Episode VII

3.6K 423 9
                                    

Selamat menikmati.



Alya tidak pernah tahu jika mempersiapkan pernikahan itu tidak semudah seperti ada dalam benaknya. Tidak ada pengalaman dalam hidupnya membantu

persiapan proses menuju gerbang kehidupan selanjutnya itu. Kakek Hamid hanya memilki satu anak-ibunya. Dan, ibunya tidak pernah menikah.

Almarhum nenek sesekali membantu memasak jika ada tetangganya yang akan menikah. Perempuan paruh baya itu akan ikut ke dapur untuk sekadar memotong sayuran atau mencuci daging untuk dibuat rendang. Tapi, pernikahan Alya dan Prana tentu berbeda. Mereka tidak perlu repot menyiapkan dapur dan memanggil tukang masak dan sesekali mendapat bantuan tetangga. Sudah ada WO-Wedding Organizer-yang akan mempersiapkan itu semua.

Saat ini, Alya bersama Prana sudah berada di sebuah butik yang dipilih Prana untuk mendesain kebaya dan gaun resepsi pernikahan mereka. Sebagian besar tetangganya memilih menyewa baju pengantin. Benar-benar berbeda dengan lingkungan Alya.

Prana dan Alya masih duduk di sofa ruang tunggu. Bu Atik-desainer yang merancang baju pengantin Alya-sedang ke atas butiknya untuk mengambil pakaian itu. Di samping, tangan Prana tidak lepas menggenggam tangan mungil Alya. Jemarinya mengelus lembut ibu jari Alya.

"Alya bisa tidur kalau Kakak elus-elus gini terus," kata Alya. Sejujurnya, ia masih belum terbiasa dengan kontak fisik yang dilakukan laki-laki di sampingnya. Tangannya terasa akan lumer setiap kali Prana menggenggamnya.

Prana terkekeh. Ia melepas genggaman tangannya untuk mengelus rambut Alya. Calon istri cantiknya ini terlihat sangat lelah. Matanya sayu. Lingkaran hitam bertengger di bawah mata kecilnya.

"Semalam begadang?"

Alya mengangguk. "Ada tugas UAS yang take home."

"Jangan tidur malam, Alya. Kamu bisa sakit."

Duh, Alya rasanya ingin terbang saja. Diperhatikan seperti itu oleh Prana membuat rasa bahagianya membuncah. Apalagi saat mata laki-laki tampan itu menatapnya. Alya rasanya ingin pingsan.

"Maaf menunggu lama, Mas Prana dan Mbak Alya."

Kehadiran Bu Atik seketika menyadarkan Alya dari angan-angan di nirwana. Perempuan itu langsung kembali ke dunia nyatanya. Di depannya sudah ada Bu Atik dan seorang pegawai perempuan yang membawa kebaya putih.

"Dicoba dulu, Mbak Alya," katanya.

Tidak lama. Alya keluar dari fitting room. Kaus yang tadi dikenakan telah berganti dengan kebaya putih yang sangat pas di tubuhnya. Prana harus menahan diri untuk tidak menelan ludahnya sendiri. Alya terlihat sangat cantik dalam balutan kebaya itu. Wajah polos tanpa make up tidak mengurangi kecantikan perempuan itu.

Kebaya putih dengan full payet menghiasi sepnajang dada hingga bagian bawahnya. Di bagian luar, terdapat outer lace panjang yag menjuntai di bagian belakang. Kerah cheongsam menutupi bagian dada tubuh Alya-itu permintaan perempuan itu.

Laki-laki dan kelemahannya pada perempuan. Prana harus mengumpati dirinya sendiri setiap kali memandang perempuan di hadapannya. Bagaimana bisa, Alya terlihat begitu menggiurkan hanya dengan kebaya putih yang menempel dalam tubuhnya. Rasa-rasanya, Prana tidak sabar menunggu dua minggu lagi. Ia ingin segera menggeret perempuan itu ke kamarnya.

Prana menghampiri Alya. Kedua tangannya memegang bahu Alya dari samping. "You're so beautiful, Alya."

***

Setelah selesai fitting kebaya dan gaun pengantin, Prana mengajak Alya untuk makan siang di resto di dekat butik itu. Well, bukan makan siang karena jam di tangannya sudah menunjukkan angka dua siang. Perut Alya sudah berteriak minta diisi.

