24. Masih Disini

1K 109 15
                                    

Setelah kejadian dimana rasa sesak dan memori sakit hati itu terjadi, selama dua hari shani mengurung dirinya. Tak bertemu dengan siapapun terlebih dengan gracio. Ia merasa bersalah ketika ia tau sudut bibir gracio mengeluarkan darah dan tentunya pasti berbekas hingga kini. Gimana tidak? Tamparan begitu kuat dan keras karna murkanya seorang manusia. Eh sepertinya bukan manusia, ia lebih tepat seperti bajingan dan tak pantas disebut sebagai manusia.

Ketika hari itu dimana shani di antar oleh gracio, ia sempat membersihkan sudut bibirnya. Ringisan itu terdengar begitu ngilu di indra pendengaran shani, tapi raut dan gestur gracio seolah mengatakan luka itu hanya biasa saja.

"Aku baik-baik saja shani, ini tak seberapa sakitnya." Katanya yang masih shani ingat, padahal terekam jelas bahwa kulitnya itu robek, bagaimana bisa ia katakan dia baik-baik saja?.

Gracio sudah terlalu banyak berkorban untuk dirinya, itu yang shani takutkan. Semua perlakuan gracio terhadapnya, yang sedikit demi sedikit meruntuhkan benteng keraguan shani terhadapnya. Jika suatu saat shani sepenuhnya membuka hati untuk gracio, akankah ia ditinggal kembali sebelum memulai?.

Tok.. Tok.. Tok..

"Shani, makan dulu sayang." Ujar sang mamah dari luar kamar.

Shani masih enggan beranjak dari tempat ternyamannya,kakinya masih menempel erat dengan sang kasur seperti magnet, kepalanya ia sandarkan pada pembatas kasur. Nyaman, itu yang di rasa.

Ceklek!

Pintu kamar terbuka setelah beberapa menit tadi tak ada suara, menampakan mamahnya memakai pakaian rapih dan membawa nampan berisikan makan beserta minumnya. Mendekat ke arah Shani sambil tersenyum, membuat hati Shani setidaknya menghangat.

"Sampai kapan gini terus shani? Sudah dua hari kamu terus-menerus di kamar." Tanya sang mamah.

"Maafin shani mah, rasanya begitu sakit dan masih terasa." Shani memejamkan beberapa detik matanya dan menghembuskan nafas agar dirinya lebih tenang.

Veranda tersenyum. "Yang lalu biarin saja berlalu shani, kamu tak boleh larut. Semuanya sudah berakhir, saatnya bangkit."

"Kenapa mamah seolah biasa saja?."

"Sederhana alasannya shani."

Shani menatap manik mata Veranda yang di hiasi kantung mata dan sedikit menghitam.

"Apa?."

"Kamu, kalau mamah juga seperti kamu siapa yang akan menguatkan jika kita berdua rapuh?."

"Maaf mah." Kata itu keluar lagi dari mulut shani.

"Gapapa, yang jelas shani harus selalu kuat ya?."

Shani menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Benar kata sang mamah, kita harus kuat, harus bangkit dan masa lalu tetaplah masa lalu. Ribuan kejadian yang sudah terjadi tak akan pernah bisa di tarik atau di ulang, jadi buat apa ia terus larut dalam rasa pahit dan sakit.

"Kalau gitu kamu makan ya, mamah mau ke butik dulu."

"Hati-hati mah, jangan terlalu cape."

Veranda mendekat ke arah shani, mencium kening sang anak untuk memberi kekuatan dan ketenangan.

"I love you anak mamah."

"I love you more malaikat tak bersayap."

-------------

Derap langkah gracio menuruni tangga rumahnya. Menghampiri kedua orang tuanya yang sedang menonton film di ruang tamu. Berdiri tepat di hadapan keenan dan yona, menghalangi pandangan mereka dari tv.

Nous [END]Where stories live. Discover now