D-1; Signs of Falling in Love by Herjunot Gerardi

1.8K 239 204
                                    

Minggu, 28 Februari 2020.


"Kenapa kalian berdua berbohong semalam?"

Marvel sedang mengecek dan menata persediaan obat yang baru datang, dengan ponsel yang terhimpit di antara bahu dan daun telinganya. Begitu Sana izin membeli makan siang, Marvel segera menelepon sepupunya itu.

Ia mendengus ketika Theo mengelak di seberang, "Hei, gue nggak bodoh, Matheo!"

"You are, Mav," sahut Theo tanpa dosa.

"Oh, please, just shut your mouth, if you can't say something nice," sinis Marvel. "Jelas-jelas, kemarin gue melihat lo pakai cincin itu ketika mampir ke apotek. Lo gak melupakan cincin lo, melainkan lo memang sengaja meninggalkannya di mobil."

Kali ini, ia memutar kedua bola matanya ketika Theo lagi-lagi mengelak. Ia kembali menyatakan fakta, "Irene juga bohong. Dia bilang gak terbiasa pakai cincin, padahal selama ini dia senang mengenakan perhiasan," interogasinya.

"Jadi, ada apa? Gue kira hubungan kalian udah membaik. Apa masalah kalian belum selesai?" selidiknya.

Marvel spontan mengumpat, karena Theo memintanya untuk berhenti bersikap terlalu ingin tahu. "Bajingan," makinya. "Gue lagi menunjukkan rasa peduli, tapi malah ini yang gue dapatkan?!" sambungnya, menggerutu.

Marvel hendak menumpahkan kembali amarahnya, namun sebuah kalimat yang Theo utarakan berhasil mengejutkan dan membungkamnya cukup lama.

"Lo bilang apa barusan?"

"Irene ingin menyudahi perjodohan gue dan dia," ulang Theo di seberang.

Mendengarnya lagi, Marvel otomatis terperanjat dan melongo untuk yang kedua kali. "Seorang Irene melakukan itu?!" tanyanya tak percaya.

"Gue pun mengakui, apa yang lo perbuat ke dia memang membuktikan betapa brengseknya lo, The," ocehnya tanpa dosa, memicu Theo untuk mengumpat, "Tapi, gue gak menyangka kalau Irene akan berbuat sejauh itu! Maksud gue, lo dan Sana cuma sebatas masa lalu, sesuatu yang udah terjadi dan gak bisa diubah kembali."

"Kapan kejadiannya?" sambung Marvel. "Hah? Lusa? Berarti, sehari sebelum makan malam? Wow... pantas aja kalian kelihatan kacau dan luar biasa canggung kemarin."

Marvel mengurut pangkal hidungnya, ikut pusing membayangkan jika ia yang berada di posisi mereka. "Irene nggak lagi bercanda kan, The?"

"Menurut lo gimana?"

Nada lemah itu menghanyutkan Marvel dalam lamunan sesaat. "Jujur, gue pun bingung. Sebelumnya, Irene nggak pernah bersikap sampai sejauh ini," tuturnya, yang kemudian dibenarkan oleh Theo.

Marvel mengangkat sebuah kardus dan beranjak ke rak yang lain, "The, lo harus jawab gue dengan jujur," pintanya tiba-tiba. "Gue nggak mau lo bohong. Jangan pedulikan perasaan gue. Apa lo benar-benar udah move on dari Sana?"

Napas Marvel tercekat, selagi menunggu jawaban dari sang lawan bicara. Namun, ia kontan mendesah lega, ketika dehaman pelan mengisi lorong telinga.

Raut Marvel jelas langsung berseri-seri, "Sejak kapan lo udah nggak punya perasaan sama Sana?" usutnya.

"Hah? Lo nggak tahu? Masa, sih? Lo benar-benar nggak sadar?" Marvel berdecak prihatin, "Kayaknya pas lagi pembagian, lo cuma kebagian otak deh, The. Entah hati lo dikorupsi sama yang lain atau ketinggalan di mobil... kayak cincin lo," lontarnya asal, sekaligus menyelipkan sindiran.

"Oke, sekarang gue serius," Marvel berdeham, berhenti menceklis daftar obat-obatan pada jurnal. Ia menyandarkan satu tangannya di atas etalase.

"Gue nggak tahu, apa ini perasaan gue aja atau memang benar. Tapi, lo terdengar sedih tadi," terkanya sungguh-sungguh.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang