BAB 6

1K 161 71
                                    

"Gilga!"

Si pemilik nama menoleh ke belakang. Suara itu, ia sangat mengenalnya. "Wih, sehat lo?"

Gavin merangkul Gilga dan tersenyum lebar. "Capek, goblok!"

Gilga terkekeh kecut. "Kenapa nggak digenapin sekalian seminggu?"

"Gue kangen sama lo, gila!" jawab Gavin sambil mengucel gemas pipi Gilga. Gavin tidak mengikuti masa orientasi siswa karena ia berlibur ke luar negeri. Orangtuanya adalah pemilik yayasan dan ia menggunakan itu untuk menghindari kewajiban. Gavin baru masuk di hari efektif pertama, hari ini.

"Najis!" Gilga berusaha melepaskan diri.

Gavin meringis lalu merangkul sahabatnya itu. "Btw, lo mau kemana?"

"Ke kelas," jawab Gilga dengan polosnya.

Gavin menoleh ke belakang. "Mading di sana, goblok!"

"So?" Gilga menaikkan sebelah alisnya.

"Emangnya lo tahu lo masuk kelas mana?" tanya Gavin.

Gilga berpikir keras. "Enggak."

"Idiot!" cibir Gavin. Ia lalu memimpin jalan sambil menyeret Gilga.

"Nah, lo mau bawa gue kemana?" Gilga bingung.

"10–G, kelas kita."

"Kita sekelas lagi?" Gilga terlihat tidak senang. Membosankan.

"Sumpah, gue nggak tahu kali ini." Gavin mengangkat dua jarinya. Selama bertahun-tahun mereka selalu berada di kelas yang sama berkat permintaan khusus Gavin dengan menggunakan kekuatan orangtuanya.

Sampai di kelas, Gavin mengikuti Gilga yang langsung menuju bangku pojok belakang. Saat di SMP, selama tiga tahun mereka selalu duduk di bangku yang sama. Sepertinya tidak jauh berbeda. Mereka hanya bertukar posisi – Gavin duduk di sebelah dinding, Gilga di samping jalan. "Kalau boleh jujur, nih, Ga, gue bosen suasana bangku belakang."

"Yaudah, lo duduk di depan aja." Gilga menanggapi santai.

Gavin melirik Gilga. "Lo nggak bosen?"

Gilga mengangguk kuat. "Nggak."

Gavin mendesah. Tipikal Gilga – jika menginginkan sesuatu hal, ia akan fokus. Jika memiliki tujuan, ia akan bekerja keras. Jika mendapatkan yang ia inginkan, Gilga tidak akan menoleh ke arah lain. Tak heran jika terkadang cowok itu membosankan. "Yakin?"

"Nggak salah!" seru Gilga yang tiba-tiba pindah duduk di bangku paling depan. Membuat Gavin menatap bingung kepadanya.

Avana yang baru saja masuk kelas mengerutkan kening. "Pagi-pagi udah ngegas aja, bos!"

"Biasa aja." Gilga menjawab dengan sedikit cuek.

Saat mengetahui ia berada di kelas yang sama dengan Gilga, Avana cukup terkejut. Sejak terakhir kali mengobrol di kantin, Avana dan Gilga tidak pernah lagi mengobrol panjang lebar. Mereka hanya saling sapa saat bertemu. Avana tidak merasa malu kepada Gilga atas ucapannya yang sangat blak-blakan, sebaliknya justru cowok itu yang sedikit tak acuh saat berhadapan dengan Avana.

"Oh." Avana tersenyum sambil berjalan menghampiri Gavin yang melongo melihat interaksi mereka berdua. "Bangku ini kosong?"

"Ha?" Gavin sedikit tidak paham. Ia lalu menoleh Gilga yang menatap datar padanya. "Lo jadinya mau duduk dimana, Ga?"

Avana ikut menoleh Gilga. "Lo tadi duduk di sini?"

"Lo mau duduk di belakang?" Gilga balik bertanya.

"Um," Avana mengangguk. "Gue belum pernah duduk di bangku pojok belakang."

"Oh," jeda Gilga. "Ya udah, coba aja."

Gavin yang sejak tadi bolak-balik menatap Gilga dan Avana mulai berpikir. Sejak ia mengenal Gilga pada usia lima tahun, Gavin tidak pernah melihat sahabatnya itu kehilangan kontrol situasi. Jadi, ini pertama kalinya. Gavin merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Ia pun lalu berdiri, bersiap pindah dari bangku itu. "Ah, sebenernya gue juga bosen duduk di bangku belakang."

"Oke." Avana pun menyambut dengan senang hati.

"Oke," gumam Gilga sembari melonggarkan dasinya yang terasa terlalu ketat. Saat Gavin akan duduk di sebelahnya, Gilga tiba-tiba menarik tasnya dan beranjak menuju bangku yang pertama ia tempati.

"Wah, idiot. Yang bener, dong, lo! Plin-plan amat!" cibir Gavin kesal.

"Setelah dipikir-dipikir, gue nggak bakat duduk di depan," balas Gilga dengan santai. "Setelah dipertimbangkan juga, gue bosen sebangku sama lo. Jadi, gue rasa ini saatnya melakukan gerakan peru...."

"Bacot!" sahut Gavin dengan penuh penekanan – membuat semua orang yang ada di dalam kelas tertawa.

"Sorry." Gilga menunduk polos.

"Bodo amat. Jauh-jauh lo dari gue!" timpal Gavin dengan nada meninggi.

Avana yang sejak tadi hanya tersenyum lebar melihat perseteruan kedua teman sekelasnya itu lalu berkata, "Emma juga ada di kelas ini, lho. Tapi dia belum datang."

"Terus?" Gilga menanggapi dengan santai.

"Huh?" Avana menatap Gilga heran.

"Sama-sama."

Avana mengerutkan kening. "Atas dasar apa?"

"Tadi gue pikir lo mau duduk di depan, jadi gue pindah ke sana. Tapi nyatanya, lo pingin duduk di belakang dan gue pindah lagi."

"Nah, siapa suruh?" balas Avana dengan polosnya.

"Gue punya kewajiban," timpal Gilga.

"Apa?"

"Melindungi lo."

"Atas dasar?" Avana cukup terkejut mendengar jawaban Gilga. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Gilga mendesis lalu memutar tubuhnya sembilan puluh persen menghadap Avana. "Gini, gue nggak suka ribet. Lo ngelarang gue berhenti perhatian sama lo. Gue bilang lo jangan pernah hilang dari pandangan gue. Lo bilang gue tipe cowok kesukaan lo. Gue nggak punya tipe cewek kesukaan, tapi gue tertarik sama lo."

"Ha?" Avana melongo.

more than you know | gilga & avanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang