D-17; Fireworks Festival For The Lovebirds

1.6K 264 135
                                    

Bagi yang merasa lupa dengan ceritanya, dipersilakan untuk membaca ulang :")

Happy reading!!!


Jumat, 12 Februari 2020.


Dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh, Irene terbangun dari tidurnya tepat begitu jam menunjukkan pukul tiga subuh. Rambut yang berantakan, bola mata yang memerah, dan kantung mata yang membekas turut memperburuk keadaannya. Untuk sejenak ia berteman dengan hening, sembari menatap lapisan dinding di hadapannya yang terukir sosok penari balet.

Bibirnya yang tertutup rapat tiba-tiba mengeluarkan isakan kecil, namun segera ditahannya kembali. Jemari mungilnya dengan spontan menutup mulutnya. Tidak seharusnya ia menangis. Tidak boleh. Itu perintah ayahnya sedari dulu dan ia harus mematuhi, karena ia tak mau mengecewakan sosok berharga itu sama sekali.

Biasanya ia pun sanggup mematuhinya, namun kali ini agak sulit. Karena ia baru saja bermimpi—entah indah atau buruk, ia tak bisa mendefisinikannya. Serpihan-serpihan memori yang sengaja dipecahkannya itu ternyata berhasil menelusup ke dalam kotak mimpinya. Dan Irene tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Ia memang senang dapat bertemu kembali, tetapi kejadian yang terulang membuatnya justru meringkuk ketakutan di atas tempat tidur.

Perasaannya acak-acakan. Tak jelas. Pikirannya pun ikut kosong. Hanya satu yang dapat ia suarakan, dan itu berdasar dari hatinya yang terdalam. Bahwa ia rindu. Rindu sekali sampai-sampai seperti ada yang diambil dari hatinya, membuat ruang itu kini kosong dan terasa hampa.

Irene kembali menatap lukisan penari balet di tembok kamarnya yang sedang tersenyum seakan meledek keadaannya yang menyedihkan saat ini. Irene benci. Kenapa harus ada lukisan itu di kamarnya? Bukankah ia sudah bilang kalau dulu ia tak mau berurusan dengan apapun yang berbau balet? Mengapa Mama, Papa, dan Ma'am Sunny tak mengingatnya?

Semenjak kejadian itu, Irene benci sekali dengan balet. Karena menurutnya, jika bukan karena kompetisi balet yang diikutinya dulu, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Ia tidak akan terus dirundung rasa bersalah. Ia akan terus merasakan kehangatan. Ia akan lebih lama hidup bersama dengan orang yang sangat ia kasihi—lebih dari apapun, bahkan Theo sekalipun.

Karena sejujurnya, terlalu sunyi. Irene jenuh sendiri. Irene jengah berteman sepi.

Kehadiran Papa dan Mama tak begitu berarti akibat kesibukan mereka yang luar biasa. Bahkan sampai sekarang pun keduanya belum pulang sama sekali ke rumah. Meskipun akhirnya, Mama menghubunginya tadi malam. Tapi, tetap saja. Itu belum cukup untuk mengisi ruang-ruang hatinya yang kosong. Oleh karena itu, menurutnya Theo harus bersyukur, meskipun ia ditinggalkan oleh kedua orangtuanya, tetapi Paman Malvine dan Bibi Wendy dapat menjadi pengganti yang baik dan bertanggung jawab bagi pemuda itu.

Omong-omong tentang Theo, saat-saat seperti inilah di mana Irene menelepon pemuda itu untuk sekadar berbincang-bincang agar ia segera lupa dengan mimpinya. Tapi kali ini, Irene urung melakukannya. Ia tak mau mengganggu jam tidur Theo sama sekali, karena pemuda itu bahkan sampai menginap hanya untuk mengurus acara BEM hari ini. Dapat dipastikan Theo hanya dapat tidur beberapa jam—atau mungkin tak sampai beberapa, mengingat Theo juga harus mengerjakan tugas kuliahnya.

Jadi dengan tatapan kosong Irene menatap langit-langit kamar, sembari menyenandungkan lagu yang sering dinyanyikan olehnya dan ayahnya dulu.

"When you're growing old and feeling out of touch. Listen to this song and just take care and know that I will be there, yeah, I will be there..."

SINGULARITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang