ISEY || CHAPTER TIGA PULUH DELAPAN

415 33 7
                                    

Happy reading~




Tiga tahun lalu...

Teriakan menggema di dalam GOR. Hari itu sedang berlangsung turnamen basket mahasiswa se-Jawa Timur. Hanya tinggal beberapa menit lagi sebelum pertandingan berakhir. Sementara itu, selisih poin dengan tim lawan cukup jauh. Vian mengamati dari luar lapangan. Saat menit awal babak kedua, ia terpaksa harus diganti dengan pemain lain karena cidera pada pergelangan kakinya. Walaupun kesal dengan keadaan, tapi ia tidak bisa bersikeras untuk tetap ikut, sebab pertandingan ini bukan hanya soal dirinya tetapi juga tim.

Di menit-menit akhir, kawan satu timnya berhasil mencetak poin. Namun tetap saja tak mampu mengejar ketertinggalan dari tim lawan. Peluit ditiup dengan keras yang menandakan pertandingan telah usai. Raut kekecewaan tergambar jelas di wajah Vian dan kawan satu timnya. Mereka harus terima tak ikut ke laga final pekan depan. Itu adalah kekalahan pertama bagi Vian. Dan dia merasa asing dengan semuanya.

Satu per satu pemain mulai menepi ke ujung lapangan. Penonton pun mulai meninggalkan arena. Vian berjalan lebih dulu ke ruang ganti. Ia menunggu timnya pun pelatih yang nampak kecewa. Tak berselang lama, semua sudah berkumpul di sana.

"Its okay. Nggak apa-apa," ucap pelatih sembari tersenyum. Pria itu menatap satu per satu anak didiknya.

"Hidup kita nggak akan berakhir hanya karena kekalahan ini." Semua terdiam. Pria itu menghela nafas. "Main kalian tadi udah bagus. Block kamu udah keren, Nji. Kamu juga Arsyad. Shooting kamu mantap Anwar, Cuma ya...akselerasi kamu aja agak kurang waktu cetak poin," ucap Rendi—pelatih basket tim Vian yang membuat semua orang yang ada di sana tertawa.

"Sebenarnya tadi mau joget kayak gini, Bang. Cuma takut provokasi aja," jelas Anwar sembari memperagakan joget yang ia maksud. Suasana mulai cair dengan suara tawa yang berderai memenuhi seisi ruang.

"Dan kamu Vian," ucap pelatih. Semua orang menatap ke arah Vian.

"Kaki kamu gimana?"

Vian menggerakkan kaki kirinya lalu mengangguk. "Tapi kita mesti cek ke rumah sakit."

"Udah mendingan, Bang. Tadi juga udah ditangani sama tim medis di sini."

"Pokoknya harus." Vian menyerah. Memangnya dia punya pilihan?

-

-

-

Vian keluar dari ruangan rumah sakit di lantai satu. Ia duduk di kursi tunggu di dekat resepsionis. Menatap nanar ke arah luar rumah sakit. Ia menghela nafas kasar. Ia menatap Dimas yang berjalan ke arahnya dengan ekspresi wajah yang sangat menjengkelkan.

"Gimana, pahlawan?" tanya Dimas sarkas saat ia sudah berdiri di depan Vian.

Vian memutar bola matanya yang membuat Dimas cengengesan tak tahu diri. "Ya...lagian ngeblok bola segitu. Poin yang dijaga cuma dua, rela banget ngorbanin kaki sampai keseleo."

Vian diam saja, malas menanggapi ocehan Dimas yang tak ada hentinya. Laki-laki itu mengambil tempat di sisi Vian. Ia mengamati kaki Vian yang diperban. "Masih sakit nggak?" tanya Dimas khawatir.

Vian melemparkan tatapan tidak suka ke arah Dimas lalu menjawab, "Ih, geli banget nanya kayak gitu."

"Namanya juga khawatir. Dokternya bilang apa?" tanya Dimas lagi tanpa mempedulikan ekspresi Vian yang terlihat horror.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 23, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I SHALL EMBRACE YOUWhere stories live. Discover now