23 - Terjadi Sesuatu

52 10 2
                                    

"Jo, lo ngerasa ada yang aneh gak, sih?" Sisi menyikut lengan sahabatnya yang terlihat sibuk bermain ponsel.

"Hmm? Apanya?" Kini Joana memberikan perhatiannya pada Sisi.

"Tuh, lo liat." Sisi memajukan bibirnya ke satu arah, seolah bibirnya itu digunakan sebagai pengganti jari telunjuk.

Joana mengerti maksud Sisi, cewek itu kemudian melihat ke arah yang ditunjuk. Di sanalah ia melihat Kyna yang duduk jauh di sudut lain kelas. Joana memperhatikan Kyna beberapa saat, mencoba menemukan keanehan yang disebutkan Sisi.

"Hmm, apanya yang aneh? Penampilannya biasa aja, kok. Gak berantakan kayak kemarenan." Merasa tidak menemukan hal yang janggal dari Kyna, Joana pun mengangkat bahunya, sebelum kemudian matanya kembali fokus menatap layar ponsel.

Sisi tampak tidak puas dengan jawaban Joana. Cewek itu menepuk keningnya, lalu merebut paksa ponsel Joana. "Ya ampun, serius lo gak ngerasa si Kyna aneh banget gitu? Coba liat lagi!"

Joana yang merasa kaget bercampur kesal karena ponselnya dirampas pun hanya bisa memberengut. Merasa tak punya pilihan lain, akhirnya cewek itu kembali melihat ke arah Kyna. Mencoba menganalisa keanehan macam apa yang dimaksud oleh Sisi sekali lagi.

Apa sih? Penampilan Kyna biasa aja, kok. Joana berpikir keras.

Melihat Joana yang tampaknya belum berhasil menunjukkan tanda-tanda memahami kejanggalan dalam diri Kyna, Sisi jadi merasa gemas sendiri. "Hah! Coba lo pikir, sejak kapan itu anak mau duduk jauh-jauhan sama kita di kelas? Gak pake nyapa lagi, main langsung duduk aja."

"Aah! Benar juga!" seru Joana yang baru menyadarinya.

"Udah gitu lo liat, deh. Dia kayak bengong gitu. Dari tadi cuma liat ke depan, tapi ... ya gitu tuh, kayak kosong pandangannya."

Joana berpikir-pikir sejenak, sebelum kemudian bersuara agak keras sambil memukul meja di hadapannya. "Jangan bilang itu bocah kesambet demit kampus!" Joana membelalak menatap Sisi. "Yaudah ayo, samperin! Tepok aja bahunya biar sadar."

Joana yang awalnya kalem dan tampak tidak peduli, kini menjadi jauh lebih heboh dari Sisi. Tak bisa menunda, cewek itu segera menyambar lengan Sisi sambil setengah menarik sahabatnya itu untuk menghampiri Kyna.

Sisi dan Joana berdiri di sisi kanan dan kiri Kyna yang masih duduk melamun menatap lurus ke depan. Sepertinya, Kyna benar-benar tidak menyadari bahwa kedua sahabatnya kini sudah berdiri mengapitnya dan menatapnya lekat-lekat. Sisi bahkan sempat melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Kyna, tapi cewek itu bahkan tidak berkedip sedikit pun.

Joana dan Sisi saling tatap keheranan beberapa saat, hingga kemudian Joana mengangguk memberi isyarat. Sisi yang sudah mengerti arti isyarat itu pun kemudian balas mengangguk dan mulutnya terlihat komat-kamit.

"Siap, ya? Satu ... dua ... ti ...." Sisi mencoba berhitung tanpa suara, lalu mereka kompak berteriak keras sambil menepuk bahu Kyna. "HOY!"

"Kyaaa!" Kyna yang terkejut, ikut berteriak keras. Ia bahkan sampai terlompat dari duduknya hingga membenturkan lutut kanannya ke bagian bawah meja. Kyna meringis kesakitan, sementara kedua sahabatnya berusaha menahan tawa melihat reaksi terkejut Kyna.

"Ih, kalian apa-apaan, sih? Kaget tau!" Kyna berjingkat sambil meringis. Tangannya sibuk mengelus dada dan lutut kanannya yang terasa sakit bergantian.

"Lo yang apa-apaan. Duduk di sini padahal kita udah nyediain kursi di sana buat lo." Joana menunjuk ke kursi kosong di sebelah kursinya. "Dan lo gak nyapa-nyapa kita lagi, bengong pula. Gue sama Sisi jadi mikir yang aneh-aneh. Jangan-jangan lo kesambet demit kampus?" Joana melipat tangannya di depan dada sambil berbicara dengan nada kesal.

"Kalem, Jo. Baru kali ini gue lihat lo mencak-mencak gini. Nyeremin juga." Sisi geleng-geleng. "Tuh liat, Jo, si Kyna sampe gak bisa berkata-kata." Sisi tertawa melihat wajah Kyna yang melongo di depan Joana.

"Lo kenapa, sih? Ada masalah?" Suara Joana kini kian melembut. Sepertinya ia sama sekali tidak berniat marah pada Kyna yang tidak menyapanya. Joana hanya terlalu mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu.

"Hmm, nggak kok. Cuma itu, tadi Aka ...." Seperti tersadar telah salah bicara, Kyna cepat-cepat menghentikan kalimatnya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Joana dan Sisi kembali saling pandang. Mereka berdua tersenyum dengan cara yang janggal. Dua orang itu sepertinya menyadari ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Kyna. Sesuatu yang terjadi antara cewek itu dan cowok bernama Aka. Sesuatu yang membuat wajah Kyna yang polos ini tiba-tiba memerah.

***

Di balik kaca helmnya yang tertutup rapat, ada senyuman yang menghiasi wajah Aka. Cowok itu mengendarai motornya dengan sangat perlahan di tepian jalan. Aka merasa tak punya kekuatan untuk memacu kencang kendaraannya. Tidak, bukan karena motor peninggalan ayahnya yang sudah tua dan tampak tidak meyakinkan jika harus dipacu cepat, melainkan karena saat ini, ia merasa terlalu bahagia hingga tubuhnya terasa ringan melayang-layang di udara. Seluruh tenaganya terasa hilang tak bersisa.

Kejadian hari ini terasa begitu tidak nyata bagi Aka. Meskipun bukan pertama kalinya ia naik motor membonceng Kyna, tapi entah mengapa kali ini sensasinya berbeda. Apalagi soal rangkulan di pinggang tadi. Walaupun rangkulan itu berawal dari tarikan paksa tangan Aka, tapi Kyna tidak menarik kembali tangannya. Kyna tetap melingkarkan kedua tangan mungilnya itu di pinggang Aka, hingga motor mereka sampai di depan gedung fakultas Kyna.

Hal lain yang membuat Aka tak bisa berhenti tersenyum adalah kejadian setelah itu. Cowok itu menyadari bahwa setelah insiden rangkulan di pinggang, Kyna jadi tampak sangat kikuk dan lebih pendiam dari biasanya. Kyna bahkan sampai kesulitan melepas helm karena tangannya yang bergetar hebat. Tingkah Kyna yang seperti itu tentu saja sangat menggemaskan, membuat Aka tak tahan dan dengan tiba-tiba mengecup kening cewek itu.

Lamunan Aka tiba-tiba buyar ketika ia merasakan getaran di saku celana kanannya. Getaran itu tidak berhenti, membuatnya sadar bahwa ia memdapatkan sebuah panggilan telepom. Khawatir panggilan telepon itu bersifat penting, Aka pun memilih untuk menepi sejenak di depan sebuah halte untuk mengangkat teleponnya.

"Halo," sapa Aka tanpa melihat siapa yang meneleponnya saat itu. Bukan karena malas membaca, tapi karena pengaturan brightness ponselnya yang memang diatur tidak terlalu terang. Akibatnya, di tempat terbuka seperti saat ini, layar ponselnya terlihat gelap.

"Halo, Assalamualaikum, Mas. Kamu bawa motor?" Terdengar suara bundanya di ujung telepon dengan nada khawatir.

"Wa'alaikumsalam, Bunda. Iya nih, aku lagi di jalan. Kenapa?"

"Ya ampun, kamu ke mana? Kok, gak pamit dulu? Bunda kaget, kirain motor hilang." Kini suara bundanya terdengar lebih lega.

"Oh iya, maaf bunda. Tadi, kan, bunda lagi keluar. Aku ada janji sama Kyna. B
Jadi buru-buru, deh." Aka tertawa tanpa dosa.

"Loh? Kata mamanya, tadi Kyna mau berangkat kuliah. Bunda ketemu sama mamanya di warung Bi Surti. Kamu jangan ajak anak orang bolos kuliah, ya!" Suara sang bunda yang semula lembut, kini terasa memekakkan telinga Aka.

Bukannya menjawab dan menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi, Aka justru tertawa. Ia berhasil membuat bundanya semakin kebingungan.

"Ih, kok, kamu malah ketawa?"

"Bunda lucu banget, sih. Mana mungkin aku ajak Kyna bolos-bolos. Tadi tuh aku abis nganterin dia ke kampus," jawab Aka. "Lagian, aku gak mungkin ajak calon mantu bunda jadi anak nakal. Udah ah, ntar ngobrol lagi, aku pulang sekarang." Cowok itu baru akan mematikan sambungan telepon sebelum bundanya menyela.

"Tunggu! Dari kemarin kamu sebut Kyna calon mantu bunda terus. Emang kamu beneran serius mau sama Kyna?"

***

[bersambung]

Love Speedometer (Completed) Where stories live. Discover now