Episode XII

3.3K 402 21
                                    

Back to Jakarta. Mereka kembali setelah menghabiskan honeymoon di Paris. Terima kasih sudah menunggu cerita. Aku akan senang jika kalian mau meluangkan jari kalian untuk memberikan votes dan komentar. Itu akan menambah semangat menulis. Kalian juga bisa mem-follow akunku untuk melihat ceritaku lainnya. Selamat menikmati.




Adalah wajah Kakek Hamid yang membuat hati Alya berbunga-bunga setelah kembali ke Jakarta. Menghabiskan waktu selama enam minggu di negara orang lain bukan hal mudah. Bahasa menjadi salah satu kesulitan Alya dalam beradaptasi. Tinggal di kota besar seperti Paris-di mana banyak masyarakatnya dapat berbicara bahasa Inggris nyatanya tetap membuat Alya terkucil. Menurut Prana, orang-orang Perancis sangat bangga dengan bahasanya sendiri. Mereka tidak akan menggunakan bahasa Inggris kalau tidak terpaksa-seperti membalas ucapan turis. Suaminya lebih sering menggunakan bahasa Perancis-sering membuat Alya bingung karena tidak mengerti.

Sehari setelah sampai di Jakarta, mereka mengunjungi Kakek Hamid. Prana tahu jika Alya belum pernah selama ini meninggalkan rumah kakeknya. Komunikasi mereka hanya sebatas menelepon lewat telepon rumah. Kakek tidak bisa menggunakan ponsel. Mereka baru akan saling memandang lewat video jika Marisa sedang main ke rumah Kakek Hamid. Maka, rasa rindu Alya begitu membuncah.

Prana membiarkan Alya melampiaskan kerinduannya dengan memeluk erat kakeknya. Ia tahu kedekatan Alya berbeda dengan kedekatannya dengan kakek dan neneknya. Alya tidak memiliki orangtua-bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Ia banyak menghabiskan waktu dengan kakeknya. Interaksi keduanya layaknya seorang anak pada orangtuanya. Maka, kerinduan ini seperti layaknya anak yang rindu dengan ayahnya.

"Udah, Al. Malu sama suamimu," kata kakek sambil melepas pelukan Alya.

Perempuan itu terpaksa juga melepas pelukannya. Tangannya membawa kakek menuju ruang tengah rumah itu-yang menyatu dengan ruang tamu. Alya membuka segala oleh-oleh yang ia belikan untuk kakeknya. Itu membuat kakek mengernyit kebingungan sekaligus senang. Cucunya masih tetap sama. Alya masih senang memperhatikannnya.

"Alya ngerepotin kamu enggak, Prana?" tanya kakek yang membuat bibir Alya mengerucut.

"Enggak, Kek. Prana malah senang ditemani Alya."

Alya menunjukkan senyum bangga karena ucapan suaminya. Mereka berbincang sebentar. Lebih banyak Alya yang mengoceh mengenai kegiatannya di Paris.

Ia terlihat bahagia sekali. Kakek bisa melihat itu dari binar mata Alya yang memantulkan kebahagiaan perempuan itu. Hatinya tenang. Keputusannya menyerahkan cucu semata wayangnya pada laki-laki di hadapannya tepat. Prana membuktikan janjinya pada kakek di hari pernikahan mereka. Ia sanggup membuat Alya bahagia. Bahkan, terlampau bahagia.

Alya beranjak untuk memasak makan siang mereka. Tawaran Prana untuk makan di luar ditolaknya. Ia rindu memasak di dapur rumah ini. Lebih rindu untuk memasakkan kakeknya makanan-seperti dulu.

"Terima kasih, Prana," kata Kakek sesaat setelah melihat tubuh Alya menghilang dari pandangannya. "Terima kasih sudah membuat cucu kakek bahagia."

Ucapan Kakek Hamid seperti duri yang menusuk tepat di hatinya. Semua kebahagiaan Alya yang dilihat kakek hanya ilusi di mata Prana. Itu kebohongan yang entah sampai kapan ia simpan pada Alya. Perempuan berhati baik itu terlalu berharga untuk disakiti. Nyatanya, Prana belum mampu membagi hatinya untuk Alya.

Mencintai Alya adalah kemustahilan dalam hidupnya.

***

"Enak, Non," seloroh Mbak Atik-salah satu asisten rumah tangga Prana. Perempuan berusia akhir dua puluhan itu baru saja mencicipi ayam bakar buatan Alya. "Wah, Mbok Pur punya saingan, nih," candanya.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now