D+2; Their Biggest Regret

1.8K 261 177
                                    

Rabu, 2 Maret 2020.


"Theo," panggil pria berumur di ambang pintu.

Theo enggan sekali mengalihkan pandang. Ia hanya menjawab, "Ya, Paman?"

"Kamu belum istirahat, kan?" tanya Paman Kai dengan sorot mata terlampau sayu.

"Theo tetap di sini, Paman," jawabnya, masih tak berkutik, terpaku pada posisinya.

Kai lantas menghembuskan napas panjang. Tak bisa memaksa, lantaran ia mengerti sekali bagaimana perasaan anak itu.

Percayalah. Ia sama hancurnya. Bahkan lebih-lebih lagi.

Tanpa disadari, matanya kembali berkaca-kaca memandang anak gadisnya yang terbujur kaku di sana. Rasanya, ia ingin marah dan teriak, meluapkan segala penyesalan yang menumpuk di hatinya.

"Theo, setidaknya kamu harus makan dulu," pintanya untuk yang terakhir kali, dengan sisa kewarasannya. "Paman Malvine dan Bibi Wendy sudah menunggu kamu di luar, mereka khawatir sekali sama kamu," ujarnya.

Theo menggeleng lemah. "Theo mau di sini bersama Paman," tolaknya.

Kai akhirnya mengangguk mengerti. Ia lantas menutup pintu dan berbicara pada keluarga Nadean.

Melihat bagaimana ekspresi yang Kai tunjukkan, Malvine sontak mendesah pelan. "Kalau begitu, saya langsung balik aja ke Indonesia untuk mempersiapkan semuanya. Tolong nanti Theo dibujuk lagi. Saya bahkan gak sanggup melihat keaadaan dia saat ini."

Kai mengangguk, "Saya minta tolong sekali, Malv," ujarnya tercekat, merasa bersalah.

Sudah terlalu banyak urusan pekerjaan yang harus Malvine selesaikan, apalagi setelah ia menelantarkan posisinya di rumah sakit untuk mengurus istrinya beberapa minggu ini dan sementara Malvine yang mengambil alih. Malvine pasti lelah sekali. Namun, sekarang ia justru menambah beban sahabatnya lagi.

"Saya mohon berhenti salahkan dirimu, Kai," Malvine menepuk bahu bersimpati.

Mendengar itu, air mata Kai tak terbendung lagi. Ia langsung mengangkat tangan untuk menutup wajahnya.

"Sulit, Malv. Itu sangat sulit..." isak Kai, menggelengkan kepala kuat-kuat. "Rasanya saya mau gila," tuturnya frustasi.

Malvine mencoba menahan tangis dan berusaha menguatkan sahabatnya itu dengan merengkuhnya. Sedangkan Wendy yang berdiri tak jauh darinya, sudah ikut menangis di dalam dekapan Marvel yang ikut bersama mereka.

"Bagaimana bisa kita gak tahu apapun tentang dia yang seperti ini?!" Kai mulai tersedu. "Bagaimana bisa, Malv, saya gak tahu jika Irene diam-diam selalu menyakiti dirinya selama ini?!"

Kai menatap Malvine dengan sorot pilu. "Padahal, saya berjanji untuk menjaga dia seperti ayahnya menjaga dia. Penuh pengertian, perhatian, dan kasih sayang. Tapi, lihat sekarang. Saya bahkan gak sadar, kalau selama ini dia selalu menangis, menyembunyikan luka di balik tawanya. Saya pikir dia bahagia-bahagia aja. Saya gak tahu, jika dia sedang berjuang melawan depresinya. Saya gak pernah ada di sisinya, saat dia sedang jatuh dan terpuruk. Saya sibuk dengan urusan saya sendiri sampai melupakan dia. Saya pengganti ayah macam apa?! Selain pada Irene, saya benar-benar malu sekaligus merasa bersalah pada Nichkhun dan Tiffany. Saya gak becus menjaga anak mereka, keponakan yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Tapi... tapi... saya gak mampu menjaganya..."

Setitik air mata penyesalan Malvine ikut luruh ke pipinya. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Ia pun sama bersalahnya. Padahal, ia yang memonitori kesehatan mental Irene sejak kepergian Khun. Tetapi, ia bahkan tak tahu jika depresi Irene sudah sampai di tahap ini. Ia pikir kondisi Irene sudah membaik, namun ia salah besar. Kondisi gadis itu justru memburuk hingga melakukan tindakan yang mereka tak sangka-sangka akan dilakukan oleh gadis seceria Irene.

Sebenarnya, mereka yang tidak peka atau Irene yang terlalu lihai bersembunyi di balik mata pelanginya dan senyum sabitnya?

Kai mengusap rambutnya kasar. "Saya tidak akan pernah memaafkan diri saya, jika terjadi apa-apa dengan Irene," lirihnya sungguh-sungguh.

📅

Hanya keluarga Nadean dan Mellano yang mengetahui kejadian sesungguhnya—kecuali Bibi Krystal yang masih dalam tahap penyembuhan. Paman Kai yang meminta, karena tak ingin kondisi wanitu itu yang sudah membaik—mungkin sebentar lagi pengobatannya selesai—akan kembali drop bila tahu apa yang terjadi dengan Irene.

Theo pun masih enggan memberitahu teman-teman yang lain secara rinci. Ia hanya menyampaikan bahwasanya terjadi sebuah insiden yang membuat Irene harus masuk ke ruang ICU.

Sebenarnya, mereka berniat langsung menyusul ke Jepang. Namun, Theo mencegah. Karena di sini Irene tak bisa dikunjungi dan sebenarnya penjaga pun dibatasi hanya boleh satu orang—menjadi dua orang karena koneksi Paman Kai. Lagipula, malam ini Irene akan dibawa kembali ke Indonesia dan sekiranya sudah tiba di JN Hospital besok pagi.

Paman Kai masih tetap di Jepang untuk menghindari kecurigaan Bibi Krystal. Oleh karena itu, Paman Malvine yang akan mengurus segala urusan dan kebutuhan administrasi selama di Indonesia.

Theo masih terus dan selalu mengamati wajah Irene yang tak berwarna. Putih, pucat, pasi.

Bibirnya datar, tak memberikan senyum manis dan bahagia yang sering diperlihatkannya pada dunia. Matanya memejam, tak membentuk pelangi ataupun bulan sabit seperti biasanya.

"Jangan terlalu nyenyak tidurnya," gumam Theo, dengan suara beratnya yang serak.

Ia bahkan lupa kapan terakhir kali makan dan minum. Ia sudah seperti patung hidup yang hanya mampu terdiam kaku di sisi gadis itu.

"Gue mohon bangun, Irene," sambungnya lirih.

Sungguh. Saat ini, Theo tak menginginkan apapun selain Irene bangun dari masa kritisnya. Hanya itu, pintanya.

"Ah, maaf," Theo menjulurkan tangannya dan mulai mengelus lembut kepala gadis itu. "Gue terlalu egois, ya?" ujarnya.

Ujung bibirnya menyimpulkan senyum tipis. "Kalau begitu... gak apa-apa. Lo boleh tidur selama yang lo mau," koreksinya.

"Karena lo pasti lelah," Manik Theo menyendu. "Terus bersembunyi di balik senyum dan tawa lo selama ini."

Theo beralih menggenggam jemari Irene. "Tapi, jangan lupa untuk bangun suatu hari nanti," pintanya.

"Gue akan menunggu. Take your time."

Theo tersenyum hangat. Hatinya merasa tenang kala suara denyut jantung Irene yang teratur menguasai lorong telinga. Melodi yang menjadi penguat dan penghibur baginya. Seolah-olah membisikkan bahwa gadis itu tak akan kemana-mana. Seakan-akan mengisyaratkan jika gadis itu akan baik-baik saja.

Semoga.

Theo lantas melakukan kembali aktivitas sebelumnya—yang sempat terhenti karena panggilan Paman Kai. Ia segera meraih peralatan melukis di atas nakas untuk melanjutkan karya terbarunya yang ia gores dengan sepenuh hati.

"Janji sama gue. Lo harus bangun suatu hari nanti," gumam Theo lagi di sela kesibukannya.

"Gue mau melukis lo yang lagi senyum secara langsung," sambungnya, melirik Irene sebentar yang masih tak memberi reaksi.

"Bukan dari foto seperti ini," Ia menunjuk polaroid di atas kanvas menggunakan dagunya.

Theo tiba-tiba termangu dengan jemari yang berhenti memainkan kuas. Ia mengusap bibir bawahnya, lalu menoleh pada gadisnya.

"Dan gue juga rindu mendengar celotehan lo," aku Theo, disertai kekehan lemah. "Jadi, jangan lupa bangun. Gue punya sepasang kuping yang siap dan mau mendengar semua cerita lo."

"Hhh..." Theo tersenyum sendu seiring menghembuskan napas panjang, "Gue kangen sama lo, Irene."

📅

Hhh... aku juga kangen Irene, The :(

Good night,
Nali.

SINGULARITYHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin