D-5; Her Unanswered Prayer

1.1K 212 192
                                    

Rabu, 24 Februari 2020.


"Lo kenapa telepon gue semalam, Rene?" tanya Jennie, begitu Irene melewati bangkunya.

Manik Jennie mengikuti pergerakan sahabatnya itu, "Sorry, kemarin gue lagi sama Vier, jadi ponsel gue di dalam tas terus."

"Hm?" Irene membatu sebentar, menyadari bahwa Jennie bersikap biasa-biasa saja.

Ah, gadis itu belum tahu rupanya.

Irene lalu menggeleng dan tersenyum riang. "Nggak apa-apa, Jen. By the way, kok lo bisa bareng Vier?" Ia duduk di bangku depan sahabatnya itu yang masih tak berpenghuni.

Jennie menyibak poninya, "Orangtua gue ada urusan bisnis seharian, jadi gue kerja sama dengan supir dan asisten gue."

Irene terkekeh, "Dasar licik."

Jennie tertawa saja, tetapi alisnya bertaut saat menyadari sesuatu. "Lo kelihatan pucat, Rene," ujarnya, dengan manik memicing.

Irene spontan memegang kedua pipi dengan sepasang tangan yang tertutupi cardigan panjangnya. "Oh, ya?" Ia berusaha tenang.

Jennie mengangguk yakin, "Tumben nggak pakai apa-apa? Biasanya lo setidaknya pakai bedak, mascara, sama lip-product. Kenapa? Lo terlambat bangun?" ledeknya.

Irene terbahak. "Lo tahu aja, Jen."

Jennie menggeleng tak habis pikir, "Ketebak. Lo terlambat bangun bukan hanya sekali ini, Irene," Ia kemudian menunjuk kursi yang biasa ditempati oleh Naya. "Gue yakin, anak itu juga terlambat bangun," tebaknya.

Irene ikut menoleh, "Naya belum datang?"

"Belum—" Jennie menyeringai, "Eh, pas banget anaknya langsung datang."

Mengetahui arah pandang Jennie yang beralih pada pintu kelas, Irene kembali ikut menoleh. Ada Naya di sana, tampak manis dengan pita merah yang bersinggasana di rambut sebahunya yang tertata rapi. Tetapi, Irene bisa melihat, ada yang asing dari sorot mata gadis itu.

"Good morning, babe," sapa Jennie. "Gimana kabar Sana?"

"Morning," Naya tampak ragu untuk menghampiri kedua sahabatnya, "She was fine."

"Eh?" Jennie tiba-tiba mengernyit menyadari tingkah janggal itu, "Lo kenapa, Nay? Tumben kalem?"

Naya duduk di bangkunya, lalu melirik sebentar, "Sorry, Jen, gue ngantuk banget. Mau tidur dulu sebelum Miss Sulli datang," Ia langsung memasang airpods, kemudian menumpukan kepalanya di atas meja.

Ah, Naya sudah tahu, batin Irene.

Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, setelah melihat bagaimana reaksi Naya padanya. Irene sadar bahwa Naya tak berpihak padanya. Tidak heran. Lagipula, ini semua adalah salahnya yang tiba-tiba datang ke dalam hidup Sana dan Theo.

"Rene, dia kenapa?" tanya Jennie bingung.

Irene lantas menyengir dan menggeleng pelan, "Gue nggak tahu, Jen."

Jennie memperhatikan Naya untuk beberapa saat, "Oh, mungkin dia masih kepikiran," bisiknya.

"Hm? Kepikiran apa?" tanya Irene.

"Kakaknya lah, siapa lagi?" gerutu Jennie geregetan.

Irene memiringkan kepala beberapa derajat. "Eh? Ada apa dengan kakaknya Naya?"

Jennie yang sempat mengalihkan fokus pada ponselnya, langsung mendongak tak percaya. "Lo nggak tahu?!"

Irene berpikir sejenak. Kedua bola matanya bergerak ke segala arah. "Nggak," gelengnya. "Emang ada apa?"

SINGULARITYWhere stories live. Discover now