6 - Inikah Takdir?

112 21 5
                                    

Joana yang kebingungan hanya menatap Kyna dan si cowok asing itu bergantian. Joana mencoba memahami situasi yang kini terjadi, tapi otaknya terasa buntu. Sementara Kyna yang seharusnya menjelaskan sesuatu kepadanya, justru terlihat melamun menatap si cowok tampan di hadapannya.

Nih anak beneran syok lihat cowok ganteng apa gimana, sih? Joana bergumam dalam hati.

"Heh? Lo kenal cowok cakep ini?" Joana berbisik lirih sambil menyenggol lengan sahabatnya beberapa kali. Usahanya itu ternyata sukses membuat Kyna tersadar dari lamunan panjangnya.

"Ah, iya. Jo, dia kakak kelas gue di SMA. Namanya Ganendra." Kyna belum mengalihkan pandangannya dari cowok di hadapannya. Kalau boleh nambahin, sih. Dia ini cinta pertama gue, Jo, tambah Kyna dalam hati.

"Kalau yang ini, Joana. Dia teman kuliah aku, Kak." Tak lupa, Kyna juga memperkenalkan Joana pada cowok bernama Ganendra itu.

"Oh, teman kuliah Kyna. Halo, saya Ganendra. Salam kenal." Cowok itu menyodorkan tangan kanannya.

"Saya Joana. Salam kenal." Joana menyambut tangan pria itu dengan riang. Kalau saja Joana tidak ingat sudah punya Rendy, mungkin Joana sudah tebar pesona untuk menggaet cowok tampan ini.

"Wah, lama gak ketemu, ya." Ganendra tersenyum dan mengalihkan pandangannya kembali pada Kyna, sementara cewek itu hanya bisa tertawa canggung. "Terus kalian baru datang atau malah mau pulang, nih?"

Joana melirik Kyna. Cewek itu cukup peka dengan perubahan ekspresi di wajah sahabatnya. Joana bahkan bisa sampai pada kesimpulan bahwa Ganendra mungkin bukan sekedar kakak kelas bagi Kyna. Meskipun Kyna belum menceritakan apa pun kepadanya, tapi Joana bisa mencium ada hubungan spesial di antara kedua orang itu di masa lalu. Menyadari hal itu, Joana pun kemudian menyusun rencana dadakan dalam kepalanya.

"Kakak sendiri gimana? Baru datang atau udah mau pulang?" Joana justru balik bertanya.

"Udah mau pulang juga, sih. Abis beli ini." Ganendra menjawab sambil menunjukkan belanjaan di tangannya. Dari bentuknya, Joana bisa menebak kalau itu berisi kotak sepatu.

"Wah, kebetulan, dong. Kita juga udah mau pulang. Tapi, aku kayanya gak bisa antar si Kyna, deh. Rumah kita beda arah, sementara aku harus buru-buru pulang. Udah ditelponin orangtua." Joana berbohong.

"Loh, bukannya tadi lo bilang lape ...." Cepat-cepat Joana mencubit lengan Kyna sebagai isyarat agar sahabatnya itu diam saja dan mengikuti rencananya.

"Kakak, bisa gak anterin anak ini? Aku takut dia diculik orang kalau pulang sendiri." Tanpa persetujuan Kyna, tiba-tiba Joana mengajukan permintaan itu pada Ganendra. Tentu saja Kyna merasa malu dan gelagapan.

"E-eh? Apaan sih, Jo? Ngerepotin orang aja. Nggak, Kak, gak usah. Aku bisa balik sendiri, kok."

Ganendra cepat-cepat menggeleng. "Gak repot, kok. Rumah kamu belom pindah, kan? Berarti kita searah. Lagian benar juga kata teman kamu. Udah malem gini bahaya, kan, cewek pulang sendirian." Di luar dugaan, Ganendra justru terlihat bersemangat.

"Ehem. Kayaknya lo hutang budi sama gue nih, Kyn." Joana berbisik dengan nada menggoda.

***

Kyna sedikit kikuk saat menyadari jarak tempuh rumahnya sudah semakin dekat, tak lebih dari 2 menit lagi. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Membayangkan bagaimana ia harus bersikap saat motor yang ditumpanginya benar-benar berhenti tepat di depan rumahnya nanti.

Duh, gue harus gimana, ya? Ajak dia mampir dulu atau gimana, nih?

Memang, ini bukan pertama kalinya Kyna diantar pulang oleh Ganendra. Mungkin ini sudah ketiga kalinya. Tapi, saat itu Ganendra hanya mengantar Kyna sampai di depan gerbang kompleks perumahannya. Sementara saat ini, Ganendra memaksa untuk mengantar Kyna sampai di depan rumahnya dengan alasan hari sudah malam dan Ganendra merasa khawatir kalau Kyna berjalan sendirian malam-malam.

