BAB 13

570 89 3
                                    

"Ya, Ga?" ucap Avana setelah menerima panggilan telepon dari Gilga.

"Lagi ngapain?"

"Mau ngerjain PR tapi males banget." Avana menghembuskan napas panjang. "Lo sendiri? Udah pulang? Atau masih nongkrong?"

"Jadi mau ngerjain PR atau nggak?" tanya Gilga sekali lagi.

"Ummmm," Avana berpikir cukup lama. "Nggak, deh. Gue nggak ngerti materinya. Besok aja nyontek anak-anak. Hehe – Kenapa emangnya?"

"Keluar, gih! Gue di depan."

"Seriusan?" Avana terkejut. Ia segera menuju jendela untuk memastikan. Dan, Gilga tidak berbohong. Cowok itu duduk di atas motornya yang berhenti di depan rumah Avana. "Wah, gila!"

"Nama gue Gilga, bukan gila!" protes Gilga lalu menutup telepon secara sepihak.

Avana tertawa. Gadis itu lalu berlari kecil untuk menghampiri Gilga. Ini hanya hal sederhana, namun mampu membuatnya bahagia. Sesampainya di hadapan Gilga, Avana berkata, "Gue emang ngatain lo gila!"

"Padahal gue kasih kejutan, bisa-bisanya malah dikatain gila." Gilga sok ngambek.

"Gila karena lo nggak ketebak, maksudnya." Avana menjelaskan.

"Lo nggak suka kejutan juga?" Gilga tidak kesal. Ia hanya takut Avana merasa tidak nyaman.

"Sering-sering aja kayak gini, ya!" Avana mengelus rambut Gilga. "Jadi, ngapain kesini? Masih pakai seragam lengkap lagi. Kangen, ya? Padahal kita belum ada enam jam pisah."

Gilga terkekeh melihat kelakukan Avana yang sangat percaya diri. "Jalan-jalan mau?"

"Kemana?"

"Beli helm terus ke tempat mie pedes yang gue bilang kemarin. Atau ada tempat lain yang pengen lo datengin?"

"Sekarang?"

"Nanti, habis ladang gandum dihujani meteor cokelat," jawab Gilga asal.

"Lama, dong!" sahut Avana dengan cepat dan nada bicara yang menaik kemudian tertawa kecil. "Oke, kalau gitu bentar, ya, gue ganti baju dulu."

"Tiga menit!" teriak Gilga yang ditanggapi dengan acungan jempol.

Nyatanya tidak sampai dua menit, Avana kembali dengan mengenakan celana jeans dan oversize hoodie. Tanpa tas atau aksesoris lainnya. "Skuy, berangkat!"

"Udah ijin?"

"Udah, dong!"

"SKUY!"

Gilga pun mulai melajukan motor dengan kecepatan rata-rata. Cowok itu membawa Avana lewat di jalan perkampungan. Sepanjang perjalanan mereka saling bercanda. Sejak naik ke atas motor, Avana langsung berpegangan erat pada tubuh Gilga. Avana melakukannya tanpa canggung. Gadis itu selalu merasa aman dan nyaman setiap berada di samping Gilga.

Begitupun Gilga, ia selalu merasa nyaman dan tenang mengetahui Avana aman berada di dekatnya. Ia juga merasa senang karena Avana selalu mengandalkannya. Sifat Avana yang tenang dan ceria, seolah melengkapi Gilga yang terkadang sulit mengontrol emosi. Terkadang Avana memang berlebihan, namun itu tidak mengganggu Gilga. Gadis itu seolah membuat tempatnya sendiri dalam hati Gilga. Dan Gilga sangat menyukainya.

Sekitar dua puluh menit kemudian, sampailah di sebuah ruko. Ada tiga pria yang sedang nongkrong di kafe sebelah ruko. Salah satu dari mereka yang berambut gimbal menyapa, "Woi, kemana aja nggak pernah kelihatan? Sehat lo?"

"Nggak lihat, hidup gue makin sejahtera?" balas Gilga menyombongkan diri dengan gayanya yang cukup songong.

Mereka lalu menoleh Avana. Kali ini pria bertubuh kekar yang bertanya, "Pacarnya Gilga? Cantik-cantik kok mau, sih, sama ninja Konoha?

"Naruto, dong!" sahut Avana lalu mereka semua tertawa kecuali Gilga.

"Dasar jomblo abadi!" cibir Gilga lalu menggandeng tangan Avana masuk ke dalam ruko.

"Kayaknya mereka orangnya seru-seru, ya!" ucap Avana setelah meredakan tawanya.

"Oh, ya?" balas Gilga singkat.

"Selamat...." Pemilik toko tidak melanjutkan kata-katanya setelah tahu siapa yang dating. Pria itu lalu menyambut dengan jabatan tangan kepada Gilga. "Eh, Gilga. Tumben, nih. Lama nggak jumpa. Gimana kabarnya?

"Baik, Bang. Sendirinya?"

"Ya, begitulah." Pria itu mengangkat kedua bahu lalu menoleh Avana. "Wah, pacarnya Gilga, ya? Kenalin, Irfan."

"Avana," balas gadis itu sambal tersenyum manis.

"Mau cari helm? Yang model apa? Silahkan lihat-lihat. Kalau mau desain khusus, kita juga bisa, kok."

"Sana!" ucap Gilga kepada Avana. "Pilih aja yang lo suka, gue tunggu di kasir."

"Atau kalau mau cari model selain yang dipajang, sebentar gue ambilin." Irfan pun meninggalkan mereka.

"Nggak mau nemenin?" tanya Avana.

"Gue tipe cowok yang suka kasih kebebasan ke ceweknya, sih. Lagian gue ada di kasir, kalau mau tanya samperin aja, atau teriak juga boleh kalau nggak malu. Bukannya nggak mau nemenin, tapi kalau lo mau ditemenin, yaudah. Bukannya gue terpaksa juga, tapi.... Yaaaaa, intinya belanja itu capek." Gilga menggaruk tengkuk sambal meringis. "Sorry."

Avana tertawa. Gilga yang kebingungan justru terlihat menggemaskan. "Oke, untuk hal satu ini, gue kasih toleransi."

"Oke," jeda Gilga sambil melirik Avana. "Thanks!"

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now