33. Tunggu, Aku Datang

1K 97 46
                                    

Berlin.

Dulu, aku ingin sekali memutar waktu agar aku tidak bertemu dengan hari ini atau hari-hari yang lain yang tidak ada kamu. Tapi ada satu hari dimana aku belajar bahwa aku bisa tanpa kamu, yang membuat aku bisa berada pada titik ini.

Semua mimpi bisa saja aku wujudkan, tapi itu kataku bukan kata tuhan. Aku tidak bisa menentang semuanya, aku tidak bisa membandingkan skenario yang kutulis dengan milik tuhan. Jika semuanya sudah terlampau berbeda, bukankah aku harus menulis di lembaran yang baru?.

Sedikit demi sedikit ku tulis tinta hitam itu di kertas yang putih, belum pernah tersentuh apapun. Ya, semuanya baru tidak ada yang sama. Aku membuatnya berbeda dari sebelumnya. Semoga saja kali ini tuhan berkenan.

Derap sepatu pentopel hitam dan juga sepatu hilss yang tidak terlalu tinggi mengalun berirama pada lantai sebuah mall yang sangat megah di negara jerman ini. Seorang perempuan menggandeng lengan seorang lelaki di sebelahnya ini, setiap mata yang tertuju pada mereka membuat pikiran pasti melayang bahwa sepasang ini merupakan pasangan yang bahagia.

Ah, tidak tidak semudah itu.

Perempuan yang tak lain adalah chika ini sepanjang jalan terus tersenyum menyusuri mall yang beberapa bulan ini tak ia pijaki, bagimana tidak? Mall merupakan salah satu surga bagi seorang perempuan.

"Kemana dulu nih?." Tanya chika pada gracio.

"Cari yang penting dulu, belanjaan kamu ga penting." Ucap gracio begitu enteng.

Mendengar itu membuat chika merengut sedikit kesal, lantas ia melepaskan gandengan tangan tersebut dari gracio.

"Kenapa di lepas?." Tanya gracio heran.

Chika tak menjawab, ia malah mempercepat langkahnya, tak beriringan seperti tadi. Sekarang ia berjalan di depan gracio, yang kira-kira jaraknya dua meter. Sikap chika barusan membuat gracio terkekeh geli, ia memperbesar langkahnya agar kembali beriringan dengan chika.

Gracio menggenggam tangan chika.

"Takut hilang, anak kecil gaboleh sendirian di mall." Kata gracio saat ia berhasil berdampingan dengan chika kembali.

Chika hanya diam, membiarkan lelaki ini sesuka hatinya. Ia tau, jika ia menolak pasti saja gracio akan memarahinya dan menceramahinya sepanjang hari.

"Dimana tempatnya?." Tanya gracio.

"Di lantai empat, satu-satunya toko perhiasan paling mewah dan menjadi kepercayaan orang-orang kelas atas." Kata chika memberikan informasi.

Gracio hanya mengangguk, mempercepat langkahnya agar cepat sampai. Untung saja mall sedang tidak terlalu ramai. Karna kebanyakan orang sini lebih sering menghabiskan waktu di tempat terbuka daripada mall-mall seperti ini.

Menaiki sebuah lift, keduanya sampai di lantai tempat tujuan utama mereka. Melihat sebuah toko yang berkelip terang sekali daripada toko-toko yang ada di lantai ini.

Oke, memang seharusnya gracio percaya pada selera seorang perempuan benar-benar wow, tak main-main.

"Gimana-gimana?." Tanya chika sambil menaik-turunkan alis.

Gracio yang melihat ekspresi chika itu terkekeh. "Good, memang terbaik."

"Makanya, gausah takut sama selera aku!."

"Iya-iya."

Keduanya memasuki toko perhiasan tersebut, melihat-lihat bagian cincin yang terjajar dengan rapih.

"Sukanya yang model kaya gimana?." Tanya chika.

"Yang sederhana tapi mewah."

"Ya iya tau, maksudnya kamu mau yang gimana?."

Nous [END]Where stories live. Discover now