BAB 29

83 9 4
                                    

"Ampun, Ga." Rendi benar-benar memohon.

Setelah melumpuhkan semua anak buah Rendi dan sekutunya, Gilga menyandera pemimpin geng dari kedua sekolah. Gilga menyuruh anak buahnya untuk membawa mereka berdua ke tengah gudang lalu mengikatnya di sebuah kursi. Ia sama sekali tidak menyentuh mereka. Hanya menatap dari jarak sekitar tiga meter.

"Habisin ajalah, Ga. Tunggu apalagi?" Dani meregangkan kedua tangannya. Tidak sabar untuk melampiaskan amarahnya kepada Rendi dan Dio, ketua geng SMK Angkasa.

"Menurut lo gue nggak perlu menyampaikan pesan dan kesan deklarasi kemenangan?"

"Goblok." Ravi mengumpat kasar. "Yaudah cepetan, anjing."

"Sabar, sih." Gilga berjalan mendekat kepada Rendi dan Dio. Ia mensejajarkan tubuhnya dengan mereka berdua. "Gue memang baru dan belum punya nama di dunia ini. Gue nggak peduli. Gue nggak suka ada lo berdua ngusik orang-orang di sekitar gue."

Rendi dengan ketakutan dan menyesal berkata, "Sorry, Ga. Gue cuman penasaran sama kemampuan lo."

"Gue cuman bantu Rendi. Gue bener-bener nggak tahu apa-apa.... gue bahkan nggak tahu siapa nama lo." Dio menyahuti dengan kesal.

"Terserah – yang jelas lo udah cari masalah sama anak buah gue. Lo kesel? Cari bantuan lebih banyak. Gue bisa lebih kejam dari pada ini."

"Kejam apaan, anjing? Gini, doang?" timpal Dani meremehkan.

"Gue belum selesai, cuk!"

"Yaudah cepetin, anjing!" sahut Ravi.

"Kencengin talinya!" Emosi Gilga perlahan mereda dan sekarang ia mulai rileks.

"Oke." Beberapa anak buahnya langsung melaksanakan perintahnya.

"Ambil HP mereka!"

"Hah? Buat apa?" Ravi dan yang lain pun bingung.

"Pastiin aja semua pintu dan jendela kekunci rapat." Sesampainya di pintu, Gilga berbalik arah. Ia melihat jam tangan digital miliknya yang menunjukkan pukul sebelas malam. "Dan gue nggak akan balik lagi." Gilga menyeringai. "Semoga beruntung."

"Anjing!" umpat Dio menuruti kebodohannya yang mempercayai Rendi begitu saja tanpa mencari tahu lebih lanjut. Rendi mengatakan bahwa mereka akan memberi pelajaran kepada pemimpin geng baru yang tidak punya pengalaman. Itu sebabnya Dio langsung mengiyakan karena mengira sasaran mereka benar-benar tidak memiliki kekuatan apapun.

Sebenarnya, saat tahu bahwa yang dimaksud Rendi adalah Flamma. Dio sedikit waspada. Bahkan, meskipun pemimpin mereka bukan orang yang terkenal dibidangnya, Dio tidak ingin ceroboh. Nama besar geng berada di tangannya. Ketika melihat Gilga untuk pertama kalinya – matanya sudah jelas menegaskan dia tidak bisa diremehkan. Saat itu ia baru menyadari telah mencari masalah dengan orang yang salah.

"Gila lo?" sahut Rendi dengan emosi, meskipun raut wajahnya jelas-jelas terlihat ketakutan.

"Ga?" Dani meragukan keputusan Gilga. "Yakin lo? Gimana kalau ada yang datang?"

"Bodo amat kalau ada yang datang. Yang masalah itu, gimana kalau mereka kenapa-kenapa, anjing!" Ravi benar-benar khawatir.

"Bukan urusan gue." Gilga kemudian melirik Rendi dan Dio yang menunduk pasrah. "Jagoan, kan? Pasti melakukan segala cara, dong, buat bertahan hidup."

Gilga pergi sementara anak buahnya masih terperangah. Tidak percaya pemimpin tertinggi mereka begitu ternyata berdarah dingin. Jika Gilga meminta mereka untuk memukuli Rendi dan Dio, tentu saja akan lebih masuk akal. Meskipun brutal, mereka juga tahu batasan. Namun, perintah Gilga kali terdengar seperti berupaya membunuh mereka secara perlahan.

Tali yang mengikat tubuh Rendi dan Dio benar-benar kuat. Dan juga gudang ini sangat aman dan tidak mudah dibobol apabila ditutup rapat. Secara logika mereka akan kelelahan dan kelaparan. Tentu saja mereka tidak menginginkan hal yang buruk terjadi. Bantahan dan negosiasi hanya terlontar dalam batin masing-masing. Realitanya tidak ada yang berani menyampaikannya secara langsung kepada Gilga.

Sebelum terlambat, Ravi segera berlari menyusul Gilga yang hampir sampai gerbang. "Ga!"

Gilga berbalik. "Terserah kalian mau ngelakuin atau nggak. Gue nggak akan berubah pikiran."

"Ini, tuh, udah kriminal, Ga! Ikat ajalah, nggak usah dikurung." Ravi masih berusaha menawar perintah Gilga.

Gilga mengabaikan ucapan Ravi lalu pergi. Ia tahu keputusannya bisa saja berakibat fatal. Bukan tanpa alasan Gilga melakukan hal itu. Ia meras perlu memberi pelajaran agar mereka tak main-main dengannya. Ini sudah kedua kalinya. Dengan Gavin menjadi korban, itu membuat Gilga semakin marah dan tidak mudah baginya untuk mengampuni mereka.

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now