32. Sebuah Kebenaran

1K 105 34
                                    

Dua Tahun Kemudian.

Jakarta.

Setiap langkah yang kulalui bersama jarum jam yang berdenting bergerak, matahari dan bulan yang bergantian pada posisinya, jalanan yang kering tersapu derasnya air semakin berat yang dirasa. Seretan telapak sepatu yang menyapu panasnya aspal kian terkikis menjadi tipis untuk menggambarkan suasana hati yang kini miris akibat terlalu banyak menangis.

Tidak seperti dulu, senyum simpul berubah menjadi masam. Seorang insan yang kehilangan pasangan tak lagi di prioritaskan menjadi hambatan untuk melangkah maju kedepan.

Shani, perempuan yang coba bertahan pada kesendirian kurang lebih selama dua tahun ini kini tengah terduduk di sebuah perpustakaan kampus yang sepi, tidak ada satupun orang disini kecuali penjaga perpustakaan yang tengah sibuk dengan diri sendiri. Duduk di pojokan yang jarang terlihat jika ada yang melintas kini di pilih shani untuk tempat persembunyian. Dirinya semakin tertutup dan murung, kadang tak mau bertemu dengan siapapun. Ia tengah asik melamun, asik dengan dunianya sendiri, asik bergelut dengan pikirannya yang entah sudah bercabang menjadi berapa.

Hari demi hari dilalui shani selama ini sulit sekali, tak mudah melewati hari selama tujuh ratus tiga puluh hari tanpa memikirkan seseorang yang tak kunjung kembali kesini, tak menemuinya, tak menghubunginya. Seakan dirinya hilang entah kemana bumi membawanya. Ia rindu, rindu sekali.

Tapi, apakah mungkin dirinya masih mengingat shani disini?

Kemana janji dirinya yang pasti akan kembali dan membuatnya bahagia?

Aku butuh janji itu, ge.

Iya, dirinya dan gracio tidak saling berkomunikasi selama dua tahun lebih. Seakan tuhan menuntut mereka untuk jalan masing-masing, untuk saling menguatkan diri sendiri bahwasan mereka bisa tanpa saling merangkul.

Bagi shani? Sampai saat ini justru ia tak mampu, semakin melupakan dan mengikhlaskan gracio justru semakin dirinya sedih.

Jemarinya terus membuka halaman demi halaman agar berpindah dan berganti, tanpa ada niat untuk membaca. Inilah aktivitas shani kini. Entahlah mungkin sudah hampir lima tumpukan buku di sampingnya sekarang itupun tak ada satupun yang ia baca. Masih sama, hanya membuka halaman sampai habis setelah itu berganti buku.

Tak di tegur oleh pengawas perpustakaan karna selama kurang lebih tiga jam dirinya berada disini, membuat shani merasa bersyukur.

"Shani, kamu Shani kan?." Tanya seseorang entah siapa, Shani pun tidak kenal.

Shani menatap lelaki yang kini berdiri tepat di hadapannya, memegang setumpuk buku sambil tersenyum.

"Kamu beneran Shani kan? Aku tidak salah orang?." Tanyanya kembali, Shani tetap diam tak menjawab pertanyaan itu.

"Aku harris, Muhammad harris." Katanya.

Dia menjulurkan tangannya, mungkin sebagai tanda untuk memperkenalkan diri secara resmi.

Shani hanya melihat tangan itu tanpa niat untuk membalas uluran tangan tersebut, membuat harris tersenyum dan menarik kembali tangannya.

"Boleh saya duduk?."

"Boleh."

Lelaki yang bernama harris itupun duduk, meletakkan semua barang-barangnya, setelah itu ia mengambil sesuatu di dalam tas dan memberikannya kepada Shani.

"Apa ini?." Tanya Shani tak mengerti.

"Ambilah dan lihat isinya, setelah ini kau akan paham ini dari siapa dan saya ini siapa." Katanya.

Dengan cepat Shani mengambil sekotak kardus kecil yang rapih dan cantik karna di hiasi oleh sang pembuat.

Tepat saat ia membuka, dirinya mendapati setangkai bunga mawar, sebatang cokelat dan juga eskrim yang sudah mencair.

Nous [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang