D-8; Curiosity Killed The Cat

961 178 87
                                    

Minggu, 21 Februari 2020.


Seorang pemuda dengan baju berlengan panjang serta celana ripped-jeans, tengah berjalan tenang memasuki JN Hospital. Wajah tampan, tubuh tegap, dan tampilannya yang nyentrik berhasil mencuri fokus orang-orang yang berada di lorong itu. Kaki jenjangnya melangkah menuju sebuah ruangan yang kemarin ia sambangi. Namun, yang ia dapatkan hanyalah sebatas udara.

Pemuda itu lantas mengernyit. Ia merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Setelah menekan beberapa tombol, ia mengarahkan benda persegi panjang itu ke dekat telinga.

Butuh waktu beberapa detik, sebelum nada dering itu lenyap. "Halo? Kamu di mana? Aku udah di ruangan kemarin, tapi kamunya nggak ada."

Pemuda itu sempat mengalihkan pandang ke sebuah lorong yang mengarah ke pintu timur rumah sakit. Lorong yang ia lewati apabila ingin mampir ke apotek milik Marvel.

"Oh, pindah? Kapan? Tadi pagi? Di ruangan mana sekarang? Lantai tiga? Oke, nanti aku tanya sama suster yang ada di sana aja. Dah."

Pemuda itu hendak melangkah pergi mencari lift, namun kakinya mendadak terpaku begitu sepasang iris matanya mendapati dua sosok yang ia kenal tengah berhadapan di lorong tersebut.

Ia otomatis mendekat dan bersembunyi di balik pilar, berusaha mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Halo, Om," sapa gadis itu. Ketakutan tersirat dalam nadanya.

"Halo juga," sapa pria itu balik.

Di balik pilar, pemuda itu mendadak berkeringat dingin. Ia berharap semoga asumsi terburuk yang ada di pikirannya salah.

"Apa kabar, Sana?" lanjut pria itu, dengan nada bicara yang tak terbaca.

"Ah... Kabar saya baik, Om. Saya harap Om juga demikian," jawab Sana, mencoba tenang.

Bibir pria itu tersenyum, namun sorot matanya tidak demikian. "Saya baik-baik saja, tapi saya rasa akan lebih baik jika kamu benar-benar melaksanakan janji yang pernah kamu sampaikan beberapa bulan lalu."

Sana mengerlingkan mata segan. "Ah, itu... M-maaf, Om—"

Pria itu tersenyum tipis. "Saya mau urusan kita berakhir, Sana."

Sana semakin menundukkan kepala. "Maaf, Om. Saya tahu saya seharusnya tidak ingkar janji," ujarnya sungguh-sungguh.

Pria itu menggeleng. "Tidak. Justru maafkan saya, Sana. Saat ini, pasti saya terlihat seperti peran antagonis di mata kamu," Ia terkekeh. "Namun, saya melakukan ini untuk kebaikan kamu."

Sana meneguk salivanya. Ia mendongak berusaha menatap balik netra pria itu. "Tapi, Om, sejujurnya sulit bagi saya untuk—"

"Kamu bersedia untuk pindah kampus? Saya dapat mengurus segala berkas yang dibutuhkan. Bahkan saya bisa kuliahkan kamu di Fakultas Kedokteran, impian kamu selama ini. Saya juga bisa cari apotek lain untuk kerja part-time kamu nanti," sela pria itu, tampak santai, meskipun sebenarnya tak enak hati.

Mendengar itu, Sana semakin terdiam. Ia tak bisa berkutik kini. Sekujur tubuhnya sudah terlampau lemas. Ia mengerjapkan mata berkali-kali, menghindari luapan air yang bisa luruh kapan saja.

"Saya harap kamu pikirkan matang-matang tentang tawaran yang saya kasih ke kamu. Semoga pertemuan selanjutnya adalah pertemuan terakhir kita tentang hal ini," ujar pria itu.

"Sana, jangan buat rumit sesuatu yang sebetulnya tidak rumit," Pria itu menghela napas pelan. "Impian kamu banyak dan perjalanan kamu masih panjang, jadi tak perlu pusingkan hal-hal tidak penting."

SINGULARITYWhere stories live. Discover now