BAB 25

470 80 7
                                    

"Udah selesai ekskul musiknya?" tanya Avana.

"Belum. Kenapa?" balas Gilga yang berada di seberang telepon.

"Gue bosen. Ayo, main!" Avana setengah merengek.

Gilga tidak langsung menjawab, "Gue mesti bolos, nih?"

"Nggak juga," jawab Avana. "Nanti aja kalau udah selesai."

"Emang kenapa kalau gue bolos?" tanya Gilga.

"Yaudah," Avana berkata dengan ragu-ragu.

"Apaan?"

"Sekolah yang bener, nak!" Awalnya Avana berharap Gilga akan membolos dan menemaninya, namun setelah berpikir ulang – ia sadar tidak seharusnya bersikap egois. "Jangan sok-sokan jadi cowok bad boy, deh!"

"Gue pemimpin tertinggi Flamma, artinya gue ketua geng."

"Lo pantes, sih.... tapi nggak cocok. Ehm, gimana, ya?"

"Kenapa nggak cocok?" Gilga penasaran opini gadis itu tentang dirinya.

"Kan, gue udah bilang dari awal. Lo itu terlalu manis!" jeda Avana. Ia menghela napas dalam. "Ngaca coba! Penampilan selalu rapi. Selalu tepat waktu. Mau bolos aja nggak jadi gara-gara alasan yang konyol. Selalu sopan dan ramah ke semua orang. Dan yang terakhir, bucin tingkat kecepatan cahaya matahari."

Pada hari itu, Gilga tidak jadi membolos karena ia berat hati untuk merusak rekornya dalam kategori tidak pernah membolos selama bersekolah. Ah, hanya beberapa kali saat jam kosong dan Avana mengajaknya kabur ke kantin, itu tidak dihitung karena pada akhirnya guru yang memergoki dan menyuruh mereka kembali ke kelas.

Alasan yang tidak biasa hingga membuat Avana mengolok-ngolok dirinya dan menjulukinya dengan nama bos cupu. Gilga tertawa. "Butuh waktu lama buat bikin rekor. Dan hidup cuman sekali, sister. Udah sejauh itu – sayang, dong, kalau gue rusak gara-gara hal nggak penting."

Avana mendesis. "Udah, ah. Gila, ya, lo ekskul malah teleponan."

"Yaudah, bye." Gilga memutus telepon secara sepihak dan Avana mendumel kesal.

Sepulang ekskul, Gilga langsung menuju rumah Avana. Gadis itu mengirim pesan spam yang cukup banyak. Semua isi pesan sama – gue bosen. Saat sampai di depan rumah, ia melihat ada sebuah mobil – sepertinya ada tamu. Gilga mengetuk pintu – biasanya di jam seperti ini Avana yang selalu membukakan pintu untuknya, kecuali saat ibu gadis itu sedang libur.

"Selamat siang.... Om?" Gilga berhati-hati.

"Gilga, ya?" balas pria separuh baya itu dengan tersenyum.

"Iya, Om." Gilga mengangguk. "Ayahnya Avana, ya, Om?"

Belum sempat pria itu menjawab, Avana muncul. Ia terlihat sudah sangat siap untuk pergi. "Ayo, berangkat!"

"Kalian mau pergi?" tanya pria itu.

"Yes. Aku bosen di rumah." Avana yang menjawab.

"Oke, kalau gitu jangan pulang terlalu malam." Pria itu memberikan syarat.

"Oke." Avana menuntun Gilga dari belakang menuju motor, padahal cowok itu ingin berpamitan lebih dulu kepada ayahnya. Ia bahkan menyuruh Gilga buru-buru. "Cepetan, sayang. Gue udah nggak sabar."

"Apaan, sih?" Gilga tidak mengerti apa yang terjadi. "Gue jadi nggak pamitan, kan, sama bokap lo."

"Nggak usah, sih. Kan, dia udah tahu." Avana tidak seperti biasanya dan Gilga menyadarinya.

Kemudian Gilga melajukan motor seperti biasanya. Jalan utama padat merayap, Gilga pun mencari jalan alternatif. Sepanjang jalan Avana tidak terlalu banyak bicara seperti biasanya. Justru Gilga yang kali ini lebih banyak bercerita. Gilga bercerita tentang ekskulnya hari ini dan tanggapannya biasa saja. Hal itu membuat Gilga yakin sesuatu terjadi kepada Avana.

"Ke tempat biasa lagi?" tanya Gilga. "Nggak bosen?"

"Cari tempat baru, gih! Yang asyik buat ngobrol. Kalau bisa yang ada pemandangan alamnya. Biar seger."

"Yang deket sawah? Mau nangkap bekicot juga, nggak?" Gilga mencoba membuat suasana hati Avana membaik.

Avana refleks memukul bahu Gilga. "Awas aja kalau sampai sana lo nggak ajak gue cari bekicot!"

Gilga tertawa.

"Eh, udah jadi?" Avana baru sadar Gilga mengenakan jaket model baseball dengan nama Flamma di punggungnya. Beberapa anggota mengusulkan untuk membuat jaket geng lalu Gilga menyetujuinya. Gavin dan setiap kapten distrik yang mengurus semua. Gilga tinggal menerima hasilnya. "Wah, keren banget, logonya elang!"

"Masa? Cocok nggak?" balas Gilga sambil menekan tombol lift. Ia mengajak Avana ke sebuah kafe atap yang akhir-akhir ini sedang populer.

"Ganteng, kayak pangeran Eric waktu dikutuk." Gadis itu tidak pernah mau mengalah sekalipun. Dan juga, sejak mereka keluar dari tempat parkir, banyak gadis dan wanita yang menatap Gilga. Cowok itu dengan penampilannya yang rapi memang terlihat tampan.

"Hah? Nutcracker, dong?" sahut Gilga dengan polos sambil mengelus rambut bagian belakang Avana.

Mendengar itu, dua orang gadis yang berdiri di samping merea tertawa kecil. Kebetulan hanya ada mereka di lift. Avana lantas menoleh. "Sorry, ada yang lucu?"

"Nggak, kok – maaf," jawab mereka berdua sambil menahan tawa.

"Oke!" balas Avana lumayan sinis.

"Maaf, ya, guys! Cewek gue lagi PMS kayaknya!" ujar Gilga sambil tersenyum manis kepada kedua gadis yang seketika menjadi canggung itu. Ia lalu merangkul Avana dengan gemas.

"Cewek dari Hongkong?" Avana melepaskan dirinya lalu segera keluar dari lift begitu pintu dibuka.

"Babe, tunggu, dong!" seru Gilga dengan nada menggoda sembari berlari mengejar Avana yang berjalan cepat meninggalkannya memasuki kafe.

"Geli, anjir!" Avana menghindar saat Gilga berusaha meraih bahunya lalu menempati bangku kosong di dekat pintu.

Gilga pun mengerutkan kening bingung – kenapa tiba-tiba suasana hati Avana memburuk. Ia pun duduk di hadapan gadis itu. "Ih, kenapa, sih? Random banget, huh?"

"Risih aja."

"Ya, risih kenapa? Pasti ada alasannya. Kasih tahu gue."

"Ummmm," Avana berpikir. Belum sempat menjawab, ia melirik kepada beberapa gadis di meja sebelah yang sedang berbisik-bisik sampil tersenyum tersipu melihat ke arah Gilga. Ia diam sebentar lalu tiba-tiba, Avana berdiri dan menghampiri mereka. "Ganteng, ya? Pengen kenalan? – Oke, jadi dia namanya Gilga Alastair Regardi, anak SMA Cakrawala kelas 10-G."

"Terus, ada geng di SMA Cakrawala namanya Flamma. Dan cowok itu," Avana menunjuk Gilga dengan jempolnya, "adalah pemimpin tertingginya."

Para gadis itu hanya mendengarkan sembari menatap tidak percaya kepada Avana yang menghampiri mereka secara tiba-tiba. Setelahnya, saat Avana sudah mengambil melangkah untuk pergi, tiba-tiba ia berbalik dan berkata, "Ah, iya. Dia jomblo, tapi lagi suka sama gue. Kita nggak jadian, tapi tetep aja kalian nggak boleh caper atau ngedeketin dia. Kenapa? Soalnya dia bucin banget ke gue. Jadi, dia cuman milik gue."

"Wah!" Gilga yang sejak tadi hanya menyaksikan dengan duduk manis di tempatnya cukup terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya.

"Bye!" Avana berbalik. Melewati Gilga sambil berkata, "Yuk, cari tempat lain!"

"Laksanakan!" Gilga menuruti perintah Avana seolah membuktikan bahwa ucapan gadis itu benar.

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now