D-18; Wake Up, Irene

1.8K 292 89
                                    

Kamis, 11 Februari 2020.


Irene menatap layar ponselnya yang gelap, tak menunjukkan notifikasi apapun. Orangtuanya benar-benar sibuk rupanya sampai-sampai tak sempat mengindahkan pesan dan panggilan darinya. Ia otomatis menghela napas, merasa lelah tanpa sebab.

Irene masih termenung meskipun kedua kakinya dengan konstan meniti tiap anak tangga. Ia bosan terus seperti ini. Ia ingin tetap bersyukur, namun rasa iri terhadap orang lain, seperti halnya pada Jennie, Naya, Sana, bahkan Theo sering menghantui dirinya.

Irene rindu bagaimana rasanya mendapat kasih sayang dari orangtua—ataupun sanak saudara. Dibuatkan makan, ditanya-tanyai perihal perkuliahan, diingatkan berdoa, juga dimarahi saat membuat kesalahan. Irene rindu itu semua. Ia rindu ayah dan ibunya. Ia pun rindu keluarganya.

Sudah terlalu lama, sudah terlalu lama ia tak merasakan kehangatan di rumah. Dan itu artinya... ia tak punya lagi alasan untuk pulang.

Jika bukan karena kehadiran Naya, Jennie, Sana, dan teman-teman lainnya yang berhasil mewarnai hari-harinya yang pucat, Irene mungkin sudah benar-benar menyerah sedari dulu. Apalagi kehadiran Theo turut menyempurnakan hidupnya. Irene benar-benar bahagia telah diberi kesempatan untuk bertemu dengan pemuda itu. Selama ini Irene membutuhkan seseorang yang mau mendengarkan setiap cerita dan keluh-kesahnya, ia lelah berbicara seorang diri, dan Theo lah yang bersedia menemaninya setahun belakangan ini. Meskipun tampak acuh tak acuh, Irene yakin bahwa Theo mendengarkannya.

"Nona Irene, sarapan sudah siap," lapor Ma'am Sunny tepat begitu Irene menginjakkan kaki di anak tangga terakhir.

Irene hendak menolak, namun tiba-tiba ia mendapatkan ide cemerlang. Spontan ia mengeluarkan ponsel lalu jemarinya sibuk menelusuri daftar kontak.

"Good morning, my fiance," sapa Irene ceria seiring menjauh dari ruang makan.

Ada jeda beberapa saat hingga seseorang di seberang mendengus dan membalas, "Lo merusak sistem pendengaran gue," jawabnya datar seperti biasa.

Bukannya merasa bersalah, Irene justru terkikik geli. "Kamu lagi ngapain, The?"

"Siap-siap."

"Berarti belum sarapan dong?" tanya Irene antusias.

"Tergantung," jawab Theo singkat.

"Loh, kok tergantung? Kan aku nanyanya kamu udah sarapan atau belum," gumam Irene bingung sendiri.

"Tergantung," Pemuda itu konsisten pada jawabannya. "Kalau lo mau ngajakin sarapan bareng, gue udah sarapan," sambungnya dengan nada luar biasa menyebalkan.

Irene meringis kesal, "Theo... kamu mahir banget dalam merusak mood seseorang, ya? Bisa-bisa kamu lulus bukannya dapat gelar sarjana kedokteran tapi dapatnya sarjana mood-breaker tahu nggak," gerutunya frustasi bercampur gemas.

Theo tiba-tiba terkekeh berat di seberang, membuat hati Irene bergetar hebat kala mendengarnya. "Thanks, Rene. Selama ini gue belajar dari lo."

Irene tak begitu mempedulikan ledekan itu, karena otaknya masih terfokus pada tawa kecil Theo yang akhirnya dapat ia dengar kembali setelah beberapa lama. Ia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, berharap ini bukanlah mimpi.

"Theo, kamu ketawa!!!" seru Irene heboh sendiri. Kedua kakinya sampai melompat-lompat kecil kegirangan.

Theo di seberang sempat terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berdeham, "Gue manusia, bukan robot," jawabnya ketus.

SINGULARITYWhere stories live. Discover now