama sebulan setiap tahunnya-saat perayaan Idul Fitri. Dengan mata terpejam, orang yang mendengar suara Prana akan menganggap laki-laki itu adalah orang Prancis. Aksen laki-laki itu seraya penduduk asli negara ini. Noëlle bilang cara Prana berbicara bahasa Prancis selalu terdengar seksi. Katanya, itu seperti ajakan untuk mencium bibir laki-laki itu.

"Apa menurutmu Noëlle akan menerimanya?" tatapan Prana justru berbanding terbalik dengan senyum yang sejak tadi mengalun di bibir laki-laki itu.

Jean menggeleng. Katanya, "Dia pasti menerimamu. Kamu tahu betul bagaimana besarnya rasa cinta Noëlle padamu." Ia kembali mengingatkan lagi.

Prana mengamini. Ia berharap seperti itu. Momen di masa dirinya akan menghabiskan sisa hidupnya bersama Noëlle terus saja membuat dadanya berdetak tidak karuan. Noëlle yang dicintainya delapan tahun lalu. Noëlle yang akan terus dicintainya hingga akhir hidupnya.

Laki-laki itu menyimpan kotak kecil itu ke saku celananya. Ia membawa semua keyakinan yang dimilikinya malam ini. Di restoran yang telah dipesannya minggu lalu, ia akan mengutarakan niatnya pada gadis yang dicintainya.

"Jadilah istriku, Noëlle."

Prana tersentak. Ia mengerjapkan matanya dan memandang ke sekitarnya. Suara pilot berkumandang di pesawat. Instruksi untuk tetap berada di kursi dan menggunakan seatbelt. Ia melihat pramugari berjalan untuk mengecek agar tirai jendela tetap dalam kondisi terbuka.

Kepala Prana masih sedikit berdenyut saat turun dari pesawat. Ini efek jetlat. Belasan jam di burung besi membuat perutnya bergejolak. Ia tidak banyak makan di pesawat tadi. Prana tahu jika itu bukan tentang tubuhnya yang berada di ketinggian 3.500 kaki lebih. Ini tentang ke mana tujuannya setelah ini.

Ia berjalan menyusuri Strasbourg Airport. Keramain orang-orang di sana seolah hanya menjadi bayangan semu di mata Prana. Laki-laki terlalu fokus untuk segera menuju tempat pengambilan bagasi. Ada koper hitam besar yang disiapkan Alya. Jas dan kemeja yang sebenarnya tidak akan digunakannya. Tapi, demi menjaga kepercayaan istrinya, Prana mengikutinya.

Tangannya yang satu membawa sebuah buku kecil. Itu buku agendanya. Berisi segala hal kegiatan Prana. Ia membuka halaman pertama. Rute kereta menuju Mittelbergheim. Tapi, Prana tidak memiliki banyak waktu untuk mengantre tiket, menunggu kereta dan berganti rute. Ia lantas segera beranjak menuju pemberhentian taksi. Duduk di jok belakang dan menyebutkan sebuah nama tempat yang sangat dihafalnya.

Prana menyandarkan tubuhnya. Matanya terpejam. Dalam kegelapan pandangannya, Prana dapat merasakan keindahan kota kecil itu, Mittelbergheim. Sejuknya desa yang berada di bawah kaki Gunung Saint Odile. Inilah desa kecil di Alsace yang menjadi salah satu penghasil wine terbaik.

Ada hal yang membuat Prana selalu tergiur untuk kembali ke kota kecil ini. Dibanding Itterswiller atau Riquewihr, Mittelbergheim tergolong sepi dari wisatawan. Prana bisa menikmati hari-harinnya dengan kesunyian yang membuatnya tenang. Jelas jauh berbeda dari megahnya hiruk pikuk Paris.

Prana membuka matanya. Ia menoleh melihat hamparan hijau di kiri jalan. Di ujung hamparan itu ada bangunan besar. Inilah pabrik wine tertua di kota kecil ini. Rasa wine yang terasa begitu lezat saat menyentuh ujung lidahnya. Tenggorokan laki-laki itu terasa kering. Ada yang tersendat di sana.

Di tempat inilah, salah satu kenangan terbaiknya terus muncul dalam pikirannya. Senyum dan tawa yang menggema di telinganya. Saat tangan itu menjulurkan segelas wine padanya. Mulut itu menjelaskan tentang wine dan sejarah gedung tua ini-seolah dalam otak perempuan itu sudah lama dijejali dengan riwayat desa ini.

Mengecap rasa wine yang terus diingatnya. Itu membangkitkan segala memorinya dalam delapan tahun terindah hidupnya. Kini, saat kesadaran membawanya kembali, yang tersisa hanya rasa sesak di dadanya.

Suara pengemudi taksi membuat Prana tersentak. Ia kembali ke realita. Di depannya, laki-laki itu bertanya tujuan yang akan dituju Prana karena taksi sudah memasuki kawasan Mittelbergheim.

Banyaknya bangunan berwarna cokelat muda membuat bibir Prana menyunggingkan senyum. Inilah desa yang selalu membuatnya rindu. Rasa kerinduan yang selalu menggebu setiap kali ke tempat ini.

Taksi berhenti di sebuah rumah bernuasa cokelat layaknya rumah-rumah di daerah ini. Ada bunga berwarna-warni di sini. Menghiasi dan memberi kesegaran bagi pemilik rumah.

Saat Prana baru saja turun dari transportasi itu, di sanalah sosok yang menunggunya selama ini. Perempuan itu berdiri di bawah kaki tangga. Perempuan yang kini tengah menatapnya dengan penuh kerinduan.

"Prana," panggil perempuan itu.

Prana tidak perlu menunggu kedua kalinya untuk segera menjatuhkan tas yang dipegangnya dan berjalan ke arah perempuan itu. Tubuh Prana segera luruh ketika perempuan itu memeluknya erat. Prana tidak bisa memungkiri hidupnya jika saat ini ia menangis. Air matanya jatuh ketika tangan perempuan itu mengalun erat di pinggangnya.

"Tu me manques, Prana."

***

Cuplikan episode berikutnya:

Ratu menggeleng. "Gue dikasih tahu Kakek Ali. Prana cuti buat jalan-jalan ke Belanda sama istrinya."

"He was lie, Ratu."

"Who?" tanya Ratu kebingungan. "Oh, I see. Tapi buat apa?"

"Karena dia mau nemuin mantan calon istrinya," jawab Mario sarkas.

Mario melangkah ke dalam. "Kalau Prana terus menyakiti Alya, biar gue yang membahagiakannya," bisik Mario.



Oh, oh, oh.... Prana pintar bohong juga.

Sampai jumpa di episode berikutnya. Doakan semoga ide terus mengalir ya biar cepat update lagi.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now