Kebebasan yang Mematikan

8.3K 678 24
                                    

"Pangeran Lee Sung, mengapa Anda tidak bersemangat?" tanya Kaisar Lee yang melihat gelagat aneh putranya.

Anak itu menjatuhkan pedang kayunya ke tanah, memandang Ayahnya sedih. Meski belum usai waktu berlatih, Pangeran Lee Sung tetap mendudukkan diri di atas rerumputan lapangan kuda yang amat terawat itu. Melihat tingkah putranya yang tidak biasa, Kaisar Lee pun berjalan mendekat, lalu duduk di sampingnya.

Jauh dari sifat kakunya, sebenarnya Kaisar Lee adalah sosok ayah yang penyayang. Namun, karena didikan keras sebagai calon pemimpin dari sang ayah, ia tumbuh sebagai anak berperangai tegas dan keras sekaligus. Berkat semua itu, ia menjadi raja Kerajaan Fantasia Timur, satu dari empat kerajaan terbesar di seluruh dimensi fantasia, mengalahkan kerajaan yang didirikan sang ayah.

Di usia ke enam belas tahun, ia sudah bisa menjadi Jenderal dan selalu membawa kemenangan tiap melakukan peperangan. Bukan hal mudah, sejak usia tiga tahun, Kaisar Lee kecil sudah dikenalkan dengan benda-benda tajam yang tak lazim dikenal anak-anak sebayanya. Dilatih begitu keras hingga membentuk pribadi kakunya sekarang.

Dalam hidupnya, Kaisar Lee hampir tidak pernah jatuh cinta. Namun, begitu menyaksikan kelahiran Pangeran Lee Sung, seketika bayi merah itu langsung membuatnya jatuh cinta. Seingatnya, itulah kali pertama ia benar-benar jatuh cinta sebelum ia merasa terluka karena egonya pada cinta.

Kaisar Lee mendengkus, ia memejamkan matanya ketika sekelebat bayangan wanita yang tengah tersenyum tulus hinggap di kepalanya. Berusaha abai, kini tatapannya kembali jatuh pada sosok mungil yang tengah duduk di sampingnya.

"Apa yang mengganggu pikiran Anda? Apakah latihan ini terlalu berat?" Ingatan Kaisar Lee seketika kembali pada masa di mana ia menerima sabetan pedang di punggungnya ketika berusia empat tahun karena kurang awas terhadap serangan sang ayah dulu.

Keadaannya hampir kritis saat itu, tetapi tidak membuat jera tindakan tegas sang ayah. Justru, karena keteledorannya itu, ia malah dididik makin keras. Kaisar Lee enggan mengulang metode tak manusiawi itu. Meski, kini hasilnya ia mampu mendirikan kerajaan besar yang adidaya. Namun, tak ada niatan untuk membuat Pangeran Lee kecil yang ini turut merasakan apa yang pernah ia rasakan dulu.

Pangeran Lee Sung bebas mau melakukan apa pun di masa kanak-kanaknya, karena Kaisar Lee tahu, waktu sudah tidak bisa diputar. Ia hanya ingin melihat anaknya hidup sebagaimana  anak normal seperti yang lain. Kalaupun si kecil mau, Pangeran Lee hanya mengajari ala kadarnya, tidak sampai memaksa.

"Latihan ini terasa berat karena ibu selir tidak mau menemuiku sebelum aku berangkat kemari,"  keluhnya sedih.

"Kenapa Selir Yuki tidak mau menemuimu?"

"Kata kepala dayang, ibu selir sedang tidak enak badan, dia takut menulariku. Tapi, biasanya tidak begitu."

"Kenapa Anda sangat cengeng?" tanya Kaisar Lee datar.

Pangeran Lee Sung yang sejak tadi sudah berkaca-kaca, akhirnya meneteskan air matanya, tetapi langsung ia usap dengan cepat agar tidak ketahuan Kaisar Lee. Anak itu menatap sosok ayahnya polos. "Aku tidak cengeng. Aku hanya sedih, apalagi aku tidak ada teman latihan."

"Anda merindukan Permaisuri Aerin?"

Dengan wajah cemberut, Pangeran Lee Sung mengangguk kecil. "Meski ibu selir sering bilang Permaisuri Aerin ular, tapi sampai sekarang kenapa aku tidak pernah melihat ekornya, ya, Ayah? Padahal, aku sangat ingin melihat ekor Permaisuri Aerin."

Kedua mata Kaisar Lee membulat terkejut, tak menyangka jika anak sekecil dan sepolos Pangeran Lee Sung akan berkata demikian. Pria itu berdeham sejenak, menyiapkan kata-kata yang kiranya bisa dimengerti anak kecil lugu ini.

"Pangeran, Permaisuri Aerin itu manusia, bukan ular. Jadi, dia tidak punya ekor."

Kelopak mungil itu mengerjap bingung. "Tapi, kok, ibu selir bilang Permaisuri Aerin ular?"

"Ayahmu ini tidak tahu. Bagaimana, kalau kau tanyakan pada ibu selir. Katakan padanya, Kaisar Lee ingin tahu mengapa ibu selir mengatakan Permaisuri Aerin ular. Dia, 'kan tidak punya ekor."

Padahal, Kaisar Lee mengatakannya dengan datar tanpa ekspresi. Namun, tak elak membuat Pangeran Lee Sung tertawa terpingkal.

"Aku juga berpikir seperti itu, Ayah."

"Pangeran Lee Sung!" Panggilan lembut dari sosok yang berjalan di kejauhan itu membuat kedua lelaki berbeda generasi itu menoleh ke arah asal suara.

Didapati seorang wanita anggun yang berjalan bersama rombongan pengikutnya, tak lupa memasang senyum terbaiknya, Selir Yuki datang untuk menengok putranya.

"Ibu Selir!" balas Pangeran Lee Sung langsung berdiri dan melambaikan tangannya ke udara. Ia tersenyum lebar penuh kebahagiaan. Di saat menunggu kedatangan ibundanya itu, si kecil kembali menatap Kaisar Lee. "Ayah, apakah aku harus bertanya sekarang?"

"Bertanya apa?"

"Tanya kalau Permaisuri Aerin tidak punya ekor." Sambil meringis, Pangeran Lee Sung mendapat usapan lembut di kepalanya.

"Terserah."

Sesampainya Selir Yuki, ternyata ia tidak datang dengan tangan kosong. Di tangan para pelayannya, masing-masing mbawa hidangan makanan lezat untuk menu makan siang putranya.

"Ibu Selir, mengapa Anda membawa banyak makanan?" Terheran.

"Apakah Anda tidak mau makan bersama saya?" Alih-alih menjawab, Selir Yuki malah balik bertanya.

Setelah menerima sambutan kecil dari putranya, kini Selir Yuki memberi hormat pada Kaisar Lee dengan membungkukkan badan sekilas, diikuti para pelayannya.

"Hormat hamba, Yang Mulia."

Kaisar Lee hanya mengangkat tangannya, mengiyakan. Lantas, pria itu bangkit seraya membenarkan baju kebesarannya, menatap wajah Selir Yuki intens.

"Aku permisi dulu."

"Apakah Anda tidak ikut makan bersama kami?"

"Aku belum lapar."

"Ayah, mari makan bersama kami!" pinta Pangeran Lee Sung, matanya tampak berbinar penuh harapan.

Melihat sikap putranya, Kaisar Lee hanya mengusap lembut kepala putranya lalu berjalan pergi dari sana. Pangeran Lee Sung menatap kepergian ayahnya penuh kecewa.

"Tak apa, Pangeran. Kaisar Lee hanya sedang sibuk." Selir Yuki berusaha menenangkan. Beruntung, Pangeran Lee Sung adalah tipikal anak yang mudah diarahkan, ia menuruti segala ucapan ibunya. "Mari kita menuju pendopo kecil!"

Dengan menggandeng tangan mungil Pangeran Lee Sung, Selir Yuki menuntun putranya menuju tempat yang ia maksud. Tak terduga, di tengah perjalanan si kecil menanyakan hal di luar kepalanya.

"Ibu Selir, aku mau tanya!"

"Anda ingin bertanya apa, Pangeran?"

"Kata Ibu Selir, Permaisuri Aerin itu ular, tapi aku dan ayah belum pernah melihat ekornya. Apakah ibu pernah melihat ekornya?"

'Terpujilah otak cerdas Pangeran Lee Sung! Aku harus berhati-hati dalam berucap."

***

"Jadi, aku harus menyamar seperti rakyat biasa?" tanya Lisa menatap penampilan glamournya.

"Tentu, Yang Mulia. Saya pun juga. Namun, alangkah lebih baiknya jikalau orang-orang tidak mengenali siapa Anda. Saya hanya khawatir, kalau kehadiran Anda malah disadari pemberontak seperti kabar yang saya dapat beberapa saat yang lalu."

"Oh, baiklah. Aku akan menyamar sebagai gadis desa yang lugu." Melebarkan senyuman. "Omong-omong, aku tidak punya baju biasa, baju yang kemarin aku pakai sudah entah ke mana."

"Anda tenang saja, Yang Mulia. Saya yang akan mencarikannya. Bagaimana kalau kita berangkat dulu?"

Lisa langsung mengangguk antusias. "Ayo!"

Kebebasan, aku datang!

***

Ig: @luluk_layalie
FB: Luluk Layalie

The Queen Of Fantasia (Revisi)Where stories live. Discover now