D-24; She May Be His Friend

1.8K 315 82
                                    

Jumat, 5 Februari 2020.


Pagi ini Irene bangun dengan senyuman lebar. Ia masih terngiang-ngiang oleh ajakan Theo yang menawarkan untuk mengantarnya pulang kemarin. Irene bahkan sampai tak mengganti baju tidur, berharap harum Theo masih ada yang tinggal dalam sela-sela rajutan bajunya.

Irene bangkit dari tidurnya, lalu meregangkan badan sembari menatap jendela yang masih terhalang gorden. Tungkai kakinya turun dari atas ranjang, berjalan pelan mendekati jendela dan membuka gorden itu lebar-lebar, membiarkan cahaya matahari menguasai tiap sudut kamar luasnya. Kemudian ia beralih ke nakas. Menarik salah satu helai post-it dan menuliskan sebuah kata di sana.

D-24.

Setelah itu, Irene kembali ke ranjang untuk menempelkannya bersebelahan dengan kertas-kertas lainnya yang sudah terlewat harinya pada dinding. Irene mundur sedikit, dengan bangga menatap hasil karyanya itu. Ia kemudian mengepalkan kedua tangannya sembari menipiskan bibir.

"Semangat, Irene! Ayo, kita buat banyak kebaikan hari ini!" serunya bersemangat.

Tanpa berlama-lama lagi, Irene langsung pergi ke kamar mandi dan mulai bersiap-siap. Setengah jam kemudian, ia sudah berada di ruang makan. Wajah berserinya berubah sedikit muram saat tak mendapati siapapun di sana. Hanya ada beberapa asisten rumah tangga saja yang sibuk berlalu-lalang untuk sekadar menyiapkan sarapan atau membersihkan rumahnya.

"Mm... Ma'am? Mama dan Papa nggak pulang lagi?" tanya Irene ragu pada salah satu dari mereka.

"Nggak, Nona. Tuan belum pulang juga. Sedangkan Nyonya tadi subuh sempat pulang, tapi pergi lagi untuk berangkat ke Jepang, katanya ada klien di sana."

Irene terdiam sejenak, sebelum akhirnya membulatkan bibirnya lalu menggumam pendek. "Oh, ya udah kalau begitu. Aku berangkat dulu, ya?"

"Loh? Sarapannya gimana, Nona Irene?"

Irene berbalik sembari mengulum bibir. Ia menggeleng kecil. "Aku masih kenyang. Maaf ya, Ma'am," jawabnya agak bersalah.

Tetapi rasa laparnya benar-benar langsung hilang sekejap begitu ia mendengar penjelasan tadi. Dibandingkan harus sarapan seorang diri, Irene lebih baik tidak usah sama sekali. Bukankah esensi dari makan di rumah adalah kebersamaan yang terjalin di antara anggota keluarga? Lalu untuk apa Irene melakukannya jika yang menemaninya hanyalah sebatas udara.

Sang ayah sudah tidak pulang hampir dalam kurun waktu tiga minggu. Profesinya sebagai psikiater sekaligus pemegang saham dan Direktur Utama salah satu rumah sakit di Jakarta, Marl JN Hospital, berhasil membuatnya terus tinggal di rumah sakit atau sesekali bepergian ke luar negeri tanpa memberitahunya sama sekali. Sang ibu pun demikian pula. Menjadi pengacara yang fenomenal, membuat sosok itu bahkan dipercayai oleh banyak kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga bukan hal yang aneh jika ia mendengar informasi bahwa sang ibu sedang pergi ke luar negeri. Keduanya benar-benar jarang sekali berada di rumah. Bila tidak ada asisten rumah tangga yang rajin membersihkan sampai ke tiap sudut, Irene yakin rumahnya akan penuh debu dan jaring laba-laba saking tidak pernah disentuh sama sekali.

Dibandingkan sang ibu yang benar sulit ditemui karena terus berpindah-pindah tempat, sang ayah justru sedikit lebih mudah ditemui. Meskipun Irene sampai harus pergi ke rumah sakit dan memaksa masuk ke ruangannya. Tetapi tetap saja, urusan pekerjaan yang harus diselesaikan ayahnya begitu banyak. Sehingga kalau berhasil bertemu pun, Irene hanya memiliki waktu beberapa menit untuk berbincang dengan sosok itu.

"Nona Irene!"

Irene hendak membuka pintu saat tiba-tiba mendengar panggilan panik dari salah satu asisten rumah tangga.

SINGULARITYKde žijí příběhy. Začni objevovat