Episode XVIII

3.2K 405 8
                                    


Mall Pondok Indah terasa ramai di Jumat sore. Di akhir weekday ini, banyak pengunjung berdatangan. Mereka kebanyakan bergerombol dengan rekan kerja. Menikmati hari ini sebelum besok menghabiskan waktu dengan keluarga.

Di sisa akhir kelas sorenya, Ratu menelepon Alya. Perempuan itu mengajaknya jalan. Ia sudah meminta izin pada Prana untuk membawa istri laki-laki itu. Dan, Alya tidak memiliki alasan lain untuk menolaknya.

Teman jalannya hanya satu: Marisa. Hanya Marisa yang menemani Alya jalan sebagaimana layaknya muda mudi di kota metropolitan ini. Saat Marisa memiliki kegiatan lain, Alya akan menghabiskan waktunya di rumah bersama Kakek Hamid.

Alya tersenyum melihat perempuan di sampingnya. Kedua tangannya sibuk memegang paper bag yang di depannya terukir merek-merek barang. Ada tas, sepatu, dan make up perempuan muda itu.

Kegiatan perburuan mereka terhenti di restoran. Ratu memilih restoran Rantang Ibu di street gallery.

"Iga garang asemnya juara, Al," kata Ratu. Perempuan itu terlihat sangat menikmati makanan yang di hidangkan di hadapannya. Mulutnya tidak berhenti mengunyah. "Aku kalo lagi stres gini, Al. Larinya ke belanja dan makan."

"Kakak stres kenapa?"

"Biasa soal cowok. Aku putus lagi," suara Ratu terdengar sendu.

"Berarti bukan jodoh Kak Ratu," balas Alya. Ia tidak tahu lagi harus mengungkapkan rasa simpatinya dengan apa.

Ratu tersenyum hambar. Percintaannya memang tidak semulus kariernya. Rasa-rasanya ia lupa kapan terakhir kalinya berpacaran lebih dari setahun dengan seseorang. Semuanya berakhir dengan cepat. Dan, selalu menimbulkan luka meski secepat kilat ia dapat menyembuhkannya.

"Jodoh, tuh, aneh, ya," kata Ratu.

"Iya. Katanya, bahkan, sebelum kita lahir, Tuhan udah menentukan siapa jodoh kita," balas Alya.

"Kayak kalian, ya."

Alya mengernyit bingung. Ratu yang menyadari kebingungan perempuan muda di hadapannya langsung menambahkan. "Prana pacaran sama siapa, nikahnya sama kamu," kata Ratu. Tidak ada kecanggungan dalam suaranya. "Eh, tapi Prana udah pernah cerita, kan?" katanya langsung memastikan lagi. Ia masih belum percaya sepenuhnya jika laki-laki itu bercerita soal masa lalunya di Perancis.

"Udah cerita, kok. Semuanya, temasuk soal Noëlle," dusta Alya. Ia tidak tahu mengapa menjadi gemar berdusta seperti sekarang. Sepertinya rasa penasaran dengan kehidupan masa lalu suaminya menjadi penyebabnya.

Ratu menghela napas. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi. Matanya terus memandang Alya. "Prana pacaran lama sama Noëlle tapi jodohnya sama kamu, Al. Aku sendiri enggak nyangka. Prana pasti cerita, dia ajak Noëlle ke Jakarta, kenalin ke seluruh keluarga dan teman-teman SMA-nya, tapi who knows, you're his wife."

Mencoba tersenyum santai sementara ada sebilah pisau yang terus menusuk hatinya. Luka itu terasa menyakitkan. Lubang yang terus membesar membuat Alya berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan kemampuan aktingnya yang minim.

"Sebelum kalian merencanakan pernikahan, Prana bahkan cerita sama aku tentang rencananya melamar Noëlle. Dia tanya tempat memesan cincin."

Secara spontan, Alya menatap cincin yang melingkar di tangannya. Mungkinkah? Ada sejuta pertanyaan yang tiba-tiba menari-nari dalam pikirannya.

"Oh, bukan," kata Ratu cepat mengetahui makna tatapan wajah Alya. "Itu bukan cincin yang sama. Aku yang antar Prana memesan cincin itu untuk kamu."

Alya bernapas lega. Seharusnya ia tidak perlu meragu. Cincin ini terukir inisial PA-Prana dan Alya. Nama Noëlle tidak memiliki awalan sama dengannya. Alya tersenyum. Mendadak, kupu-kupu menjalar di hatinya.

"Aku malah kasihan sama Noëlle. Pacaran tujuh atau delapan tahun tapi enggak berhasil menjadi istri Prana. Dia jagain jodoh orang," Ratu tertawa. "Oke, mulai sekarang, aku harus bersyukur karena pacarannya enggak pernah lama. Jadi, enggak usah repot jagain jodoh orang." Perempuan itu justru terlihat seperti sedang bermonolog.

"Ratu."

Perempuan yang dipanggil namanya dan Alya seketika menoleh. Keduanya mencari sosok yang memanggil dengan suara lantang. Ratu menatap tidak percaya laki-laki yang berdiri sekitar tiga meter dari tempatnya makan.

Adalah Mario yang berada di dekatnya. Laki-laki muda yang usianya hanya setahun di atasnya-juga teman kerjanya. Mario memiliki rambut cokelat. Kulitnya agak kecokelatan-khas orang-orang dari timur Indonesia. Tubuhnya tinggi tegap seperti layaknya tentara.

"Kok enggak ngajak-ngajak, sih?" katanya. Aksen suaranya khas sekali. Nadanya tinggi meskipun ia tidak sedang marah atau kesal.

"Gue pikir elu masih di Bogor," kata Ratu.

"Who is she?" matanya melirik Alya.

"My sister, Prana's wife," balas Ratu.

Tidak perlu pertanyaan lagi dari Mario. Laki-laki itu mengenal Prana bukan hanya sebagai saudara Ratu tapi juga teman naik gunung yang asyik. Mereka sering mendaki gunung bersama setiap kali laki-laki itu pulang ke Indonesia.

Mario tahu cerita itu. Mengenai kegagalan Prana menikahi perempuan Perancis yang lama dipacarinya. Ya, tidak ada yang tahu jodoh. Itu misteri yang disiapkan Tuhan untuk makhluk-Nya.

Mata bulat laki-laki itu menatap Alya. Dalam ingatannya, ia membandingkan perempuan muda di depannya dengan mantan Prana. Noëlle yang ditemuinya saat mereka naik Gunung Rinjani bersama terlihat berbeda dengan Alya. Istri Prana jauh lebih feminim dan sederhana dengan potongan dress polkadot yang membalut tubuh mungilnya.

Seperti bukan selera Prana. Tapi, siapa peduli? Nyatanya, prempuan cantik itu yang dipilih Prana untuk menjadi pasangan hidupnya.

Mario tersenyum. Ia langsung menyodorkan tangannya ke hadapan Alya. "Mario," katanya.

"Alya."

"Prana is so lucky," kata Mario lagi. "He got the most beautiful girl."

Pipi Alya memanas. Ia malu dipuji seperti itu. Perempuan itu mengalihkan rasa malunya dengan menegak minuman.

Di hadapannya, Ratu memperhatikan Mario. Lewat tatapan mata laki-laki itu, Ratu menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Mario.

***

Panjang, kan? Jangan lupa untuk bintang dan komentar kalian. Hatur nuhun.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now