D-4; They're in The Rain

1.7K 246 164
                                    

Kamis, 25 Februari 2020.


"Sampai jumpa, Irene pulang dulu!" pamitnya pada semua orang di Panti Jompo. Ia melambaikan tangannya kuat-kuat.

Opung ikut melambaikan tangan, "Hati-hati kau, Irene! Sabtu depan kau nyanyi lagu Batak, ya!" serunya, langsung dibalas gelengan oleh Irene.

"Maaf, aku nggak bisa, Opung," tolaknya panik, sampai mengibaskan tangan berkali-kali.

Mbah menyambar, "Ojo rasis (jangan rasis), Opung. Kalau Jawa bisa kan, 'nak Irene?" candanya, membuat Irene dan Opung langsung terbahak.

"Udah jangan didengar orang-orang tua itu, Irene. Hati-hati! Sabtu datang lagi, ya!" sahut Oma kencang, yang disetujui oleh Grandma.

Irene hanya membalasnya dengan senyum lebar dan kembali melambaikan tangan. Ia lantas meniti langkah keluar dari Panti Jompo, hanya untuk mendapati sosok Theo sedang membuka pintu mobilnya yang terparkir di JN Hospital. Otomatis, ia melirik apotek Marvel yang tak begitu jauh dari tempatnya sekarang.

Senyum lebar Irene lenyap begitu saja. "Ah, habis ketemu Sana..." duganya dengan suara lemah.

Jika mereka tak sengaja bertemu seperti ini, biasanya Irene akan menghampiri Theo tanpa berpikir panjang. Namun, kali ini ia tahu diri.

Irene menghembuskan napas berat. Kemudian, ditatapnya langit yang sudah gelap. Ah, malam telah tiba. Waktu yang tepat bagi lubang depresi untuk menjerat dan menenggelamkannya. Irene semakin tidak ingin pulang rasanya.

Dibandingkan naik taksi seperti saat berangkat, Irene justru memutuskan pulang ke rumah dengan berjalan kaki-karena jaraknya tidak begitu jauh. Menurut Maps, ia hanya perlu berjalan sekitar tiga puluh menit. Bukan masalah baginya.

Karena, Irene harus membuat tubuhnya lelah. Agar malam ini, ia dapat beristirahat dengan lelap, tanpa bantuan obat tidur lagi.

Irene melirik melalui ekor matanya. Ia menautkan alis, ketika menyadari mobil Theo tak kunjung pergi. Segera ia mengalihkan pandang pada apotek Marvel. Lalu, ia tertawa pelan.

"Bodoh," desahnya, mengumpati diri sendiri.

Tampak Marvel sedang menjaga apotek seorang diri di sana. Berarti, Theo bukan sekadar 'baru saja' bertemu dengan Sana. Justru Theo 'sedang' bersama Sana di dalam mobil pemuda itu.

Irene menggigit bibir pucatnya pelan. "Benar-benar bodoh," Kemudian, ia melengos begitu saja dan kembali melangkah pergi. Ia memilih untuk tak mengindahkan fakta itu, meski hatinya yang sudah tak utuh kembali berantakan.

Irene memasang airpods untuk mendengar perintah wanita penentu arah di ponselnya, sembari menyisiri tepi jalan yang tak terlalu ramai. Maniknya memandang lurus ke depan. Tanpa cahaya. Tanpa binar.

Sesekali Irene mengusap lengannya kala angin malam menerpa. Cardigan tipis yang dikenakannya tentu tak sanggup melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin.

Irene mendongakkan kepala untuk menyaksikan langit malam tak berbintang khas pemandangan kota metropolitan. "Mau hujan, ya?" gumamnya pelan. Bukannya mempercepat langkah, Irene tetap berjalan tenang tanpa merasa gusar.

Ia tak takut hujan. Irene justru menyukai hujan. Irene bersahabat dengan hujan.

Irene suka mendengar suara hujan yang menjatuhi bumi. Rangkaian melodi yang menyejukkan hati. Meskipun sering mengundang rindu dan membuatnya terperangkap dalam bilik memori.

Irene nyaman bernaung di bawah hujan, membuatnya bebas dan aman. Ia bisa melepas topengnya tanpa khawatir ketahuan, karena air matanya akan lekas menyatu dengan rerintikan hujan.

SINGULARITYWhere stories live. Discover now