14 - Saingan Cinta

70 14 2
                                    

Sofa panjang di ruang tamu menjadi tempat pilihan Aka untuk merebahkan tubuh lelahnya. Cowok itu baru saja membenahi segala kekacauan yang dibuatnya ketika mati lampu beberapa hari lalu.

Kalau bukan karena bunda bakal pulang hari ini, males banget gue, batin Aka.

Rasa lelah yang dirasakan Aka tidak hanya bersumber dari tubuhnya, tapi juga pikirannya. Meskipun sedari tadi tangannya sibuk merapihkan barang-barang yang berserakan, tapi pikirannya benar-benar tidak fokus dengan apa yang dikerjakannya. Ya, ini semua karena kata-kata Mama Kyna soal cowok asing si calon mantu itu.

"Ah! Sejak kapan sih Kyna punya kenalan cowok dan akrab banget gitu selain gue?" Aka mengacak-acak rambutnya, merasa frustrasi sendiri. "Kok, gue jadi ngerasa dunia gak adil gini, ya? Kenapa di saat gue mau maju, malah muncul saingan?"

Aka memejamkan mata sejenak. Entah bagaimana, pemandangan Kyna yang saat itu dibonceng cowok misterius terus saja terbayang di pikirannya, sama persis seperti adegan flashback sinetron favorit bundanya.

"Gak! Gue gak boleh kalah sama si cowok bermotor itu." Tiba-tiba Aka bangkit dari posisi berbaringnya. Cowok itu juga mengepalkan tinju dan memukul ringan pahanya sendiri, menunjukkan seberapa besar tekadnya kali ini.

Aka meraih ponselnya, mencari kontak Kyna dan langsung menelepon cewek itu. Terdengar bunyi nada sambung beberapa saat sebelum kemudian terdengar suara operator yang mengatakan bahwa si pemilik nomor sedang sibuk. Tak menyerah, Aka terus mencoba menelepon Kyna. Namun, hasilnya tetap sama, cewek itu tidak kunjung menjawab panggilan teleponnya.

"Kyn, jangan bilang lo masih marah soal semalam terus gak mau angkat telepon gue." Dengan sebal, Aka menatap ponselnya. "Tapi, tunggu ... jangan-jangan dia sibuk berduaan sama si cowok gak jelas itu sampai gak ada waktu ngangkat telepon gue lagi. Gawat!" Aka yang tadinya berniat menyerah, seketika kembali menekan nomor Kyna dan menghubungi cewek itu lagi dan lagi.

Saat Aka menyadari dirinya sudah bertindak berlebihan dengan terus menerus menelepon cewek itu bagaikan peneror ulung, Aka pun segera menghentikan aksinya. Ia kembali berbaring dan berniat tidur siang sejenak saat kemudian terdengar suara notifikasi chat yang bersumber dari ponselnya. Nama yang tertera membuat rasa lelahnya terasa hilang seketika.

Kyna : Kenapa, Ka? Gue baru kelar kelas.

Aka : Oh, sorry. Gue pikir lo masih marah makanya gak mau angkat telepon.

Kyna : Marah?

Aka : Iya, nyokap lo bilang kalau lo marah sama gue soal janji makan malam itu.

Kyna : Oh, itu. Btw, pertanyaan gue belom lo jawab. Ada apa?

Mampus! Gue harus bikin alasan apa nih? Masa langsung nanya soal cowok gak jelas itu. Gengsi! Aka mengetuk meja di dekatnya sambil terus berpikir jawaban apa yang bisa ia berikan tanpa harus melukai harga dirinya.

Aka : Gak ada apa-apa, sih. Cuma pengen tanya.

Kyna : Tanya apa?

Aka : Kapan kelar ngampusnya?

Kyna : Kelas terakhir kelar jam 16.30. Kenapa, sih?

Aka : Oke, tunggu gue, ya. Nanti gue jemput. Gak terima penolakan! See you~

Aka tersenyum senang, merasa telah melakukan hal paling jenius di muka bumi. Kalau cowok itu bisa antar lo ke kampus. Gue bisa jemput lo. Jadi satu sama, kan? pikirnya.

Baru akan beranjak menuju kamarnya untuk istirahat sebelum menjemput pujaan hatinya, Aka kembali dikejutkan dengan dering ponselnya. Kali ini bukan chat melainkan panggilan telepon. Sempat sumringah karena mengira Kyna sudah merindukannya lagi, tapi ternyata panggilan itu datang dari bundanya.

"Halo, Ka, jangan lupa jam 5 jemput bunda di stasiun, ya!"

Aka bahkan belum sempat menyapa, sang bunda langsung menyampaikan inti pembicaraan telepon mereka. Perasaan Aka yang baru saja berbunga-bunga karena Kyna, tiba-tiba kembali dilanda kegundahan.

Duh, mampus gue! Kenapa bisa lupa mau jemput bunda, sih? Aka menepuk keningnya keras-keras.

***

Ganendra menyesali keputusannya untuk pulang lebih cepat dari kampus Kyna. Kalau saja ia tahu Kyna akan mencarinya bahkan mengajaknya makan siang saat cewek itu istirahat, mungkin dirinya akan menunggu dengan sabar. Apalagi setelah ia bersusah payah memikirkan alasan untuk bertemu kembali dengan cewek itu.

Mungkin lain kali gue bisa lebih beruntung, sesal Ganendra.

Ya, pertemuannya hari ini dengan Kyna telah direncanakannya dengan susah payah. Memang, Kyna tampaknya tidak keberatan dengan kehadirannya lagi setelah sekian lama tidak bertemu. Kyna juga tidak menolak jika suatu saat mereka berjanji untuk bertemu kembali, bahkan cewek itu sudah mengundangnya bertamu. Namun, entah kenapa Ganendra selalu ragu ketika akan memulai menghubungi Kyna lagi.

Awalnya, Ganendra berharap Kyna akan menghubunginya lebih dulu. Sekedar chat menanyakan kabar atau semacamnya, tapi hasilnya nihil. Setelah dua hari menunggu, tak ada tanda-tanda Kyna akan menghubunginya.

Apa pertemuan kita setelah sekian lama ini gak berarti apa-apa buat kamu, Kyn? Ganendra membatin. Ada sedikit rasa kecewa ketika memikirkan kalau sepertinya hanya dirinya seorang yang sangat bahagia bisa bertemu dengan cewek itu lagi.

Tepat kemarin malam, Ganendra memutuskan untuk menghubungi Kyna terlebih dahulu lewat chat. Ia juga sudah menyusun rencana akan mengajak cewek itu pergi.

Meskipun chat-nya direspons dengan sangat baik. Namun, sayang sekali Kyna mengaku sibuk kuliah. Jadilah Ganendra kembali memutar otak agar tetap bisa bertemu cewek itu. Saat itulah ide untuk mengantar Kyna ke kampus muncul. Ganendra sadar Kyna mungkin akan menolak dan merasa sungkan, karena itulah ia juga beralasan ingin sekalian survei mencari kampus baru.

Tapi, suasana kampusnya lumayan juga. Bikin betah. Ganendra kembali mengingat bagaimana dirinya begitu menikmati tur kampus dadakannya tadi pagi. Di kampus Kyna juga terdapat Fakultas Sosiologi yang menjadi keinginannya. Ditambah lagi, ada Kyna di sana. Kampus itu rasanya menjadi pilihan paling tepat baginya saat ini.

"Apa gue kuliah di situ aja, ya?" Ganendra menimbang-nimbang keputusannya.

***

Sejak tiga puluh menit sebelum kelas yang diikutinya usai, Kyna sudah bolak-balik menatap jam dinding besar berbingkai putih yang terpajang di depan kelasnya itu puluhan kali. Tak hanya matanya yang sibuk, kakinya juga tak henti bergoyang menunjukkan kegelisahannya. Joana dan Sisi yang kebetulan mendapat kelas yang sama sore itu hanya bisa saling pandang, merasq keheranan melihat kegelisahan sahabatnya.

Saat kelas benar-benar usai, secepat kilat Kyna langsung meninggalkan kelas. Cewek itu bahkan tidak berpamitan dengan kedua sahabatnya. Joana dan Sisi yang merasa khawatir, dengan cepat berlari menyusul Kyna. Mereka bahkan meneriakkan nama Kyna beberapa kali. Namun sepertinya fokus Kyna sedang berkelana entah kemana, hingga tidak mendengar kedua sahabatnya itu menyerukan namanya.

"Heh! Lo kenapa? Beneran ada masalah di rumah?" Joana mencengkram bahu Kyna ketika dirinya berhasil menyusul cewek itu. Ia pun kemudian teringat perihal belasan panggilan tak terjawab dari tetangga Kyna tadi siang.

"Ada apa, nih? Kalian ngomongin apa, sih?" Sisi yang baru bergabung setelah makan siang tentu saja merasa bingung.

"Itu ... tadi sebelum makan siang, Kyna dapat banyak panggilan tak terjawab dari tetangganya. Gue pikir mungkin itu panggilan penting yang bikin sahabat kita ini gelisah sekarang." Joana menjelaskan.

Baru saja Kyna akan menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya, tiba-tiba terdengar suara rendah cowok yang meneriakkan namanya dari kejauhan. Tanpa menoleh, Kyna sudah mengenali pemilik suara itu. Ya, itu Aka.

Ah, sial! Ini yang bikin gue buru-buru. Gue gak mau Aka ketemu Joana, apalagi Sisi. Gue bisa jadi bulan-bulanan mereka, nih. Diam-diam, Kyna meringis sebal.

***

[bersambung]

Love Speedometer (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang