D-6; The Broken Glass Keeps Her Safe

1.8K 239 278
                                    

Selasa, 23 Februari 2020.


"Theo?!" Naya terkesiap melihat sosok yang baru saja keluar dari kamar pasien Sana.

Bola mata Naya membulat dengan mulut yang ternganga. Telunjuknya otomatis terangkat ke arah pemuda itu, "Lo... Lo... Theo, lo kenapa ada di sini?!" gagapnya.

Theo tak begitu peduli. Ia hanya melirik gadis itu sesaat, sebelum beradu tatap pada pemuda lain yang sedari tadi menatapnya lekat.

"Kamu masuk duluan, Nay," Junot mendorong pelan tubuh gadisnya.

"Hah? Tunggu dulu, Jun. Sebentar. Aku mau tanya kenapa seorang Theo bisa ada di sini—"

Ucapan Naya terhenti, karena Junot langsung menutup pintu dan menahan gagangnya untuk beberapa saat. Ia baru melepaskannya, ketika tak lagi merasakan perlawanan dari dalam.

Setelah memastikan Naya tak lagi mencoba keluar, Junot lantas menggerakkan kepalanya ke suatu arah. "Jangan di sini, di taman aja," katanya, dengan nada datar. Lalu, mendahului Theo untuk pergi ke sana. Sedangkan, Theo hanya mengikuti tanpa banyak bicara.

"Lo mau pipi kanan atau pipi kiri?" tanya Junot, setibanya di taman. To the point.

Theo mengangkat kedua bahu, "Bukan lo yang berhak menghajar gue."

"Ck," Junot mendengus, "Gue yakin, lo pun tahu kalau Irene nggak akan pernah bisa melukai lo," sinisnya. "Jadi gue di sini, sebagai perwakilan dia untuk menghabisi lo, biar lo sadar dengan semua kesalahan yang udah lo perbuat."

Theo membasahi bibirnya. Ia sempat termenung dengan isi otak yang berkecamuk. "Dua-duanya," ujarnya lemah, membuat Junot mengernyit.

"Kiri dan kanan, dua-duanya," ulang Theo kembali.

Setelah itu, dua tinjuan berhasil mendarat dengan mulus di kedua pipi Theo, membuat ia sempat terhuyung beberapa langkah ke belakang. Sontak, Theo menunduk dan menyentuh pinggir bibirnya yang langsung memerah.

"Udah sadar belum?" tanya Junot. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang tak main-main.

Theo tak menjawab, ia hanya menghela napas kasar. Lalu, mengacak rambutnya kasar.

Melihat reaksi itu, Junot ikut menghembuskan napas berat. "Gue mau tanya, deh. Kenapa lo bisa-bisanya masih menanggapi Irene di saat lo sebenarnya sama Sana?" Junot mulai menginterogasi.

Theo mendesah pelan, "Gue nggak pernah menanggapi dia," sanggahnya, membuat Junot langsung mengangkat salah satu alisnya.

"Gue emang kaku dan cuek. Tapi, setiap bersama dia... gue berusaha untuk lebih dingin lagi. Lo tahu itu, Junot. Sejak awal bertemu, gue nggak pernah menanggapi dia."

Junot mendadak jengkel, karena yang dibicarakan oleh Theo benar adanya. Sejak awal, Theo tak pernah bersikap manis dengan Irene. Ia lah saksi bagaimana dinginnya sikap Theo pada Irene saat mereka bertemu pertama kali.

"Karena saat itu lo udah sama Sana?" Junot bertanya memastikan.

Theo mengangguk, "Gue pun nggak mau dia berharap terlalu jauh. Gue pikir dengan memperlakukannya sedingin mungkin, dia akan pergi menjauhi gue. Tapi, ternyata nggak semudah itu membuat dia menyerah."

Junot mengangguk mengerti, "Lalu, kenapa lo nggak publikasi hubungan lo dengan Sana? Dengan begitu, Irene nggak akan menaruh harapan sama lo."

Theo membasahi bibir bawahnya. "Sana menolak. Dia nggak mau jadi bahan pembicaraan. Lo tahu sendiri bagaimana omongan anak kampus," jawabnya.

SINGULARITYWhere stories live. Discover now