BAB 24

483 77 10
                                    

"Nadanya dalam banget?" Emma tidak percaya.

"Kayak suara-suara mafia yang lagi kasih peringatan gitu di film-film. Serem banget." Ravi bergidik ngeri. Ia menceritakan kejadian di markas Flamma kemarin kepada beberapa anak kelas 10-G yang sudah datang. "Percaya nggak percaya, nih. Nggak ada satupun yang bergerak. Semua ngelihatin dia."

"Bisa gitu, ya?" Shella, ketua kelas, berpikir keras. "Terus kelanjutannya gimana?"

"Habis itu dia pergi gitu aja, anjir!" jeda Ravi. "Sampai di hilang di tangga, baru kita berani gerak. Itupun pelan-pelan. Efeknya gila banget – pokoknya seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik kalau lagi di sekolah, apalagi pas jadi bucin Avana."

"....Jangan-jangan dia punya kepribadian ganda...."

"....Dia akting kali. Orang dia kalau main piano jari-jarinya gemulai banget...."

"....Jadi sebenernya dia serem apa imut...."

"Ah!" Emma menggebrak meja. "Yaudah, sih, bomat. Mau dia kepribadian ganda atau akting, yang penting di mata gue tetep bucin yang manis dan menggemaskan."

"Nah, bener itu!" Shella langsung menyetujuinya. "Anggap aja dia pinter menempatkan diri. Pas jadi ketua geng, bisa jadi tegas dan berwibawa. Dan pas jadi pacar, bisa lembut dan manis. Ah, keren banget nggak sih? Beruntung banget Avana bisa dapetin Gilga."

"Apaan nyebut-nyebut nama gue sama Gilga? Sahut Avana yang baru saja datang – sendirian tanpa Gilga, dan langsung ikut menimbrung. "Masih pagi udah ngegosip aja."

Semuanya terlihat bingung. Emma lalu bertanya, "Gilga kemana? Kok lo sendirian?"

"Di parkiran ngumpul sama anak gengnya," jawab Avana.

"Seriusan?" Ravi terkejut. Ia tidak menerima kabar apapun. "Kok gue nggak tahu?"

"Cuman para kapten. Lo, kan, cuman warga biasa tanpa kekuatan apapun. Jadi, nggak usah ikutan. Di sini aja jadi admin arisan kosmetik."

"Sembarangan lo!" Ravi tidak terima dan melempar kertas yang sudah diremas kearah Avana.

Gadis itu bisa menghindar, namun ia hampir terhuyung ke belakang. Untungnya seseorang datang lalu dengan sigap menahan tubuhnya. Avana tidak berpikir itu Gilga dan ia berusaha menyeimbangkan tubuh. Namun sebenarnya itu adalah Gilga. Bukannya melepaskan Avana, tangan Gilga malah lebih erat melingkar di pinggang gadis itu.

Namun boom – secarik kertas membentuk pesawat mengenai kening Gilga yang tiba-tiba berada di belakang gadis itu. Mereka pun terkejut, terutama Ravi. Ia sadar telah membuat kesalahan. Pertama, mengganggu Avana. Kedua, kertas yang tidak sengaja mengenai Gilga.

Ravi langsung berdiri dengan panik saat Gilga meliriknya dengan tatapan datar. "Ampun, Ga. Sumpah nggak sengaja. Gue juga cuman bercanda."

Gilga tidak menanggapi. Ia lalu mengalihkan fokusnya kepada Avana. "Dani ngajakin bolos. Gue boleh ikut, nggak?"

"Hah?" Avana tidak mengerti mengapa Gilga menanyakan hal itu kepadanya. "Terserah lo – yang bolos lo, kenapa tanya sama gue. Suka ngadi-ngadi lo!"

"Boleh?" Gilga memastikan. "Nggak marah?"

Avana menatap Gilga datar. "Kenapa gue harus marah?"

Gilga berpikir lalu menjawab dengan polos, "Gue nakal."

"Ahhhh, GILGA!" seru Shella dengan nada dan ekspresi yang dramatis. Sontak semua menoleh kepada Shella dan gadis itu semakin menjadi-jadi. "Lo gemesin banget. Jadi, pengen nyubit."

Refleks Avana langsung menyembunyikan Gilga di belakang tubuhnya. "NGGAK BOLEH! Enak aja!"

Semua orang memusatkan perhatian kepada Avana. Gadis itu lalu membalikkan badan dan berkata, "Udah sana pergi! Nunggu apa lagi?"

"Huh?" Gilga menaikkan sebelah alisnya. Setelah mengacak poni Avana, cowok itu lalu berjalan keluar kelas sambil melihat Avana. "Ya udah, tapi nanti tetep gue jemput pulang sekolah. Dadah!"

"Ucul banget," gumam Shella dengan nada manja. "Avana, lo beruntung banget jadi pacarnya Gilga. Gue iri."

Avana mengangkat dagu. "Dia bukan pacar gue. Kita belum jadian – nggak jadian!"

"Eh?" Emma bingung. "Ya, kan, kalian udah sayang-sayangan. Kemana-mana bareng lagi. Gimana bisa kalian belum jadian?"

"Gilga belum nembak lo?" tebak Ravi.

"Atau belum kasih jawaban?" sahut Shella.

"BUKAANNN!" Avana menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue emang nggak jadian sama Gilga, tapi kalian nggak boleh deketin, genit, apalagi coba-coba ngerebut dia dari gue. Nggak boleh! Gilga cuman punya gue, Avana, titik!"

more than you know | gilga & avanaDär berättelser lever. Upptäck nu