Di sinilah mereka. Di sebuah resto yang menyajikan makanan laut. Ini jenis makanan favorit Prana. Laki-laki itu mengatakan ia lebih suka seafood dibanding olahan unggas dan daging lainnya. Alya akan mengingat itu.

Di ujung kursi pengunjung, ada sosok sepasang manusia duduk nyaman. Laki-laki yang tampak muda sekali. Alya berpikir masih SMA. Terlalu muda untuk disandingkan dengannya. Di sampingnya, seorang perempuan cantik menarik perhatian Alya. Ia adalah Ratu-sepupu Prana dan adik kecilnya.

Ratu terlihat cantik di mata Alya. Perempuan itu juga sangat anggun. Menggunakan jumper dress hitam dengan motif daun-daun putih sangat pas di tubuh langsingnya. Pakaian itu agak melebar dari pinggul hingga betisnya. Ratu mengkombinasikannya dengan kaus putih polos. Ditambah make up tipis dan rambut yang dibuat ponytail membuatnya terlihat lebih segar.

"Ini pasti Alya?" tebak Ratu. "Aku panggilnya Alya aja, ya. Biar enak," tambahnya.

Alya mengangguk. Mereka duduk dan memesan makanan. Prana memesan kerapu steam dengan saus hongkong. Itu salah satu menu yang disukai laki-laki itu. Sementara Alya memesan cumi bakar rica-rica.

"Pantes enggak nolak. Calonnya cantik gini," kelakar Ratu.

"Itu bukan yang utama, Kak. Yang penting hatinya baik," tambah Arjun-adiknya.

"Sok tau, kamu, Jun. Kayak ngerti aja," balas Ratu. "Dia emang suka baca novel roman yang bikin termehek-mehek, gitu. Ya, pikirannya jadi macam isi novel, deh."

Arjun tidak sempat membalas karena pesanan mereka datang. Hidangan yang menggugah selera mampu meredam pertikaian keduanya. Akhirnya, yang terdengar hanyalah decapan mulut yang menikmati makanan itu.

"Kakek Hamid enggak ada masalah sama seafood, kan?" tanya Prana sesaat setelah ia menghabiskan masan siang telatnya.

"Enggak ada, Kak."

Prana langsung mengajak Arjun pergi ketika Alya menjawab. Ia akan ke belakang resto. Di sana terdapat kolam besar yang memuat binatang laut hidup. Pengunjung dapat melihat dan membelinya tanpa perlu diolah. Prana sering melakukan ini. Binatang hidup lebih segar akan akan lebih enak jika dimasak.

"Al," kata Ratu membuka perakapan mereka.

Usia Ratu 25 tahun. Sekarang, ia bekerja di Kedutaan Australia di kawasan Kuningan, Jakarta. Alya memang harus memanggilnya dengan "kakak"-seperti yang ia lakukan pada Prana.

"Prana udah cerita soal hidupnya di Perancis?"

"Udah, kok."

"Semuanya, Al?"

"Iya, semuanya. Kak Prana juga cerita alasan dia balik ke Indonesia."

"Dan, kamu langsung nerima?" tayanya. Ada rasa ketidakpercayaan dari suara Ratu. Ia hanya ingin memastikan jika tidak ada yang salah dengan pertanyaannya tadi.

"Aku enggak masalah, kok."

Ratu geleng-geleng kepala. Ia lantas tersenyum pada Alya. Katanya, "Hebat kamu, Al."

Alya hanya tersenyum. Ia sebenarnya bingung dengan maksud ucapan Ratu. Itu terdengar sangat berlebihan. Kehebatan apa yang dimilikinya? Tidak ada. Alya menerima jika ia dan Prana tidak akan menghabiskan waktu rumah tangganya di Perancis-negara romantis yang banyak digaungkan banyak orang? Itu bukan kelebihan. Kalau soal penghasilan, jelas gaji Prana di Jakarta jauh lebih besar. Ia memimpin sebuah perusahaan tekstil. Di Perancis, laki-laki itu bekerja dengan orang lain.

Mungkin, Ratu memang berbeda. Sepertinya, perempuan itu terlalu banyak menonton film romantis. Ia masih menganggap jika Eropa adalah romantisme terbaik untuk menghabiskan waktu bersama suami. Padahal, yag terpenting adalah ritme dalam menjalani rumah tangga.

"Al, makasih, ya. Makasih udah buat Kak Prana tersenyum lagi."

Lama sekali. Berbulan-bulan setelahnya, Alya paham maksud ucapan Ratu.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now