Ingin Putra Mahkota

12K 1K 37
                                    

***


Kriet ....

Manik tajam itu langsung jatuh pada sosok yang menyembunyikan rambut dan wajahnya di balik selendang gelap, hingga yang tampak di sana adalah sepasang manik yang menunduk dalam. Kaisar lantas mendudukkan diri di seberang Permaisuri Aerin yang terpisah oleh meja mungil.

"Hormat hamba, Yang Mulia Kaisar." Lisa membungkuk hormat.

"Tidak perlu seformal itu, Permaisuri. Hanya ada kita berdua di sini."

Entah mengapa, ucapan Kaisar langsung membuat gejolak dan getaran hebat dalam diri Lisa. Gadis itu benar-benar was-was jika Kaisar Lee mengetahui fakta yang ia sembunyikan ini. Lagi pula, ada gerangan apa tiba-tiba Kaisar menyebalkan ini mengunjunginya? Malam-malam pula.

Lisa pun kembali menegakkan tubuhnya, tapi tetap menundukkan pandangannya. Takut, kalau-kalau matanya berserobok dengan sepasang tatapan elang pria di hadapannya ini. Itu sangat berbahaya. Terlebih, Lisa sangat tahu diri kalau di antara fisiknya dan fisik Permaisuri Aerin sangatlah berbeda, tidak ada lemiripan sama sekali.

"Ampun, Yang Mulia. Ada gerangan apa sehingga Anda berkunjung selarut ini?"

Kaisar Lee tidak langsung menjawab. Pria itu masih terdiam cukup lama, mengamati tiap gerak-gerik Permaisuri Aerin dengan mata elangnya.

Tak kunjung mendapat jawaban, perlahan tapi pasti, Lisa mengangkat wajahnya. Namun, begitu hal yang ia takutkan terjadi, yaitu matanya berserobok dengan pandangan Kaisar Lee, kontan saja ia langsung menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Jantungnya berdegup kencang bak musik disko yang menghentak-hentak. Saking kerasnya, bahkan bunyinya sampai menggema dalam gendang telinga.

"Apakah Anda sakit tenggorokan?" tanya Kaisar Lee tiba-tiba.

Lisa kembali tersentak. "Tidak, Yang Mulia." Dia menjawab jujur.

"Tapi suaramu terdengar berbeda."

Nah, kan ... jangan jadi orang jujur. Lisa meruntuki mulutnya, kenapa tidak bilang 'iya' saja? Kalau begini, kan malah ribet urusannya. Mau menjawab apa lagi coba?

Ayo otak! Berpikirlah!

"Anda sakit apa?" Lagi, Kaisar bertanya.

Huft ... tidakkah dia tahu aku sedang berpikir mau sakit apa?

"Sakit kerongkongan, Yang Mulia."

Jangan salahkan otak Lisa, mulutnya lah yang asal jiplak karena keberadaan Kaisar yang membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. Bawaannya, keruh ... mulu. Kaya hidupnya.

"Kerongkongan?"

Lisa kembali tersentak, bingung sendiri. Sakit kerongkongan itu yang sakitnya bagaimana juga tidak tahu. Ah ... seharusnya ia bilang sakit tenggorokan saja tadi. Kalau tenggorokan, mah ... udah kaya rutinitas. Ingat, ia adalah solois yang populer dengan jadwal konser padat. Tentu, karena terlalu sering bernyanyi dan berteriak dengan nada tinggi, tenggorokannya bukan sekali dua kali sakit. Bahkan, tak jarang ia harus mengunjungi klinik atau malah rawat inap karena radang.

"Ah ... uhm, iya. Selain itu ...." Ucapan Lisa menggantung, otaknya masih sibuk berpikir, agar tidak melakukan kecerobohan yang sama seperti kasus 'tenggorokan dan ketongkongan' tadi. "Aku juga sakit gigi dan sariawan. Ini sakit sekali ... aduh ...."

Lisa menangkupkan kedua tangannya pada rahang. Berlagak seolah ia sedang kesakitan. Berharap, karena aktingnya ini akan segera membuat Kaisar Lee pulang.

Namun, jangan harap dengan kelakuannya itu, Kaisar Lee akan menaruh perhatian atau empati. Pria itu hanya mengamati kelakuan Lisa dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga beberapa saat kemudian, tampaknya Lisa sudah lelah berakting.

Akhirnya gadis itu ikutan diam di tempatnya. "Maafkan aku, Yang Mulia. Kupikir itu tadi terlalu kekanakan." Lisa berucap.

"Memang."

Mata Lisa sontak membulat, tanpa sadar ia membalas tatapan dingin Kaisar Lee tanpa tedeng aling-aling.

"Matamu ...." Sepasang atensi elang milik Kaisar Lee menyipit.

Lisa kembali tersentak dan segera menundukkan pandangannya. Menyembunyikan sepasang manik matanya yang nakal karena berani menatap lancang sosok Kaisar Lee. Sekali lagi, ia terus meruntuki dirinya yang terus  membuat kesalahan.

Lama-lama bisa tamat riwayatmu, Lisa!

"Maafkan kelancangan hamba, Yang Mulia." Spontan, Lisa langsung bersujud karena ketidaksopanannya.

"Tidak ... bukan itu. Maksudku ... matamu ... tampak berbeda."

Deg!

Apakah Kaisar Lee menyadari perbedaan fisiknya?

"Apakah kau juga sakit mata?"

Mendengar pertanyaan itu, Lisa kembali bangkit, duduk dengan sempurna. Ada rasa tak terima atas pernyataan Kaisar Lee. Namun, ia memilih mempertahankan kesabarannya. Faktanya, mata Lisa memang jauh lebih besar daripada sepasang mata sipit milik Permaisuri Aerin. Mungkin, hal itulah yang membuat Kaisar Lee mengira matanya juga sakit.

"I-iya, Yang Mulia."

"Mau aku panggilkan tabib?"

"Eh? T-tidak perlu, Yang Mulia. Ini sudah diobati."

Bagus, Lisa. Dari mana kau bisa lancar berbohong?

"Oh ... baiklah."

Seketika keheningan kembali menenggelamkan kedua insan itu. Sama-sama diam, berenang dalam pikiran masing-masing. Hingga agak lama kemudian, barulah Kaisar Lee mengungkapkan tujuannya datang kemari.

"Uhm ... Permaisuri. Huft ...." Kaisar mengendarkan pandangannya, berusaha menghindari kontak mata dari gadis di hadapannya. Baru setelah wajahnya kembali datar, ia menatap wanita di hadapannya.

"Ini tentang ibu suri. Beliau tentu sudah bercerita banyak, kan padamu?"

Bercerita banyak? Cerita apa?

"Masalah putra mahkota."

Oalah ... masalah putra mah-

"PUTRA MAHKOTA?" pekik Lisa spontan dengan kedua mata membulat sempurna.

"Uhm ... ya. Maka dari itu aku mengunjungimu."

***

The Queen Of Fantasia (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang