31 - Deklarasi Perang

62 10 5
                                    

"Wah, kesambet apaan lo dateng lebih pagi dari gue?" Bukannya menyapa, Joana yang baru datang justru langsung menghakimi Kyna.

"Emang gak boleh gue dateng lebih pagi? Bagus dong gue dateng gak mepet-mepet mulu?" Kyna yang merasa tidak terima, membalas pertanyaan Joana dengan pertanyaan lainnya.

"Ya ... iya juga, sih." Tidak mau memperpanjang masalah, Joana pun memilih mengiakan saja, lalu kembali sibuk memainkan ponselnya.

Pagi ini, Kyna memang sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia bahkan pergi lewat pintu belakang dan memilih jalan memutar demi untuk menghindari bertemu seseorang. Ya, pagi ini, Kyna menghindari bertemu dengan Aka yang pasti sudah mengawasi rumahnya agar tidak terlambat mengantarkan cewek itu ke kampus seperti hari-hari sebelumnya.

"Lagian dia kenapa, sih? Jadi pengen nganterin gue terus?" Kyna berucap lirih yang ternyata terdengar oleh Joana.

"Hmm? Siapa?" Joana menoleh pada Kyna. "Lo tadi dianterin siapa? Aka?"

Kyna menggeleng keras-keras. "Nggak, gue berangkat sendiri. Kenapa lo tiba-tiba ngomongin Aka, sih?" Wajah Kyna memerah.

Joana menyembunyikan senyumnya ketika melihat sahabatnya itu tiba-tiba salah tingkah. Tanpa mendapat jawaban pun, Joana sudah tahu bahwa yang dimaksud Kyna pastilah Aka.

"Ngomong-ngomong, kemaren itu si Aka kenapa? Lo udah nanya sama dia?"

Kyna tidak langsung menjawab. Cewek itu menggigit bibirnya, merasa ragu akan menjawab pertanyaan Joana atau tidak.

"Gak mau jawab, nih? Oke." Joana bersikap seolah tidak peduli dan kembali menatap layar ponselnya. "Tapi, biar gue tebak. Dia pasti cemburu lihat WA story lo yang rangkulan sama Ganendra, deh."

"Loh, kok, lo tau?" Tanpa sadar, Kyna berseru cukup keras. "Jangan-jangan lo kontakan sama Aka, ya?"

Joana tertawa melihat respons sahabatnya yang polos itu. "Gimana kontakan? Punya nomernya aja nggak. Lagian, gue cuma asal nebak. Jadi, gue benar, ya? Dia cemburu gara-gara itu?"

Wajah Kyna kembali memerah. Ia terdiam, lalu memalingkan wajahnya.

"Kalian tuh lucu. Saling suka tapi gak ada yang berani ngungkapin. Giliran ada yang ganggu, baru kalang kabut." Joana tersenyum menggoda. "Lo juga suka, kan, sama dia?"

Kyna meremas-remas lututnya, kemudian memperbaiki posisi duduknya agar berhadapan dengan Joana. Raut wajah cewek itu tiba-tiba berubah serius.

"Kenapa? Kok ekspresi muka lo nyeremin gini." Joana yang sudah kembali memberi perhatian pada Kyna merasa tidak nyaman dengan tatapan tajam cewek itu.

"Jo, sebenarnya si Aka nembak gue semalam." Kyna mengucapkannya sambil setengah berbisik agar tidak terdengar teman-temannya yang lain.

"WHAT? Serius?" Joana bersuara keras, membuat teman-teman sekelas kompak menoleh ke arah mereka.

Kyna mencubit lengan kiri Joana dengan gemas. "Ih, percuma gue bisik-bisik kalo lo malah teriak-teriak gini."

"Sorry, gue kelepasan." Joana meminta maaf sambil sesekali meringis merasakan nyeri hasil cubitan Kyna yang mirip cubitan pedas sang mama. "Nah, terus gimana? Lo kasih jawaban apa?"

"Hah?" Kyna melongo. "Jawaban apa?"

"Ya jawaban lo ke si Aka, lah. Masa jawaban giveaway masker bengkoang di Instagram yang gue ikutin? Please deh, Kyn, jangan kambuh sekarang lemotnya." Kini Joana yang tampak gemas dengan tingkah laku Kyna.

"Hmm ... itu belom gue jawab, Jo," jawab Kyna sambil tertunduk. "Harusnya gue jawab pagi ini, tapi ...."

Belum sempat Kyna melanjutkan kalimatnya, Joana sudah memotong. "Tapi lo kabur dan dateng lebih pagi ke kampus buat ngehindarin dia. Ya, kan?"

"Wah, Jo, lo pasti titisan dukun sakti." Kyna tercengang.

***

Sepanjang malam Aka begitu gelisah memikirkan jawaban apa yang mungkin akan diberikan Kyna pagi ini. Meskipun tidak sepenuhnya terjaga semalaman, tapi beberapa kali dirinya terbangun dari tidur dan terus saja merasa tidak tenang.

