D-9; The Flaw in Her Perfection

852 162 32
                                    

Sabtu, 20 Februari 2020.


"Sanaaaa!"

Irene berlari kecil menghampiri gadis yang sedang duduk manis di salah satu meja dalam ruangan minimalis bernuansa kayu. Mereka sudah janji untuk hang out hari ini, di kafe tempat Sana part-time dulu, bernama Caffeine.

Sana membalas senyum cerah gadis itu, "Hai," sapanya kalem.

Begitu Irene duduk di hadapannya, ia menyodorkan Vanilla Latte khas Caffeine yang terdapat bentuk hati pada foam-nya. "Vante lo, nih," ujarnya.

Irene menyengir, "Yeay, thank you udah dipesanin, San!"

Sana mengangguk singkat. "Tumben nggak pesan Pinkish Sour atau Blueberry Yum?"

Ia menyebutkan dua minuman kesukaan Irene, yang satu merupakan minuman yoghurt rasa stroberi dan satunya lagi adalah rasa bluberi—sesuai namanya. Irene memang menyukai minuman yang memberikan rasa asam dan sensasi segar.

Irene menjulurkan telapak tangan, kemudian menyeruput Vante-nya perlahan. Dicecapnya rasa kopi yang tertinggal pada rongga mulutnya, "Gue lagi ngantuk banget, San. Makanya, butuh kopi biar nggak lemas."

Sana mengernyit di tempat. "Kalau ngantuk kenapa ngajak hang out? Sabtu siang lagi. Tumben banget, biasanya lo memilih untuk tidur di rumah."

"Heiiiii," Irene mengibaskan tangan, "Itu Keana Irene Azura yang dulu, Sanaaa! Sekarang gue udah menjalani kehidupan yang produktif. Gue nggak mau menghabiskan waktu dengan hura-hura lagi," ujarnya, dengan wajah seserius mungkin.

"Oh, mm... okay?" Sana mau tak mau mengangguk—pura-pura percaya.

Lirihan dengan nada tak yakin itu membuat Irene cemberut dan mendelik. "Iiihhh, kenapa orang-orang nggak ada yang percaya setiap gue ngomong begitu? Nggak lo, nggak Theo, nggak Junot, Mino apalagi. Jennie dan Naya sama aja. Bahkan Papa dan Mama gue pun nggak yakin. Gue serius tahu. Gue akhir-akhir ini menjalani hari seakan itu hari terakhir gue di dunia ini—"

"Sampai segitunya?" sela Sana, kaget bercampur heran.

Irene mengangguk. "Hm-hm!" dehamnya semangat. "Itu gue lakukan, biar gue sadar betapa berharganya hari-hari gue. Jadi, sekarang gue menghabiskan waktu dengan produktif. Nggak leha-leha dan party all night lagi! Hehehe," cengirnya.

Sana tersenyum tipis. "Bagus lah, kalau lo mau berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Gue dukung lo kok, Rene," ujarnya tulus.

"Hehehe..." Cengiran Irene makin melebar, "Lo sekarang yakin kan sama gue?"

Melihat anggukan kecil Sana, Irene otomatis berseru senang, "Yeay! Akhirnya ada yang percaya sama tekad gue! Huhuhu, I love you, Sana. Gue tahu lo akan selalu berada di pihak gue!"

Irene hendak maju memberikan pelukan—yang jika terjadi, akan terlihat sangat memaksakan, mengingat ada meja bundar yang memisahkan mereka.

"Oh, stop it, Irene!" tolak Sana mentah-mentah. Ia mendorong gadis itu agar segera duduk kembali di tempatnya.

"Jadi, kenapa? Ada apa sampai lo ngajak hang out begini?" tanya Sana to the point.

"Iiih, kok lo ngomongnya gitu, San? Sejak kapan kita harus punya alasan untuk hang out bareng?" Irene berkacak pinggang.

"Sana, lo emangnya nggak sadar? Kita udah lama nggak jalan dan ngobrol berdua lagi. Lo semakin sibuk setelah kerja bareng Marvel, semakin susah buat ditemui," keluhnya.

SINGULARITYWhere stories live. Discover now