Matheo Joseva Nadean

2.9K 382 75
                                    

15 February 2018


"Matheo Joseva Nadean!" pekik sang ibunda. "Kamu dengar Bunda ngomong nggak?!"

Anak laki-laki yang dipanggil itu berdecak sebal. Ia berhenti mengerjakan soal-soal latihan masuk Perguruan Tinggi, lalu membanting pensilnya pelan.

Dengan raut datar, ia menoleh pada wanita yang telah memberikan kesempatan padanya untuk menjalani hidup di dunia.

"Hm," jawabnya ketus.

Sang ibunda menghela napas lelah. Mulai tidak sanggup menghadapi kelakuan anaknya sendiri. Benar-benar persis seperti ayahnya, pikirnya.

"Matheo, dengarkan Bunda," Perlahan tapi pasti, ia menghampiri anak tunggalnya itu yang sedang berdiam diri di atas tempat tidur tanpa mau balik menatapnya.

"Ayah atau Bunda nggak bisa ambil hasil ujian dan rapot kamu besok."

Lagi?

Tanpa bisa ditahan, Theo tersenyum miring mendengar ucapan itu.

"Perusahaan farmasi Ayah sedang krisis, para pekerjanya mogok kerja, jadi sudah pasti dia sedang sibuk-sibuknya. Bunda juga sedang merintis bisnis restoran. Jadi kami mohon pengertian dari kamu, ya?" Suaranya agak melembut sembari mengusap rambut Theo.

Untuk beberapa saat ia menunggu balasan dari anaknya itu. Namun pada akhirnya, ia hanya bisa menghela napas untuk yang kesekian kalinya.

Drt.

Ponsel Theya Jovanka Nadean bergetar, menandakan bahwa ia mendapatkan sebuah panggilan. Lantas ia mengangkat sambungan itu sembari menjauh dari tempat tidur.

"Halo? Ada apa? Loh?! Serius kamu, Malvine?! Ya sudah, saya ke sana sekarang juga. Tolong kamu urus keadaan di sana dulu sampai saya tiba. Jangan lupa kabari saya perkembangannya."

Ia kemudian menoleh pada Theo yang meskipun datar, namun tersirat raut khawatir dan penasaran di sana.

"Bunda pergi dulu. Ada hal genting yang terjadi di restoran. Kamu belajar lagi, ya? Nanti kamu makan malam duluan aja, karena sepertinya Ayah dan Bunda pulang larut hari ini. Oke? Dah, Theo," pamit sang ibunda cepat.

"Ada apa—"

Pertanyaan Theo mengambang begitu saja. Karena yang ditanya sudah lebih dulu melenggang pergi terburu-buru.

Terlalu sibuk. Kedua orangtuanya terlalu sibuk. Rumah sakit, lah. Perusahaan, lah. Restoran, lah. Theo muak mendengar dua kata itu.

Ia memang bukan anak kecil lagi. Bahkan, ia akan menginjak umur delapan belas tahun ini. Namun, tetap saja. Tak bisakah orangtua menyempatkan waktu satu jam saja untuk datang ke sekolahnya, lalu mengambil hasil kerja kerasnya selama tiga tahun ini? Toh, ia bersusah payah, belajar mati-matian juga untuk mereka—ah, lebih tepatnya atas paksaan mereka.

Hingga terkadang ia lupa bagaimana cara bersosialisasi, ataupun cara bermain bola seperti anak laki-laki lainnya, hingga ia pun lupa bagaimana cara tertawa dan menangis. Karena yang ia tahu hanya belajar, belajar, dan belajar. Dan lebih menyebalkannya lagi, Theo terbiasa dengan kegiatan itu. Sampai-sampai sehari tak memegang buku, ia jadi uring-uringan dan khawatir tanpa sebab yang jelas.

Seingatnya, terakhir kali rapornya diambil adalah ketika ia masih kelas enam, itu pun hanya oleh sang bunda. Karena ayahnya yang berprofesi sebagai dokter, tidak memberikan waktu senggang sedikitpun untuk sekadar melakukan hal-hal yang tidak penting. Toh, menyelematkan nyawa seseorang lebih penting daripada sekadar mengambil rapor sang anak bukan?

SINGULARITYWhere stories live. Discover now