BAB 14

636 99 6
                                    

"Gue bakso original dua porsi, es cincau sama jus jeruk," ucap Gilga sambal berjalan menuju kasir. Setelah membeli helm, Gilga langsung mengajak Avana menuju restoran mie pedas yang ia janjikan dulu.

"Itu aja?" tanya Avana sambil melihat buku menu.

"Sama dim sum, deh!" imbuh Gilga.

"Oke, mbak. Kita pesan bakso original dua porsi, mie pedas level sepuluh satu, es cincau satu, jus jeruk satu, dim sum satu sama iced cappuccino satu."

"Kerupuk juga, mbak!" sahut Gilga lalu memberikan dompetnya kepada Avana. "Nih, gue mau cari tempat duduk."

"Oke."

"Ngapain pesan yang level sepuluh? Awas aja kalau nggak lo habisin!" ucap Gilga saat Avana menghampirinya setelah menyelesaikan pembayaran. "Mie di sini, tuh, pedesnya kelewatan. Nggak kayak sambal di kantin, Avana."

Selama mereka makan bersama di kantin, Gilga sama sekali tidak pernah menambakan sambal di makanannya. Cowok itu tidak suka pedas. Avana tersenyum. "Santai aja kali. Gue nggak akan nyuruh lo habisin kalau gue nggak kuat sama pedesnya."

"Jangan kebiasaan nggak habisin makanan! Nggak baik, tahu!" Gilga tiba-tiba mengeluarkan kalimat yang bijaksana.

"Wah, baik banget, sih, pemimpin geng satu ini," ucap Avana sambil menatap Gilga dengan tatapan genit.

"Ngapain duduk di situ? Kenapa nggak di sebelah gue?" tanya Gilga langsung pada intinya.

"Biar gampang aja kalau lihat muka lo," jawab Avana dengan santainya. Gilga hanya terkekeh. "Jadi, selain pedes, apa aja yang nggak lo suka?"

"Mie, manis, seafood," jawab Gilga dengan cepat.

"Kenapa? Alergi?"

"Seafood – yang lainnya, nggak suka aja."

Avana lalu mengembalikan dompet Gilga. "Lo waktu kecil lucu banget, ya! Gemesin."

Ada foto masa kecil Gilga di dompetnya. "Sekarang emang, enggak?"

"Masih, sih. Apalagi kalau lagi kesel," goda Avana lalu tertawa.

Tak lama pesanan mereka datang. Setelah menunggu agar kuah bakso tidak terlalu panas, Gilga langsung makan dengan lahap. "Udah setahun nggak makan, ya, Ga?"

"Laper habis mikir."

"Mikir apa?" tanya Avana.

"Rahasia Flamma."

"Hah?" Avana mengerutkan kening. Setelah itu Avana membiarkan Gilga makan dengan tenang. Ia beberapa kali tersenyum melihat Gilga hampir tersedak. Cowok itu hanya fokus pada makanan, hingga tidak memperhatikan Avana yang kepedasan. Sementara Gilga sudah hampir menghabiskan mangkuk keduanya, Avana masih menghabiskan setengah porsi mie pedasnya.

Setelah mangkuk kedua habis, Gilga langsung menyantap es cincau. Di pertengahan, ia baru memperhatikan Avana yang makan dengan begitu lambat. "Ngapain berhenti? Cepet habisin."

"Tenang aja, pasti habis, kok!" jawab Avana sambil mendesis kepedasan.

Beberapa waktu berlalu, cincau milik Gilga sudah habis dan es jeruknya tinggal setengah. Dan mie Avana sepertinya tidak berkurang sejak terakhir kali mereka berbicara. Gilga terkekeh, "Nggak habis, kan?"

"Habis!" Avana bersikukuh.

"Nggak akan." Gilga sangat yakin.

Mereka terus berdebat – tidak ada yang mau mengalah. Perbedatan berakhir, saat Gilga mengambil piring Avana lalu memakan mie pedas itu dengan keringat bercucuran. Avana yang terkejut dan mendadak panik. "Gilga! Jangan!"

Gilga tidak menghiraukan Avana. Ia terus melahap mie yang penuh biji lombok itu. Avana berusaha merebut piring itu, namun Gilga menjauhkannya. "Gilga, berhenti. Nanti lo sakit perut!"

"Ga.... please!" Avana memohon hingga hampir menangis. Ia khawatir sesuatu terjadi kepada cowok itu. "Please, berhenti, Gilga. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

Tak berapa lama kemudian, Gilga mencapai suapan terakhir. Meskipun matanya merah dan keringat bercucuran, ia mengakhirinya dengan gaya yang keren. Gilga merentangkan tangan seolah itu bukan apa-apa. Gilga mengunyah dengan tenang selama beberapa detik, sebelum kemudian ia kalabakan menghabiskan es jeruk dan iced cappuccino milik Avana.

Avana tertawa. Bukannya ia tidak punya hati, hanya saja Gilga sangat lucu. Sembari menahan tawa, Avana buru-buru membeli air mineral di meja kasir. Ia kemudian kembali dan duduk di samping Gilga, "Minum ini, Ga. Pelan-pelan!"

Dengan cepat Gilga membuat botol air mineral itu dan menghabiskan setengahnya dalam satu kali tegukan. Ia berhenti sejenak lalu menghabiskan sisanya juga dalam satu kali tegukan. Setelah itu, Gilga mengecap lidahnya menarik lalu bersandar di kursi sambil menarik dan menghembuskan napas dalam. Cowok itu terlihat kesakitan, namun tak mengeluh sepatah katapun.

Avana berpangku satu tangan di meja, lalu menatap kagum kepada Gilga. Butuh waktu lama agar cowok itu menyadarinya. Gilga melirik dengan menaikkan sebelah alisnya, "Ngapain ngelihatin gue kayak gitu? Kaget, ya? Gue tetep ganteng padahal lagi keringetan."

Avana terkekeh. Ia setuju dengan apa yang baru saja dikatakan Gilga, namun ada hal lain yang membuatnya penasaran. "Gilga?"

"Hmmm." Gilga hanya menggumam.

"Lo sesuka itu, ya, sama gue?" tanya Avana dengan lembut.

Gilga sontak menoleh. "Bukannya udah jelas, ya?"

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now