28. Sorai

854 83 15
                                    

Rasa kalut terus menelusuk dalam pikiran gracio. Sampai-sampai ia tidak masuk kampus beberapa hari ini, menghindari bertemunya dia dan pak nopan. Selain itu juga, ia menghindari pertemuannya dengan shani, bukan apa-apa justru semakin bertemunya dengan shani membuat ia semakin ragu untuk mengambil suatu keputusan yang besar bagi hidupnya. Ia benar-benar berdiskusi dan meminta pertimbangan dengan yona dan keenan baru saja, ia baru memberi taunya barusan kepada orang tuanya.

Gracio memanggil kedua orang tuanya sebelum mereka pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.

"Ada apa manggil papah sama mamah,tumbenan?." Tanya keenan sambil duduk di ruang keluarga.

"Iya tumben banget, biasanya harus mamah yang maksa kamu ngumpul gini." Ujar yona bersuara.  

Gracio tidak menjawab pertanyaan kedua orang tuanya, ia langsung saja memberikan amplop beasiswa tersebut kehadapan kedua orang tuanya.

"Apa ini?." Tanya keenan sambil mengambil amplop yang diberikan gracio.

"Papah mamah baca aja."

Tanpa banyak bicara lagi, keenan dan yona kompak membaca dengan seksama selembaran kertas di dalam amplop tersebut dengan serius. Tak lama gracio melihat perubahan raut wajah kedua orang tuanya itu tersenyum dengan begitu sempurna, menunjukan bagaimana mereka begitu bahagianya membaca surat itu barusan.

"Ini beneran?." Tanya keenan memastikan.

"Itu kan ada nama cio pah, ngapain juga bohong."

"Akhirnya apa yang kamu harapin terkabul, kamu selalu buat kami bangga." Ujar keenan dengan senyum, sungguh ia memang sangat bangga mempunyai anak seperti gracio.

Gracio tak pernah gagal dalam akademik dan non akademik, ia selalu berusaha semampu dia untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Sampai ia rela mengambil kelas internasional dan belajar setiap pagi dan malam, kini akhirnya membuahkan hasil.

"Siapa yang ngasih surat ini?."

"Pak nopan."

"Kamu udah ngambil keputusan bahwa kamu akan ngambil beasiswa ini kan?."

Gracio menggeleng.

"Kenapa?."

"Masih bingung dan takut."

"Kalau kamu masih takut, biar papah yang urus semuanya termasuk keperluan kamu, kalau sudah selesai papah akan kasih tau kamu. Dan ingat segera hubungin pak nopan bahwa kamu menerima beasiswa ini."

"Tapi p-..."

"Gaada tapi-tapi gracio, fokus dulu yang sudah di depan mata. Selesaikan satu-satu. Jika kamu ragu dengan urusan lain maka selesaikan dulu yang ini, baru selesaikan masalah yang lainnya."

"Pahh."

"Sekali ini aja turuti papah ya?."

"Nanti gracio pertimbangkan."

Gracio menghela nafasnya kembali saat ia mengingat percakapannya dengan orang tuanya. Ia mengacak-ngacak rambutnya hingga berantakan, rambut yang mulai panjang akibat sudah lama tak ia potong. Persis seperti seseorang yang lusuh, sebab dirinya yang belum mandi dengan raut wajah yang sendu di tambah dengan rambut yang acak-acakan.

Ia bangkit dari tempat tidurnya, segera ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Bagaimanapun ia adalah seorang mahasiswa, jadi ia putuskan untuk berangkat ke kampus hari ini. Ia juga sadar semakin menghindar semakin membuat ia tak bisa lepas dari masalah ini sampai kapanpun. Sepertinya memang ia harus mengambil resiko yang besar ini, bagaimanapun ini udah jalan tuhan menentukan takdir. Meski berat, ia tetap harus melangkah.

Nous [END]Where stories live. Discover now