Episode XXXIV

4.1K 437 27
                                    

Alya kira, mengetahui suaminya yang memiliki perasaan cinta pada perempuan lain adalah bagian terburuk dalam kehidupannya. Luka yang ditorehkan Prana begitu menusuk hatinya. Rasanya sangat menyakitkan. Semakin sakit karena perasaan cinta sudah tumbuh subur dalam hatinya.

Tapi, ada hal yang jauh lebih menyakitkan dari itu. Bukan hanya seperti tertusuk, tapi juga nyawa yang terangkat dari tubuhnya. Beribu kali terasa pedih. Karena Alya tahu, hanya Kakek Hamid satu-satunya keluarga yang dimiliki. Laki-laki paruh baya itu adalah hembusan napasnya. Bahkan, jauh lebih berharga dari sekadar perasaannya pada Prana.

Kalimat itu terus mengaung di pikiran Alya. Tentang Mbak Santi yang meneleponya dan memberi kabar buruk itu. Kakek pingsan di rumahnya. Tiga kata itu mampu membuat jantung Alya terasa henti seketika.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Alya hanya bisa berdoa. Segala puji-pujian ia rapalkan. Juga harapan agar ia masih bisa melihat senyum kakeknya. Bahwa, Alya menyadari jika kehilangan kakek adalah hal yang paling tidak ia inginkan di dunia. Ia rela menukarnya dengan apapun.

Adalah Mbak Santi dan suaminya yang pertama kali Alya lihat di rumah sakit. Kedua orang itu duduk dengan cemas di ruang IGD. Mata Mbak Santi tidak kuasa mengeluarkan air mata ketika melihat Alya datang. Mereka berpelukan dan perempuan itu memberikan dukungan pada Alya.

"Mbak, Kakek masih minum obatnya, kan?" tanya Alya.

Mbak Santi mengangguk. "Selalu, Alya. Mbak selalu pastikan Kakek Hamid minum obat pengecer darahnya."

Harusnya Alya tidak mempercayai kondisi tubuh kakek. Harusnya ia menolak keinginan kakeknya untuk tidak rutin mengecek kondisi kesehatannya ke dokter. Kakeknya memiliki askes-asuransi kesehatan bagi para pensiunan pegawai negeri. Karena, nyawa kakeknya lebih berharga dari uang.

Suara di depannya membuat Alya menghentikan pelukan Mbak Santi. Seorang laki-laki paruh baya berdiri dengan jas putih. Ia menurunkan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Dokter itu meminta Alya ke ruangannya.

Dada Alya berdetak penuh ketegangan.

"Kita tahu jika obat itu hanya untuk mengencer darah," katanya. "Pasien harus segera dipasang ring. Saat ini, hanya itu yang bisa menyelamatkan beliau."

Sudah terlalu banyak plak yang menyumbat pembuluh darah kakek. Setidaknya, dengan pemasangan ring, darah akan kembali mengalir ke seluruh tubuh tua kakeknya. Dan, kakeknya bisa kembali sehat.

Alya sudah pernah menanyakan itu pada kakeknya dan hanya mendapat penolakan. Kakek terlalu konservatif untuk mau melakukan prosedur ini. Takut ada benda asing yang masukkan ke dalam tubuhnya.

Beberapa orang tua memang terkadang berpikiran seperti kakeknya. Bahwa, manusia terlahir di dunia tanpa membawa apapun di tubuhnya. Saat kembali, pun harusnya demikian. Tidak boleh ada benda yang melekat ditubuh kecuali kain kafan sebagai pakaian terakhirnya. Ketakutan kakek karena ring itu akan melekat terus di tubuhnya. Tidak akan pernah dikeluarkan meskipun nyawanya telah tiada. Ia takut membawa benda asing di tubuhnya saat kematiannya. Takut karena bagi kakek, itu menyalahi aturan dalam kepercayaannya.

"Apa enggak ada cara lain, Dok?" tanya Alya.

Dokter itu menggeleng. Inilah yang berarti putusan akhir yang diberikan rumah sakit. Bahwa, tidak ada cara lain untuk mengobati kakek selain operasi pemasangan ring di pembuluh darahnya. Ia harus meyakinkan kakeknya untuk melakukan ini.

Karena, Alya masih ingin hidup bersama kakeknya.

***

"Dimakan, Al," suara Mario menghentak kesadaran perempuan muda di depannya.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now