"Ah! Itu rumahku yang pagar biru muda." Kyna memberi arahan saat posisi rumahnya sudah mulai terlihat.

"Oh, oke." Ganendra mulai memperlambat laju motornya dan berhenti tepat di depan rumah berpagar biru muda yang ditunjukkan Kyna.

Kyna pun turun dari motor besar Ganendra dengan hati-hati. Karena Kyna bertubuh mungil dan postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, ia agak kesulitan saat akan naik maupun turun dari motor besar milik Ganendra. Seperti halnya saat akan naik tadi, saat ini pun Kyna terpaksa mencengkeram kedua bahu atletis Ganendra untuk membantunya menjaga keseimbangan.

"Hati-hati." Ganendra menunjukkan kekhawatirannya saat mengetahui Kyna terlihat sangat kesulitan turun dari motornya.

Setelah kedua kaki Kyna mendarat sempurna memijak bumi, cewek itu segera melepas helmnya. Kyna hampir saja menyerahkan helm pinjaman dari Sisi itu pada Ganendra. Entah bagaimana jadinya kalau Kyna benar-benar melakukannya. Yang pasti, wajahnya akan memerah karena malu.

Kyn, please deh, jangan kambuh lemotnya. Untung lo cepat sadar. Emang lo kira si Ganendra tukang ojek lo sodorin helm? Kyna memaki dirinya sendiri.

"Makasih ya, Kak. Maaf, nih, jadi ngerepotin harus antar aku sampai depan rumah segala kayak gini." Kyna tertawa canggung untuk menutupi rasa gugupnya.

"Gak ngerepotin, kok. Malah aku happy banget bisa ngobrol banyak tadi." Kelihatannya Ganendra berkata jujur. Terlihat dari ekspresi cowok itu yang sumringah dan tak henti menebar senyuman mautnya pada Kyna.

"Terus, gimana? Mau mampir dulu?" Kyna tampak ragu mengucapkan kalimat basa-basi itu pada Ganendra.

"Boleh nih aku mampir? Wah, dengan senang hati." Jawaban Ganendra yang antusias justru membuat jantung Kyna semakin berdebar. Biar bagaimanapun, ini pertama kalinya ia membawa tamu pria ke rumah, selain Aka tentunya.

"Eh? Seriusan?" Tanpa sadar, cewek itu mengucapkan isi hatinya karena terlalu terkejut mendengar jawaban Ganendra.

"Kok, kaget gitu, sih? Ya, serius, dong. Tapi, kayaknya gak sekarang, deh. Udah malam, gak enak namu malam-malam gini. Kapan-kapan aja, ya. Tawarannya gak ada tanggal kedaluarsanya, kan?" Ganendra tertawa melihat ekspresi Kyna yang tampak syok.

"Kapan-kapan itu kapan, Kak? Kasih tau dulu, ya. Biar aku ada persiapan buat nyuguhin tamu kehormatan." Kyna coba mencairkan suasana dengan lelucon konyolnya.

"Ya pasti ngasih tau, dong. Tapi, gimana caranya, ya? Nomor kamu aja aku gak ada. Kamu ganti nomor, kan?"

Kalau kalimat itu terucap dari mulut pria asing yang baru dikenalnya, mungkin Kyna akan menganggapnya sebagai modus belaka. Tapi, apa yang Ganendra katakan memang ada benarnya. Kyna yang mengajaknya bertamu dan minta diberi tahu terlebih dahulu kapan calon tamunya itu akan datang, sementara Ganendra belum memiliki nomor ponsel barunya. Jadi, bagaimana mungkin Ganendra bisa mengabarinya sebelum datang bertamu?

"Oh iya, benar juga. Biar aku aja yang save nomor kakak. Jadi, Kak Nendra gak perlu ribet keluarin HP. Nanti aku aja yang miscall." Kyna sudah bersiap merogoh bagian depan ranselnya untuk mengeluarkan ponsel, saat kemudian Ganendra menghentikannya.

"Gak usah, aku aja yang save nomor kamu, soalnya aku gak hapal nomor sendiri." Ganendra tertawa.

Setelah selesai menyimpan nomor Kyna dan mencoba menghubungi nomor tersebut untuk memastikan bahwa nomornya sudah benar, Ganendra segera pamit. Kyna pun menunggu Ganendra pergi terlebih dahulu sebelum memutuskan masuk ke rumah. Tanpa sadar, ada senyum yang mengembang di wajah gadis itu ketika memandang punggung Ganendra yang semakin menjauh dan menghilang di tikungan.

Gak nyangka bisa ketemu Kak Nendra lagi setelah sekian lama lost contact. Apa ini yang namanya takdir? Kyna tersenyum sendiri, tanpa sadar sepasang mata sedang mengamatinya dari kejauhan.

***

[bersambung]

Love Speedometer (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang