18 - Dukungan

53 10 2
                                    

"Tuh, kan, keburu rame. Mas Aka sih lama," protes Shinta.

Warung tenda nasi goreng Mang Udin sudah sangat ramai ketika kedua bersaudara itu sampai. Padahal, warung tenda itu baru buka setengah jam lalu. Kini, setidaknya sudah ada lima sepeda motor milik pembeli yang berjajar di samping warung itu, termasuk sepeda motor milik Aka. Tak hanya pembeli bersepeda motor, pembeli yang memilih jalan kaki pun cukup banyak.

"Ya maaf, Dek. Aku kan gak datang bulan kayak kamu. Masa aku ninggalin sholat magrib." Aka membela diri.

"Iya juga, sih. Tapi aku udah laper banget nih, Mas." Shinta membungkuk sambil memegangi perutnya dengan dramatis. Gerakan itu membuat Aka akhirnya jadi merasa tidak enak hati.

"Aduh, iya deh maaf. Apa mau makan di sini aja? Kalau makan langsung di sini, kan, biasanya diprioritaskan daripada yang dibungkus. Ini kayaknya banyak pembeli yang mau dibungkus, deh." Aka menyimpulkan berdasarkan pengamatan pribadinya. Pasalnya, ia baru saja melihat banyak bungkusan dipersiapkan oleh Mas Iyan, asisten Mang Udin si pemilik warung tenda.

Shinta tampak berpikir sejenak. Tanpa dijelaskan pun Aka tahu apa yang dipikirkan adiknya itu. Pasti Shinta merasa dilema, antara ingin makan di tempat atau makan bersama bunda mereka yang menunggu di rumah.

"Terus bunda gimana, Mas?" Akhirnya suara hati Shinta terucap juga.

"Kamu telepon aja. Bilang kamu udah laper berat. Bunda pasti ngerti, kok," saran Aka dan segera disambut anggukan antusias sang adik.

Shinta segera keluar tenda untuk menelepon bundanya. Gadis itu harus mencari tempat yang lebih tenang agar suaranya bisa didengar dengan jelas oleh sang bunda. Di dalam tenda rasanya terlalu bising. Suara raungan kompor gas, sodet dan wajan yang saling beradu, serta percakapan para pembeli terlalu mendominasi.

Sementara sang adik menelepon di luar, Aka berjalan menghampiri Mang Udin yang tengah sibuk membuat pesanan. Pria tinggi kurus berusia 40 tahunan itu mengenakan kaus oblong berwarna cokelat dengan celana pendek selutut, sementara alas kakinya hanyalah sandal jepit merek sejuta umat favorit masyarakat Indonesia. Di leher pria itu, dikalungkan sebuah handuk kecil berwarna merah. Handuk yang digunakannya untuk menyeka keringat karena panasnya api tungku.

Kalau gak ada handuk itu, pasti nasi gorengnya keasinan, deh. Aka tersenyum sendiri. Merasa lelucon dalam kepalanya sangat lucu.

"Mang Udin, sibuk banget nih kayaknya." Aka menyapa pria yang sibuk mengaduk-aduk isi wajan di hadapannya itu dengan suara agak keras. Suara raungan kompor gas Mang Udin ternyata cukup mengganggu pendengaran. Pantas saja, Mang Udin seringkali salah mendengar pesanan pembeli. Aka ingat beberapa kali ia mendapatkan pesanannya tidak pedas, padahal ia sudah memesan agar dibuatkan nasi goreng super pedas.

"Eh, Mas Aka. Iya nih, Alhamdulillah lagi rame. Mau pesan apa, Mas?" tanyanya.

"Nasi goreng seafood tiga, Mang. Sedang aja, jangan terlalu pedas. Dua makan sini, satunya bungkus." Aka merinci pesanannya.

Mang Udin tampaknya kesulitan mengingat, pria itu pun melirik asistennya agar membantunya mengingat pesanan Aka. Hanya dengan pandangan mata, sang asisten segera mengerti maksud bosnya. Ia langsung mengacungkan ibu jari sebagai tanda bahwa dirinya mengerti dan sudah mengingat pesanan tersebut.

"Silahkan, Mas, duduk dulu. Nanti saya antar pesanannya. Oh iya, minumnya apa, nih?" Mas Iyan, sang asisten andalan pun menyilakan Aka memilih tempat duduk, sekaligus menanyakan minuman pelengkap makan malam pelanggannya itu.

"Es teh manis aja, dua. Thanks, Mas." Aka yang memang sudah akrab dengan pria itu pun menepuk pundaknya sebagai ucapan terima kasih.

Setelah melihat berkeliling warung tenda yang cukup besar itu, Aka akhirnya memutuskan memilih tempat duduk yang letaknya agak jauh dari kompor. Selain untuk menghindari suara bising dan udara panas yang dihasilkan oleh aktivitas memasak Mang Udin, di tempat itu juga minim gangguan pembeli yang hilir mudik membuat pesanan.

Tak lama setelah itu, Shinta yang sudah selesai menelepon pun kembali memasuki tenda. Gadis itu menyapu pandangannya sesaat untuk mencari kakaknya dan segera menghampiri setelah berhasil menemukan Aka yang sedang asik mengutak-atik ponselnya di salah satu meja.

"Udah pesan?" Shinta menepuk pundak sang kakak, membuat kakaknya terkejut karena tidak menyadari kehadiran sang adik.

"E-eh? Iya, udah," jawab Aka singkat, pandangannya belum teralihkan dari layar ponselnya.

"Chat siapa, sih? Serius banget." Shinta menjulurkan kepalanya lebih dekat dengan Aka. Ia berharap bisa mengintip aplikasi chat yang kini terbuka di ponsel kakaknya itu.

"Anak kecil, kepo!" Aka mendorong kening sang adik menjauh.

"Ih, Mas, segitunya. Oh, aku tau siapa." Shinta tersenyum jahil.

"Siapa coba?" Aka menantang.

"Kak Kyna, kan?" tebak Shinta yang hanya direspons Aka dengan gelengan kepala.

Shinta baru akan membuka mulutnya untuk bertanya lagi, tapi percakapan mereka harus terhenti karena kehadiran Mas Iyan yang membawakan dua gelas besar es teh manis pesanan Aka. Bulir-bulir air yang menetes di dinding gelas membuat keduanya kompak menelan liur membayangkan sensasi air manis dingin itu membasahi kerongkongan. Tanpa perlu aba-aba, kedua bersaudara itu pun segera menyesap masing-masing gelas miliknya, lalu menghela napas lega setelah merasakan sensasi menyegarkan es teh manis buatan Mas Iyan menghilangkan dahaga mereka.

"Mas, yang tadi itu serius?" Shinta kembali memulai percakapan.

Aka mengernyit, mencoba mencari tahu maksud di balik kata-kata adiknya tanpa bertanya. Namun, akhirnya cowok itu menyerah juga. "Maksudnya? Yang mana?"

"Itu loh ... Kak Kyna. Tadi di parkiran stasiun, Mas Aka bilang kalau bunda itu calon mertua Kak Kyna, kan? Mas Aka serius?"

Kini Aka menatap adiknya lekat-lekat. "Menurut kamu gimana?"

"Menurut aku? Mas Aka cuma bercanda. Aku tau kalian sahabatan, tapi jangan bercanda begituan, deh. Cewek itu gampang baper, Mas. Gak tau sih Kak Kyna tipe yang baperan atau nggak. Tapi, aku gak suka kalau Mas Aka mainin perasaan kakak tetangga favorit aku itu." Sorot mata Shinta tajam menusuk memandang lurus mata kakaknya. Aka sendiri cukup terkejut melihat ekspresi adiknya yang seperti ini. Mengintimidasi dan penuh ancaman.

"Jadi, kamu gak suka kalau aku mainin perasaan Kyna?"

"Ya iyalah. Meskipun Mas Aka kakak aku, tapi sebagai sesama cewek, aku bakal bela Kak Kyna." Shinta menunjukkan tekadnya dengan sungguh-sungguh, membuat Aka berusaha keras menahan senyumnya karena ekspresi adiknya itu terlihat lucu.

"Nah, berarti kamu dukung dong kalau aku mau serius sama Kyna?" Aka mengangkat alisnya.

Belum sempat Shinta menjawab, Mas Iyan kembali datang membawa dua piring nasi goreng seafood pesanan mereka. Dua piting nasi goreng itu dibawa menggunakan alas nampan plastik berwarna pink, warna yang sama sekali tidak cocok dengan image macho Mas Iyan yang berotot.

Setelah meletakkan dua piring nasi goreng yang masih mengepulkan asap itu di hadapan pelanggannya, Mas Iyan dengan tergesa kembali menghampiri Mang Udin yang tampak kerepotan. Tanpa Aka dan Shinta sadari, sepertinya pembeli yang datang semakin banyak saja.

"Jadi, gimana? Kamu dukung, nih?" Aka kembali mengulang pertanyaannya.

Shinta tampak berpikir sejenak sembari mengelap sendok dan garpu dengan tisu. "Ya ... aku setuju aja, sih. Aku sama Kak Kyna juga udah akrab, jadi gak perlu pendekatan lagi. Tapi ...." Shinta menggantung kalimatnya, membuat Aka penasaran.

"Tapi apa?"

"Tapi kasihan Kak Kyna. Dia cantik, manis, imut, gemesin, masa jadian sama Mas Aka yang dekil, nyebelin, gak ada ganteng-gantengnya gini, sih."

Mendengar jawaban sang adik yang penuh sindiran dan ejekan itu, Aka hanya bisa terperangah tak percaya.

Dia ini beneran adik gue atau bukan, sih? batinnya.

***

[bersambung]

Love Speedometer (Completed) Where stories live. Discover now