Episode VI

3.7K 434 7
                                    

Marisa memiliki rumah minimalis yang antik. Ayahnya yang seorang arsitek mampu membuat rumah kecil itu terlihat memukau. Setidaknya, setiap kali Alya bermain ke rumahnya, perempuan itu selalu saja merasa nyaman berada di sana. Kesejukan dan gemericik waterfall buatan yang diletakkan di dalam rumah adalah spot favoritnya.

Ayahnya Marisa keren. Laki-laki itu meletakan waterfall garden tepat di depan sofa ruang tamu. Di sisa ruangan bawah tangga yang lebarnya hanya satu meter itu justru dibuat menjadi bagian terbaik dari rumah itu. Tanaman hijau dengan bebatuan yang mengaliri air hingga menimbulkan suara gemericik yang menenangkan.

Alya duduk dipinggir waterfall itu. Tangannya mendayung di dalam kolam air rendah itu. Di hadapannya, ada Bunda Mei-ibunya Marisa duduk di sofa. Mereka baru saja membuat kue kering. Aktivitas yang paling disukai Alya. Bunda Mei memiliki bakat besar membuat beragam kue. Alya senang ketika perempuan paruh baya itu mengajarinya.

Almarhum neneknya tidak pandai membuat kue. Tapi, nenek mampu membuat masakan dengan rasa luar biasa enak. Segala sayuran dan lauk pauk mampu diolah nenek hingga memiliki rasa yang begitu menggugah lidah. Itu selalu membuat Alya bahagia-dikelilingi orang-orang yang pandai memasak dan membuat kue. Alya selalu belajar dari kedua perempuan itu.

"Kamu sudah kasih tahu alamat Bunda Mei ke calon suamimu?" tanya Bunda Mei.

"Udah, Bunda Mei. Alya udah sharelock ke Kak Prana."

Dalam balutan hijab instan, perempuan itu menatap Alya. Ketika pertama kali melihatnya, Bunda Mei jatuh cinta pada perempuan itu. Terlebih ketika mendengar cerita hidupnya dari Marisa. Awalnya kasihan. Bagaimana bisa hidup tanpa mengetahui ayah kandungnya. Tapi, perlahan rasa kasihan itu berubah menjadi perasaan sayang yang begitu dalam. Dirinya tdak pernah mencintai sebegitu dalam selain anak-anaknya. Ia sadar jika Alya memang mudah dicintai. Perempuan itu selalu ceria. Tipe yang mudah tersenyum dan ramah ada siapa pun.

"Al," suaranya terhenti. Sebuah teriakan dari bagian tengah tangga meredam suaranya. Hingga akhirnya, suaranya hanya serupa bisikan.

"Al... Alya," Marisa berteriak. Kepalanya ia keluarkan dari pembatas tangga. Ia menolehkan sambil berpegangan untuk melihat sahabat terbaiknya.

"Jangan teriak kayak di hutan, Sa," balas Bunda Mei.

"Iya, Bun," jawab Marisa sekenanya. Matanya kembali beralih pada Alya. "Al, ke kamar sebentar."

Alya menurut. Langkahnya berjalan mengikuti jalur menuju kamar Marisa di lantai dua. Entah apa yang ingin dilakukan sahabatnya itu. Alya menurut saja.

Meila tidak habis pikir mengenai Alya dan anaknya-Marisa. Keduaya memiliki karakter yang bertolak belakang. Lihat saja, Marisa seperti terbiasa menggunakan suaranya untuk memekakkan telinga orang lain yang mendengarnya. Marisa yang enggan menyentuh tangannya dengan peralatan dapur. Sementara Alya yang begitu bahagia setiap kali menggunakan apron.

Perempuan paruh baya itu mendengar suara bel dari pagar rumahnya. Ada sosok laki-laki bertubuh besar berdiri di depan pagar. Laki-laki muda itu menggunakan kemeja lengan pendek dan celana panjag hitam yang membalut kaki jenjangnya.

"Assalamualaikum, Alya-nya ada, Bu?" tanya Prana sopan.

"Ini pasti Nak Prana, ya?" tebak Mei.

Prana tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Perempuan itu mempersilakan laki-laki itu masuk dan menunggu Alya di ruang tamu.

Laki-laki yang sopan dan dewasa. Itu adalah pandangnnya tentang Prana saat melihatnya sekilas.

Ketika Mei memanggil Alya, yang turun bukan hanya perempuan itu tapi juga anaknya.

"Kak Prana, aku pinjam Alya sebentar, ya. Cuma 15 menit aja, kok,"

"Iya."

"Tunggu, ya, Kak," balas Alya.

Marisa bahkan tidak peduli degan tatapan tajam ibunya. Perempuan itu malah menggeret tangan Alya menuju kamarnya. Ada tugas yang belum dikerjakannya. Ia lupa jika tugas itu harus diberikan esok hari. Kepalanya dipenuhi radio kampus dan BEM hingga tidak ada celah untuk meletakan tugas dalam memorinya.

Meila membawa secangkir teh hangat dan kudapan untuk diberikan pada Prana. Katanya, "Kue itu Alya yang buat."

Prana mengambil kue tersebut dan memasukkan ke dalam mulutnya. Lembut dan manis langsung menyapa lidahnya ketika bersentuhan dengan kue tersebut. Ia menyunggingkan senyum. Ada rasa bangga dalam dirinya. Perempuan yang dinikahinya memiliki keterampilan memasak.

"Alya sering main ke sini kalau weekend dan libur kuliah. Dari zaman SMA, ya sering banget." Ketika mengucapkan hal itu, mata Meila menerawang jauh. Pikirannya membelah waktu di mana kedua perempuan muda yang dicintainya itu masih menggunakan seragam putih abu-abu.

"Maaf kalau Alya suka merepotkan," balas Prana.

"Oh, enggak," kata Meila cepat. Laki-laki itu sepertinya salah menafsirkan maksud ucapannya. "Ibu malah senang kalau Alya main ke sini. Jadi ada teman bikin kue. Marisa enggak suka ke dapur. Kakaknya laki-laki-lebih suka naik gunung."

Prana mengangguk.

"Kamu udah tahu kondisi orangtua Alya?" tanya Meila hati-hati. Suaranya bahkan lebih terdengar seperti bisikan.

"Tahu, Bu. Waktu itu, Kakek Hamid pernah cerita."

"Alya itu sebenarnya punya krisis kepercayaan diri. Ibu tahu ini karena sering ngeliat dia agak susah bergaul sama oang lain. Dia lebih suka sendirian. Mungkin, karena dia merasa enggak punya orangtua kayak teman-temannya. Itu sebabnya dia senang bergaul sama Marisa. Bukan Ibu bermaksud meninggikan anak Ibu. Tapi, Marisa orangnya supel bahkan enggak tahu malu," candanya.

Prana menyadari itu. Tentang bagaimana cara Alya bercerita tentang teman-temannya. Semuanya hanya tetang Marisa. Alya tidak pernah menyebut nama lain. Hanya Marisa yang membuat Alya nyaman dan betah berlama-lama.

"Ibu emang bukan perempuan yang melahirkan Alya. Tapi, Ibu sayang sama dia-sayang sekali, Nak Prana." Suara Meila berubah sendu. Ada ketegaran yang coba ia pertahankan dalam suaranya. "Ibu minta, tolong jaga Alya. Dia pantas untuk disayangi."

Bahkan, jauh dari lubuk hatinya, Prana menyadari hal itu. Sosok Alya yang sederhana namun terasa istimewa di mata orang-orang yang menyayanginya. Alya begitu mudah membuat orang meletakan rasa sayang dan cinta pada dirinya.

Prana mengangguk. Ini bukan hal mudah. Tapi, ia akan berusaha untuk menjaga Alya. Perempuan baik itu pantas bahagia bersamanya.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now