BAB 12

735 97 7
                                    

Avana berdiri. "Tunggu di parkiran, Ga. Gue mau ke toilet dulu."

"Oke!" jawab Gilga yang masih mengemasi alat tulisnya.

Beberapa saat kemudian, Gilga berjalan ke luar kelas sambil berseru, "Gue tunggu di parkiran, Ga!"

Saat itu Gilga tersadar. Segera ia berlari keluar kelas dan menyusul Avana. Gilga lalu menunggu Avana di tangga di samping toilet. Tak lama Avana keluar dan Gilga langsung menghampiri gadis itu. "Avana!"

"Astaga." Avana terkejut lalu tersenyum mengetahui itu Gilga. "Ngapain lo ke sini? Kan, gue udah bilang tunggu di parkiran aja."

Gilga memegang rambutnya dengan gelisah. Ia melihat ke bawah – tidak berani menatap Avana. Cowok itu merasa bersalah. "Ummmm, gini."

"Kenapa?" tanya Avana dengan lembut. "Ada apa?"

"Gue lupa udah ada janji sama anak-anak." Setelah mengumpulkan kekuatan, akhirnya memberanikan diri membalas tatapan Avana.

Senyum Avana sedikit memudar namun kelembutannya tidak berkurang. "Sama anak-anak Flamma?"

Gilga mengangguk lalu berbicara dengan hati-hati, "Gue minta maaf. Sumpah gue lupa. Gue baru inget pas mau keluar kelas barusan. Sorry."

"Santai aja, Ga." Avana terus tersenyum dan itu membuat Gilga semakin merasa bersalah. Gadis itu lalu berjalan mendahului. "Mereka pasti udah nunggu lo. Pergi aja, nggak apa-apa. Masih ada besok, lusa dan besoknya lagi."

Gilga mengikuti Avana. Ia berjalan selangkah di belakang gadis itu. "Maaf. Gue tahu, gue lebih dulu bikin janji sama lo, tapi gue nggak mungkin batalin pertemuan sama anak-anak. Mereka lebih dari dua puluh orang."

Tiba-tiba Avana berhenti dan menoleh Gilga. "Iya, Ga, gue ngerti lo pemimpin geng. Gue justru seneng lo tanggung jawab sama anak buah lo."

"Tapi gue jadi nggak tanggung jawab sama lo."

"Gue kasih lo hak buat selalu ada buat gue, bukan kewajiban. So, it's okay, big boss! Sana pergi, tepati janji lo sama anak buah lo." Avana melanjutkan langkahnya.

"Gue harus anter lo pulang dulu."

Lagi-lagi Avana berhenti secara mendadak dan sedikit mengejutkan Gilga. "Yakin? Masih keburu? Gue nggak mau lo kebut-kebutan di jalan, ya, Ga."

"Gue nggak pernah ngebut." Kali ini Gilga mencoba mensejajarkan dirinya dengan Avana. "Lagian mereka juga bukan anak rajin yang bakal datang tepat waktu. Dan juga gue pemimpinnya, gue nggak mau nunggu mereka, mereka yang harus nunggu gue."

Avana tertawa kecil. "Childish banget. Itu namanya menyalahgunakan kekuasaan tahu, nggak!"

"Nggak juga," jawab Gilga dengan polos. "Lebih tepatnya, gue memanfaatkan kekuasaan yang gue punya."

"Ah, siap, big boss!" Avana mencoba mencairkan suasana. Gilga masih terlihat merasa bersalah.

"Apaan, sih? Siapa yang ngajarin panggil gue gitu?" Gilga merasa tidak nyaman dengan hal itu.

"Kenapa emangnya? Nggak boleh? Itu, kan, fakta? Lo bos besarnya Flamma – geng sekolah. Anak-anak pada manggil lo gitu, kenapa gue doang yang lo protes, huh?" Avana pura-pura kesal.

"Ya, beda , dong. Mereka anak buah gue, lo...." Gilga ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

Avana menoleh Gilga. "Gue siapa lo? Pacar?"

"Ya, kan?" Bagaimanapun Gilga perlu memastikan.

"Lo cuman minta berhak buat selalu ada buat gue, Ga."

"Bukannya sama aja?" balas Gilga.

"Nggak, sebelum lo tepatin janji lo!" tegas Avana lalu berlari menuju motor Gilga dan menaikinya.

Pada saat itu Dani yang berada di atas motornya yang tidak jauh dari motor Gilga berseru, "Gilga!"

"Oi!" jawab Gilga tidak kalah nyaring.

Dani memperhatikan langkah Gilga menuju Avana. Ia lalu menoleh gadis itu. "Lo siapa? Pacarnya Gilga?"

"Bu...."

"Hafalin wajah cewek gue," potong Gilga sambil naik ke atas motor dan memakai helm.

"Kenapa emangnya?" Dani menggaruk kepala bingung,

"Lo boleh modusin semua cewek di sini, kecuali dia," ujar Gilga memakai helm dengan tersenyum. Dani berdarah Indonesia dan Jerman. Ia memanfaatkan wajah tampannya dengan baik. Selain itu jabatannya di Flamma sebagai pemimpin distrik menambah percaya dirinya untuk menggoda banyak gadis.

"HAH?" Dani terkejut hingga matanya sedikit melebar. "Oh, oke."

"Gue belum terima cinta lo, Gilga!" Dengan nada pelan Avana protes padahal pipinya merah tersipu.

"Terserah – yang penting lo juga suka sama gue. Gue nggak peduli status kita apa, selama kita jadi bagian hidup satu sama lain."

more than you know | gilga & avanaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