Episode XXI

3.7K 427 7
                                    

Jangan lupa berikan komentarnya. Hatur nuhun.



Marisa masih menatap Alya dengan penuh tanya. Perempuan itu terlihat tidak seperti biasanya. Matanya sembab-meski tidak begitu terlihat. Tapi, bagi Marisa yang telah lama mengenal perempuan di hadapannya, tahu betul Alya. Perempuan itu tidak sedang baik-baik saja.

Sejak sebelum menikah, Alya adalah tipe mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. Aktivitasnya hanya sebatas ruang kelas, perpustakaan, dan rumah. Kalau pulang malam biasanya untuk mengerjakan tugas.

Alya cukup bersahabat sebagai seorang teman. Ia mudah nyambung diajak diskusi. Tapi, hanya sebatas itu. Untuk menjadi teman akrabnya sangat sulit. Bukan sombong. Alya hanya membatasi diri dalam bergaul.

Persis ketika mereka bertemu di SMA.

"Ada apa, Al?" tanya Marisa memastikan.

Malam tadi, Alya mengiriminya pesan. Bertanya apakah Marisa mau datang pagi karena kelas pertama mereka baru di mulai jam sebelas siang. Pertanyaan itu tentu saja bukan khas Alya.

Alya menggeleng untuk menjawab pertanyaan sahabatnya. Ia berdiri di ruangan 4X4 meter itu. Berada di lantai dua. Berhimpitan dengan ruangan yang luasnya serupa.

Inilah Pusat Mahasiswa. Ruang-ruang UKM-Unit Kegiatan Mahasiswa-, semacam ekskul di SMA. Ruang-ruang itu berkeliling membentuk pola persegi panjang. Itu bersisian dengan kursi menjulang ke atas layaknya stadion. Di depan ruangan, dapat melihat lapangan cukup besar yang biasa digunakan untuk bermain futsal. Inilah pusat mahasiswa melakukan aktivitas selain akademik di ruang kelas.

Perempuan berambut sebahu itu berdiri. Tubuhnya melangkah gontai ke jendela. Di luar, ada wall climbing-tempat anak pecinta alam kumpul. Dadanya naik turun. Matanya memandang jauh ke depan.

"Gimana rasanya punya orangtua, Marisa?" katanya pelan.

Marisa tersentak. Pertanyaan macam yang diucapkan sahabatnya. Marisa tahu tentang latar belakang keluarga Alya. Tapi, haruskah pertanyaan itu keluar dari bibir perempuan di depannya.

"Pasti membahagiakan, ya?" tanya Alya retoris. Tubuhnya berbalik. Hanya ada Marisa di ruangan ini. Pagi hari, banyak mahasiswa baru memulai kelas. "Kamu enggak akan dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Mereka akan memandang kamu karena memiliki orangtua."

Perempuan berambut bergelombang itu berdiri. Ia menghampiri Alya. Memang ada sesuatu yang salah dari Alya. Sesuatu yang membuat Alya rendah diri karena kondisinya.

"Apa apa, Al?"

Alya berusaha menarik napas yang masih saja terasa sesak. Air mata jatuh ke pipi putihnya. Katanya, "Dari miliaran orang di dunia, kenapa harus aku yang menjadi anak haram!" Ia mengatakan itu dengan penuh emosi. Dadanya bergemuruh menahan luka yang terasa begitu dahsyat.

Anak haram.

Marisa mengenal frasa kejam itu. Anak haram-anak yang terlahir tanpa ikatan pernikahan. Seolah perbuatan haram dan dosa kedua orangtuanya harus diturunkan ke bayi yang tidak berdosa. Bahkan, frasa itu seperti layaknya marga yang terus menempel di belakang namanya.

Biasanya Alya sudah kebal dengan hal itu. Perempuan itu sudah tidak peduli dengan omongan orang lain tentangnya. Orangtua teman-teman SD-nya, tetangga, hingga orang yang hanya kebetulan tahu latar belakangnya. Ia tidak lagi peduli kecuali....

"Tante Retno enggak menerima aku sebagai istri Kak Prana karena aku anak haram."

Maka, lunturlah pertahanan diri Marisa. Perempuan itu membawa tubuh Alya dalam pelukannya. Tangannya mengelus rambut Alya. Ia harus menguatkan sahabatnya.

"Kalau boleh memilih, aku enggak mau dilahirkan tanpa pernikahan, Marisa. Aku juga mau kayak kamu, punya ibu dan ayah. Aku mau punya orangtua kayak orang-orang." Air mata Alya semakin deras keluar dari mata indahnya.

"Al, kamu punya kakek dan nenek yang mencintaimu," balas Marisa.

"Tapi itu enggak cukup buat Tante Retno," balasnya cepat.

"Enggak ada yang namanya anak haram, Al. Kamu enggak berhak menanggung dosa kedua orangtuamu."

"Nyatanya, aku nanggung dosa mereka. Bahkan aku juga harus nanggung dosa laki-laki yang bahkan wajah dan namanya aja aku enggak tahu."

Marisa membiarkan itu. Tangisan Alya dan air matanya. Biarlah. Ia membiarkan Alya menumpahkan segala perih yang ada di hatinya. Karena Marisa tahu, hanya dirinyalah yang menjadi teman dekat perempuan itu.

"Kalau aku punya orangtua, mungkin Kak Prana mau mencintaiku seperti dia mencintai Noëlle."

Dari sanalah, Marisa tahu jika masalah ini bukan sebatas anak haram dan penolakan Tante Retno. Ini tentang laki-laki yang seharusnya menjadi sandaran Alya justru menolak hatinya diisi oleh istrinya. Bahwa, Alya tidak memiliki apapun lagi di rumah itu kecuali cinta pada suaminya, Prana.

***

Next:

Harusnya Prana tidak melakukan ini. Perhatian yang diberikan laki-laki itu tidak hanya untuknya saja tapi juga kakeknya. Seharusnya dada Alya menghangat merasakan ini. Tapi, ini justru membuat dadanya sesak.


Memang Prana ngapain?


Jangan lupa berikan votes dan komentar kalian.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now