D-2; Crescent Moon Revolves Around Her Eyes

1.8K 247 157
                                    

Sabtu, 27 Februari 2020.


Theo sedang bersandar pada mobilnya yang terparkir di depan rumah megah milik Paman Malvine, ketika ia mendapatkan sebuah panggilan dari nomor yang cukup dikenalnya—tentu saja, mengingat ia sering bertukar pesan dan bertelepon dengan pemilik nomor tersebut. Lagipula, tepat sekali. Theo baru saja ingin menghubunginya. Tanpa berlama-lama lagi, ia segera mengangkat telepon itu.

"Selamat malam, Tuan Muda," Suara itu terdengar gelisah.

"Malam, Mr. Johnny," Theo menyapa balik. "Ada apa? Irene baik-baik aja, kan?" terkanya langsung, dengan dahi yang berkerut dan sepasang alis yang bertaut.

Sekembalinya Theo ke Panti Jompo, batang hidung Irene tak terlihat dimanapun. Bahkan, di ruangan Paman Malvine atau Paman Kai sekalipun. Irene menghilang seperti disulap. Theo kira gadis itu sudah lebih dulu ke tempat kediaman Paman Malvine, karena tak ingin berangkat bersamanya. Tetapi, Marvel bilang Irene belum sampai—berdasarkan informasi dari Bibi Wendy, karena sepupunya itu masih di apotek.

Akhirnya, Theo menyusuri sepanjang jalan dari rumah sakit ke rumah Paman Malvine untuk mencari Irene—siapa tahu, gadis itu kembali berjalan kaki dan tak kunjung sampai karena sedang kelelahan di tengah jalan. Namun, nihil. Ia tak juga menemukan Irene. Jadi, begitu tiba di depan bangunan mewah yang lumayan sering didatanginya ini, Theo hendak menghubungi salah satu asisten gadis itu. Tetapi, Mr. Johnny sudah lebih dulu meneleponnya.

"Sebentar... maaf jika saya lancang. Tapi, maksud Tuan Muda bagaimana, ya?" Suara Mr. Johnny berubah, tersirat rasa panik dan cemas. Bahkan, Theo bisa mendengar hembusan napas tak beraturan itu. "Saya justru menelepon untuk menanyakan kabar Nona. Jadi, Nona sedang tidak bersama Tuan Muda?"

Pertanyaan itu menyebabkan kernyitan di dahi Theo semakin dalam. Sebenarnya, ia sudah menduga bila Irene sedang tak bersama Mr. Johnny. Namun, begitu mendengarnya secara langsung, rasa heran bercampur gelisah itu semakin tak bisa dihindari. Bahkan, asistennya pun tak mengetahui keberadaan sang Nona.

Astaga... ke mana gadis itu sebenarnya?

"Memangnya, Irene nggak diantar-jemput?" tanya Theo.

Helaan napas berat terdengar dari seberang. "Tentu saja, kami mengantarnya ke panti. Namun, Nona meminta untuk langsung pulang dan tidak menunggunya. Karena, Nona bilang akan pergi ke rumah Tuan Malvine bersama Tuan Muda," tukas Mr. Johnny.

Theo otomatis mengusap kepalanya yang pening luar biasa. "Irene nggak bisa dihubungi," katanya memberitahu. Tadi ia sempat menelepon gadis itu, namun suara operatorlah yang menanggapinya.

"Karena, Nona tidak bisa kami hubungi sedari tadi, makanya saya menelepon Tuan Muda," tutur Mr. Johnny, semakin risau. "Jadi, Nona Irene tidak sedang bersama Tuan Muda? Kalau memang begitu adanya, biar kami langsung koordinasi dengan polisi untuk melacak posisi Nona."

Dugaan Theo benar, pihak Mellano pasti akan mendesak polisi setempat untuk mencari tahu keberadaan Irene. Karena, belum dua puluh empat jam—bahkan, tak sampai dua jam semenjak hilangnya gadis itu, mereka mesti memberikan iming-iming terlebih dahulu pada pihak kepolisian. Tapi, siapa yang peduli? Sekoper uang tak ada apa-apanya, bila dibandingkan dengan keselamatan garis keturunan terakhir Mellano—satu-satunya pewaris keluarga itu, Keana Irene Azura.

Hari sudah malam. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Irene? Bukannya, ia mendoakan. Ia hanya berjaga-jaga.

"Saya sedang nggak bersama Irene—"

Ucapan Theo menggantung begitu saja, seiring manik elangnya menangkap sosok mungil di kejauhan yang menjadi subjek pembicaraan mereka. Gadis itu tengah berjalan gontai, sambil memandang langit gelap yang menjadi saksi perbincangan menyedihkan semalam.

SINGULARITYWhere stories live. Discover now