D-6; The Story Behind Every Person

1.1K 208 145
                                    

Selasa, 23 Februari 2020.


"Gue mau ketemu Irene," ulang Sana untuk yang keberapa kalinya.

Theo mengurut pelipisnya sembari mendesah lelah. "Sana, keadaan lo belum pulih."

Sana terpaku pada mata teduh itu, "Irene nggak bisa dihubungi, Theo..." lirihnya.

"Dia hanya butuh waktu sendiri," balas Theo menenangkan. "Yang harus lo pikirkan saat ini adalah diri lo sendiri, Sana. Lihat keadaan lo," tambahnya, mulai frustasi.

Sana menundukkan kepala, merasa bersalah. "Maaf, gara-gara gue... lo jadi susah," lirihnya.

Semalam, ia pingsan dan baru terbangun pagi menjelang siang. Theo harus membawanya ke rumah sakit. Tentu saja, bukan JN Hospital. Theo tidak senekat itu untuk membawanya ke tempat di mana Paman Malvine berada.

"Lo pasti nggak makan lagi," tebak Theo, membuat Sana makin menunduk.

"Ditambah lo hujan-hujanan ke apartemen gue," tambahnya. Sana langsung menciut.

Theo kembali menyemprot, "Lo pasti nggak tidur juga. Sampai nggak sadarkan diri selama enam belas jam."

Sana meringis. Ia memainkan kedua tangan, sembari mengeluarkan isi hatinya, "Menurut kamu, apa aku akan bisa tidur, ketika seorang Junot datang menemui aku dan bilang kalau dia tahu semuanya?" cibirnya cepat, begitu merasa tersudut. Kembali menggunakan sapaan mereka dulu.

Sana jadi teringat terakhir kali Theo mengomelinya, yaitu ketika ia jatuh sakit karena sibuk part-time di kafe sampai lupa makan. Dan itu... nyaris setahun lalu.

Theo melengos, seakan mengaku kalah. "Junot tahu dari mana?" alihnya.

Mendengar pertanyaan itu, Sana terdiam seribu bahasa. Ia tak bisa mengaku bahwa foto di dompetnya menjadi awal mula Junot tahu segalanya. Foto itu. Sebuah kenangan yang sulit Sana lupakan dan lepaskan. Ia tak ingin pemuda itu tahu betapa menyedihkan dirinya.

Ini menjadi salah satu alasan kenapa Sana tidak berani mengaku pada Irene mengenai hubungannya dengan Theo. Hubungan mereka memang sudah selesai. Tetapi, tidak dengan hatinya. Sana masih menyayangi pemuda itu. Hati Sana masih memendam perasaan yang sama, tak pernah berubah sejak setahun lalu.

Lagipula, menurut Sana, Irene sebaiknya memang tidak perlu tahu. Agar Irene tak perlu merasa canggung bertunangan dengan mantan kekasih sahabatnya sendiri. Agar setiap Irene bersama Theo, sahabatnya itu tak perlu menanggung rasa bersalah, karena seakan-akan sudah berkhianat padanya.

Biarlah Sana saja yang merasakan gundah-gulana itu. Cukup Sana saja yang kelimpungan dengan sakit dan pedih itu. Sana sudah puas menanggung rasa itu setahun lalu dan tidak ingin Irene merasakannya juga. Tetapi, semesta ternyata tak sependapat dengannya.

"Junot lihat kita di perpustakaan Jumat lalu, sebelum kamu ke Singapura sama Irene."

Cukup. Hanya itu. Sana juga tidak akan menceritakan pada Theo perihal pertemuannya dengan Paman Malvine. Ia tak ingin sepasang paman dan ponakan itu adu argumen kembali hanya karenanya.

Seorang gadis biasa sepertinya.

Theo termenung sejenak, "Ah, saat itu..."

Sana mengangguk, "Iya, saat itu."

Saat aku tanya ke kamu, apa kamu benar-benar mencium Irene, lanjutnya dalam batin. Sana tak sanggup mengulang pertanyaan yang pernah ia sampaikan pada mantan pemudanya.

Ketika Theo mengerti, ia langsung berdeham canggung. "Maaf."

Sana otomatis tertawa hambar. "Kamu udah sebut kata itu untuk yang ke seribu kali."

SINGULARITYWhere stories live. Discover now