D-11; Just Accept Her Unlimited Love

1K 185 69
                                    

Kamis, 18 Februari 2020.


Mendengar teriakan Yerin, Irene langsung mengundurkan diri. Ia kembali pada tujuan utamanya. Jika ia tak sempat bertemu dengan Theo, maka itu semua adalah salah Yerin.

Dari jarak beberapa meter, Irene dapat melihat Theo tengah membuka pintu mobil. Segera ia mempercepat langkahnya seakan tak ada hari esok.

Tepat begitu mesin Porsche Panamera putih milik Theo dinyalakan, Irene lantas membuka pintu penumpang sebelum pemuda itu menguncinya. Ia masuk dan duduk manis di bangkunya, dengan pandangan lurus ke depan—mengabaikan tatapan tajam Theo yang menusuk wajahnya secara perlahan.

"Keluar."

Irene tak bergeming sama sekali. Berakting seolah-olah sepasang telinganya tidak mendengar suara berat yang tengah memerintah itu.

"Irene..."

Irene makin mengeratkan genggamannya pada sabuk pengaman yang melindungi tubuhnya.

"Irene, jangan uji kesabaran gue," gertak Theo selanjutnya.

Bahu Irene langsung melemas. Tubuhnya bersandar dengan lunglai pada punggung bangku. "Kenapa siiih, Theooo?" gerutunya kecewa, dengan bibir yang maju beberapa sentimeter.

"Aku kan cuma mau menumpang sampai ke rumah. Biasanya juga boleh, kan?"

Bohong. Sebenarnya, masih ada motif lain. Irene jelas-jelas sadar ada yang aneh dari Theo. Ia ingin tahu mengapa wajah kusut pemuda itu semakin kusut hari ini.

Ditambah lagi, pemuda itu kembali berlaku dingin seperti semula. Padahal sebelum-sebelumnya, Theo bahkan tak keberatan untuk menjemput dan mengantarnya pulang. Namun, sekarang Theo seperti sedang menghindarinya.

"Lo bisa minta jemput sama Mr. Johnny, Irene," sanggah Theo cepat.

Irene mengayunkan tangan berkali-kali. "Nunggunya lama lagi, Theooo. Aku capek tahu habis bersih-bersih di perpustakaan. Oh, ya! Tadi aku ketemu Junot sama Daniel di sana. Mereka lagi kerjain tugas. Aku kira kamu lagi bareng mereka, tahunya kamu lagi berduaan sama cewek bar-bar itu. Cih," celoteh Irene dalam satu tarikan napas. Ia kemudian melirik jari manis Theo dan melotot setelahnya, "Tuh kan, The! Kamu sih nggak pakai cincinnya lagi—"

"Keluar," sela Theo datar. "Keluar, kalau lo cuma mau mengoceh nggak penting."

Irene spontan mencibir. "Huuuh... Iya-iya, nggak berisik, deh. Aku janji nggak akan banyak omong lagi. Tapi antarin sampai rumah, ya!"

Theo masih memandang gadis di sisinya tepat, memastikan bahwa gadis itu sungguh akan menepati janjinya.

"Serius, Theooo, kamu nggak percaya banget sama aku," keluhnya, tanpa sadar mengerucutkan bibir kemerahannya.

Theo sontak menghela napas. Lagi-lagi mengalah pada gadis itu. Ia akhirnya mengalihkan pandang lurus ke depan dan mulai menjalankan mobil.

Dalam hati bertanya-tanya, bagaimana bisa ia bersikap biasa saja jika sebagian besar sumber pikiran kusutnya berada di sampingnya?

Di sisi lain, Irene sedang berusaha sekuat tenaga agar tak mengeluarkan suara sedikit pun. Namun ia akui, ini benar-benar sulit. Hingga akhirnya, ia tak bisa menahannya lagi, meski belum terhitung lima menit.

"Theo, aku mau tanya sesuatu. Boleh, ya? Kenapa sih kamu pulang duluan kemarin? Tanpa ngomong-ngomong dulu ke aku lagi," gumamnya.

Theo berdecak, menunjukkan ketidaksukaannya karena Irene telah ingkar janji. "Lo mau gue turunin di mana?" tanyanya sarkastik.

"Ish! Iya-iya! Galak banget, sih," Irene sontak mengulum bibirnya dan mengalihkan tatapannya pada pemandangan di luar jendela. Lalu, ia menyenderkan kepala dan mulai menarikan telunjuknya pada kaca membentuk sketsa tak kasat masa di sana. Ia terus menggerutu dalam batinnya.

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang