31. Tanpamu

994 95 7
                                    

Flughafen Berlin-Tegel Otto Lilienthal

Sekitar menempuh perjalanan yang cukup panjang selama 17 jam 30 menit akhirnya gracio tiba di berlin. Kota impiannya dahulu yang menjadi angan kini bisa menginjakkan kakinya menjadi kenyataan.

Membawa segudang impian yang akan ia raih selama kurang lebih 3 tahun disini, ini adalah langkah awal yang baik untuk dirinya. Melupakan masalahnya sejenak untuk fokus pada studinya disini.

Menyeret koper hitam itu keluar dari dalam bandara, ia sudah di jemput oleh supir salah satu teman papahnya. Memicingkan mata melihat sekeliling, ia mendapati lelaki yang kira-kira berusia 30 tahun. Ia mendekat ke arah orang tersebut yang sedang bersandar pada mobil.

"Entschuldigung, ist es mit Herrn. Thomas?." Tanya gracio dengan sopan.

Lelaki yang di dapati bernama thomas itupun menegakkan badannya, memposisikan dirinya dengan benar.

"du gracio? Willkommen in Berlin." Ujarnya, mengambil alih koper gracio dan meletakkannya dalam bagasi dan memasuki mobil.

Setelah itu keduanya meninggalkan bandara, melihat jalanan yang cukup lengang karna tak banyak yang berkendara. Gracio melihat banyak sekali pejalan kaki dan orang-orang yang menaiki sepeda membuat gracio tersenyum dengan sendirinya.

"Was macht dich glücklich?." Tanya thomas yang melihat dari kaca spion.

Dengan refleks gracio langsung mengalihkan tatapannya ke depan.

"Ahh Nein, ich sehe diesen Anblick in Indonesien selten."

Thomas pun mengangguk. "Oh so."

"Yaa."

"Ich hoffe, Sie fühlen sich hier zu Hause."

Gracio tersenyum, "sicher."

Setelah menempuh perjalanan cukup lama akhirnya gracio sampai di sebuah apartemen yang sudah di sediakan keenan. Sebenarnya dari kampus sudah ada fasilitas dorm tapi keenan tak mau gracio tinggal dorm yang akhirnya memilih untuk membelikan satu unit apartemen.

Duduk di sebuah kursi yang terdapat di balkon yang kecil ini, gracio memandang kota berlin dari lantai 40, sungguh indah dan luar biasa.

Andai kamu disini bersamaku, mungkin akan menjadi sempurna.

Cukup lama ia duduk akhirnya ia bangkit dari duduknya, memasuki kamar mandi untuk membersihkan badannya. Setelah itu ia merebahkan dirinya, terlalu lelah ia beberapa hari ini. Yang membuat ia memejamkan matanya dan memasuki alam mimpi.

--

Shani menatap kosong es teh yang tak ia sentuh yang hanya ia aduk-aduk saja tanpa niat meminumnya. Zee yang ada di depannya hanya bisa menghela nafas melihat shani seperti tak mempunyai semangat hidup, di ajak berbicara pun tak ada satupun yang ia jawab.

"Shan." Panggil zee.

Shani tetap saja sibuk mengaduk-aduk es tehnya tanpa mempedulikan zee yang sepertinya sudah mulai geram.

"Shaniii!."

Tetap saja tak di jawab, membuat zee lantas pergi meninggalkan shani seorang diri di kantin.

Shani memejamkan matanya sejenak, ia sebenarnya tau jika zee daritadi ada bersamanya tapi entah apa yang membuat ia malas untuk berbicara kepada siapapun.

Masih teringat pada percakapan antara dirinya dan juga orang tua gracio kemarin, membuat shani ingin menitikan air mata.

Shani yang masih menangis dengan air mata yang terus membasahi pipinya, merutuki dirinya sendiri akibat ia telat untuk menahan gracio. Andai kata ia lebih berani mungkin saja gracio tidak akan pergi ke berlin.

Nous [END]Where stories live. Discover now