"Mana, ya? Udah jam segini kok dia belom nongol juga." Aka berjingkat-jingkat di pagar rumahnya memperhatikan teras rumah Kyna. Seharusnya, cewek itu sudah bersiap memakai sepatunya di teras sejak sepuluh menit lalu. Namun, sampai saat ini, Kyna belum juga terlihat batang hidungnya.

Aka kembali mengecek ponselnya untuk melihat jam, sekaligus memastikan apakah ada pesan balasan atau telepon masuk dari cewek yang sedang ditunggunya. Namun, hasilnya nihil. Kyna bahkan tidak bisa dihubungi sekarang.

Jangan-jangan dia sakit terus gak ngampus. Aka mulai khawatir.

"Gue samperin aja, deh." Setelah mondar-mandir dan mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya Aka memilih menyambangi rumah Kyna.

Saat Aka sampai di halaman rumah cewek itu, terlihat papa dan mama Kyna yang sepertinya akan meninggalkan rumah. Papa Kyna terlihat mengenakan pakaian kerjanya, sementara mama Kyna hanya mengenakan pakaian santai lengkap dengan sandal jepit. Dugaan Aka, mama Kyna sepertinya hanya akan ikut sampai ke pasar, sementara sang suami meneruskan perjalanan ke kantor.

"Pagi, Om. Pagi, Tante." Aka menyapa lebih dulu.

"Pagi, Ka. Wah, tumben udah rapih. Mau ke kedai?" tanya papa Kyna.

"Iya, tapi sebenarnya mau bareng Kyna. Kan nanti sambil lewat depan kampusnya. Kyna masih siap-siap, ya?" tanya Aka sambil celingukan memandang pintu rumah mereka.

Mendengar jawaban Aka, papa dan mama Kyna saling bertukar pandang dengan tatapan keheranan.

"Kyna gak ngabarin kamu? Dia udah berangkat pagi-pagi banget, loh, tadi." Mama Kyna menjelaskan.

"Aku udah teleponin, tapi dia gak angkat. Beneran udah berangkat? Tapi, kok, aku gak lihat, ya? Dari tadi padahal aku nunggu di depan rumah." Aka menggaruk belakang kepalanya, merasa bingung sendiri karena sedari tadi ia sudah berdiri mengawasi rumah Kyna, tapi tidak melihat sosok cewek itu keluar dari rumahnya.

"Oh, iya. Tadi dia juga lewat pintu belakang. Katanya mau ambil jalan memutar sambil jogging. Tapi, Pah, sejak kapan anak kita yang mageran itu hobi jogging?" Mama Kyna baru merasakan kejanggalannya.

Suaminya mengangkat bahu. "Papa juga gak tau. Emang hari ini dia lagi aneh banget," sahutnya.

Saat mereka sedang asik mengobrol, tiba-tiba datang sebuah motor besar berwarna merah yang dikenal Aka. Ya, itu motor dengan pengendara misterius yang beberapa kali Aka lihat membonceng Kyna.

Pengendara motor itu berhenti dekat dengan tempat Aka berdiri, lalu membuka helmnya. Saat itulah untuk pertama kalinya, Aka mengetahui wajah di balik helm itu.

Ini, kan, cowok yang kemaren. Mau ngapain dia? Aka menatap tajam Ganendra yang menghampiri mama Kyna, lalu mencium tangan wanita itu.

"Pagi, Tante. Kyna ada?" sapanya.

"Loh? Ini siapa? Papa, kok, baru lihat, Ma?" Papa Kyna mendekat pada Ganendra.

"Ini Ganendra, temannya Kyna juga." Mama Kyna mengenalkan cowok bernama Ganendra itu pada suaminya. Cowok itu kemudian juga melakukan hal yang sama pada papa Kyna. Ia mencium punggung tangan pria itu seperti mencium tangan orangtuanya sendiri.

"Duh, gimana sih Kyna. Masa dia gak ngabarin kalian sama sekali?" Mama Kyna tak habis pikir dengan kelakukan putrinya. "Ganendra, maaf, loh. Kyna udah berangkat dari tadi. Ini Aka juga nyariin dia."

Ganendra kemudian menatap Aka. Sorot matanya jelas menyatakan ia tidak menyukai kehadiran Aka di sana. Tidak mau kalah, Aka pun memandang Ganendra dengan cara yang sama.

"Oh, iya, kalian belum saling kenal, kan? Aka, kenalin ini Ganendra, kakak kelas Kyna di SMA." Mama Kyna dengan polosnya memperkenalkan mereka berdua, tanpa menyadari aura gelap yang memancar dari kedua pemuda itu. "Dan Ganendra, ini Aka, teman kecilnya Kyna."

Tidak ingin terlihat bahwa hubungan mereka tidak baik di depan orangtua Kyna. Baik Ganendra maupun Aka saling menjabat tangan sambil tersenyum. Namun, jelas senyuman mereka bukanlah senyum bahagia karena baru saja menambah satu kenalan. Senyuman dan jabat tangan itu bagaikan pertanda deklarasi perang yang sesungguhnya baru akan dimulai.

***

[bersambung]

Love Speedometer (Completed) Where stories live. Discover now