BAB 11

828 100 9
                                    

"Lo senyum-senyum sendiri, emang udah jadian?" tanya Gavin begitu Gilga melepas helm. "Gercep amat."

Gilga hanya tersenyum. Ia lalu berjalan menuju warung Bang Salim. "Ada apa?"

Sebelum Gavin menjawab, Gilga sampai di dalam warung dan terkejut melihat tiga anak buahnya babak belur. Luka sudah diobati, namun mereka masih kesakitan. "Apa-apaan, nih?"

Gavin menghela napas panjang lalu menjelaskan, "Mereka dipukulin sama anak SMA Bakti."

Gilga mendekat kepada mereka dan memeriksa kondisi mereka satu persatu. "Kok bisa? Apa masalahnya?"

"Mereka pingin kenalan sama lo," jawab Dani yang menjadi salah satu korban.

"Anjing, kenalan macam apa kayak gini?" Gilga sedikit menaikkan nada bicaranya. Ia tahu SMA Bakti yang berada tidak jauh dari sekolahnya adalah musuh bebuyutan, tapi tidak menyangka mereka akan melakukan hal sekonyol ini. "Berapa orang yang ngeroyok kalian?"

"Sekitar lima belas," jawab Ravi — siswa kelas F, salah satu korban juga. Tubuh Ravi adalah yang terkecil di antara mereka bertiga. Sehingga ia mendapatkan luka yang paling parah.

"Kita lagi lewat di depan sekolah mereka, tiba-tiba aja ada beberapa anak yang berhentiin motor kita dan bawa kita ke rumah kosong deket sana. Kita kalah jumlah, jadi ya udah nurut aja." Miko, korban ketiga, satu kelas dengan Gilga dan belum menjadi anggota resmi Flamma.

"Rendi juga ikut?" tanya Gilga. Rendi, siswa kelas 12 adalah pemimpin geng di SMA Bakti.

Ravi menjawab, "Justru dia yang mukulin kita. Semua anteknya cuman megangin supaya kita nggak ngelawan atau kabur."

"Ngomong apa aja Rendi?"

"Dia pingin tahu pemimpin Flamma yang baru siapa. Gue kasih tahu nama lo. Dan dia ketawa."

"Kenapa?" Gilga bingung.

"Menurut lo?" sahut Gavin.

"Yang tahu sejarah lo cuman Flamma. Nama lo, bukan apa-apa dibidang ini. Sementara Flamma adalah salah satu yang paling disegani. Tentu aja mereka penasaran kenapa Albi milih lo buat jadi penggantinya."

Sebelumnya, Gilga termasuk golongan anak yang biasa saja. Ia malah terbilang murid yang rajin. Tidak pernah terlambat mengumpulkan tugas, meskipun nilainya rata-rata. Selalu berseragam rapi dan mematuhi peraturan sekolah. Tidak pernah membolos dan selalu mengikuti kegiatan sekolah dengan baik. Benar-benar contoh siswa teladan. Dalam bersosialisasi, ia mudah akrab dengan siapa saja. Berteman dengan siapa saja, namun sahabatnya hanya Gavin.

Gilga ramah, sopan dan suka menolong. Tidak ada yang berani mengganggunya karena segan. Dengan sikapnya yang tenang seperti itu, Gilga tidak pernah menjadi pusat perhatian. Andai beberapa anggota Flamma tidak mencari masalah dengannya waktu itu, mereka tidak akan pernah tahu sisi mengerikan sosok Gilga. Dan jika Albi tidak meremehkannya waktu itu, mereka mungkin tidak berteman sebaik sekarang.

"Kita harus serang balik, nih. Sebelum ada korban lagi." Ravi sudah tidak sabar untuk balas dendam.

"Jangan mikir mau kesana sendiri. Ini bukan cuman masalah lo aja, tapi kita semua — Flamma!" ucap Gavin memperingatkan sahabatnya. Ia sangat mengenal Gilga yang pemberani.

Dani lalu berkata, "Oke, kalau gitu, besok pulang sekolah kumpul di markas."

"Bisa."

"Sip. Gue umumin di grup chat."

"Sekalian peresmian anggota baru?"

"Oke. Kalau bisa semua anak kelas 10 masuk biar kita makin kuat."

"Tunggu," Gilga yang sejak tadi hanya menyimak sambil menundukkan kepala tiba-tiba memotong pembicaraan mereka. Suasana pun menghening dan semua menoleh kepadanya. Gilga lalu mengangkat kepala dan mengedarkan pandang kepada anak buahnya. "Jangan gegabah."

"Maksud lo, Ga?" Gavin tidak mengerti.

"Gue mau kita kumpul besok dengan kalian bawa semua informasi tentang musuh-musuh kita. Gue nggak mau lawan mereka tanpa kartu AS apapun."

"Kita mau balas dendam, Ga. Kita mau tawuran. Kita nggak butuh informasi buat mukulin mereka." Ravi tiba-tiba menaikkan nada bicaranya. "Jangan bilang lo nggak percaya sama kemampuan kita."

"Berantem mah berantem aja, nggak ada aturan mesti bikin strategi, kartu atau apapun. Please, deh, Ga. Jangan kayak pengecut!" ucap Dani dengan tenang namun terdengar penuh kekesalan.

Gilga menghela napas dalam. Ia berjalan keluar namun tepat di ambang pintu, Gilga berhenti lalu berbalik dan berkata dengan santai, "Tawuran emang nggak ada aturannya. Tapi bukannya gue udah pernah bilang, ya?" Ia menunjuk kepada semua orang. "Lo semua adalah Flamma. Gue pemimpin tertinggi punya aturan buat Flamma. Dan aturannya adalah gue, Gilga Alastair Regardi."

"Perintah, keinginan dan ucapan gue adalah hukum buat kalian. Kalau lo mau jadi anggota Flamma, ikuti aturan yanga ada. Kalau enggak, gue nggak apa-apa selama lo nggak jadi penghianat. Sekali lagi, aturan Flamma adalah gue. Gue punya cara sendiri buat ngelindungi sekolah dan seisinya, termasuk kalian. Kenapa? Karena gue nggak mau punya anak buah pecundang yang cuman kuat fisik, tapi nggak ada otak."

"Jangan pernah lupa kenapa Albi pilih gue jadi pemimpin kalian."

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now