The Day; His Future Without Her

2.2K 261 325
                                    

Sorry to keep you guys waiting for so long.  Sad—ah, no... i mean, happy reading!

📅

Senin, 29 Februari 2020.

Sepasang tungkai kaki Irene melangkah letih, menjejaki jalan setapak yang pernah ia lalui bersama Theo.

Dulu. Ketika status pertunangan masih mengikat mereka.

Dulu. Saat situasinya belum sekacau dan serunyam ini.

Dulu. Kala ia masih naif, menyangka bahwa ia satu-satunya perempuan yang berhasil menghadirkan senyum dan tawa pada paras dingin dan kaku itu.

Sepasang mata Irene tertuju ke satu arah, menjumpai kembali lampu taman yang nyaris ditabrak olehnya. Untung saja, Theo langsung sigap menariknya, tak memberi kesempatan bagi sang lampu untuk bersentuhan dengan tempurung kepalanya.

Irene juga melewati jembatan panjang yang hampir ia tubruk. Jika saat itu Theo tak segera merengkuhnya, mungkin ia sudah terpeleset dan jatuh ke sungai dingin di bawah sana.

Kaki Irene terus meniti langkah, mempertemukannya dengan si pohon pinus yang dulu betul-betul berbenturan dengan punggungnya, lantaran Theo sudah ogah menyelamatkannya lagi. Kini pohon tinggi dan kokoh itu mencuatkan tunas-tunas daun hijau yang segar, mengingat dalam waktu dekat musim dingin akan segera digantikan oleh musim semi.

Irene sejenak menghentikan langkah untuk sekadar bernostalgia. Di tempat ini, tepat di posisinya saat ini, Theo berjanji akan berkunjung ke rumahnya suatu saat nanti. Sayang sekali, hal itu tak akan terjadi. Bukan. Bukan karena Theo mengingkari janji, melainkan ia membiarkan janji itu tak bisa ditepati.

"Hhh..."

Irene menghela napas panjang. Semakin dikenangnya, semakin pula dirindukannya. Hari yang begitu indah. Bahkan, ia berani menjadikan hari itu sebagai salah satu hari terindahnya. Masa-masa yang tak mungkin terjadi kembali. Hanya bisa ia simpan baik-baik dalam kotak memori.

Berkelana di pagi hari dengan tunangannya, bersama-sama menikmati suasana damai dan pemandangan indah yang disajikan oleh Negeri Sakura. Sesekali bertukar kata dan berbagi tawa. Kala itu, suhu musim dingin yang membekukan justru kalah telak dengan rasa hangat yang menerpa hatinya. Ia sungguh bahagia, tulus apa adanya, bukan terpaksa seperti biasanya.

Setitik salju dengan lancang menyentuh ujung hidung kemerahan itu. Irene hendak menyentuh dengan telunjuk, namun butiran es tersebut sudah telanjur mencair, takluk pada kehangatan yang ia berikan. Manik kosong Irene beralih mengedar ke sekeliling.

"Winter," bisiknya rendah entah pada siapa. Mungkin pada tumpukan salju yang mengendap di jalan, atau matahari yang bersembunyi di balik awan, atau para pejalan kaki yang sibuk berlalu-lalang.

"Musim salju. Hening, dingin, kaku, beku, terlalu pucat untuk berwarna. Itu kamu. Selamanya tetap kamu."

Irene tertawa hambar, "Lalu, kamu bilang aku seperti musim panas. Summer. Everyone's summer," gumamnya, mengulang kembali ucapan tulus sang pemuda dalam otaknya.

"Summer, ya..." Lengkung di bibir itu tiba-tiba pupus. "Ah... aku baru sadar suatu hal."

Garis-garis wajahnya sontak kaku, "Musim dingin dan musim panas gak pernah bersinggungan. Mereka boleh berada di tempat yang sama, tetapi mereka singgah di waktu yang berbeda. Sulit bagi mereka untuk bersama."

Irene mengangkat tangan dan membiarkan telapaknya menjadi tempat bagi rintik-rintik salju untuk berpulang, "Kita pun begitu. Aku dan kamu gak mungkin bisa bersatu. Sekuat apapun kita berusaha, semesta selamanya enggan memberi setuju. Musim dingin dan musim panas gak pernah ditakdirkan untuk berdampingan, begitu pula dengan aku dan kamu," pilunya.

SINGULARITYWhere stories live. Discover now