BAB 16

611 96 7
                                    

"Gue nggak suka ngurusin urusan orang lain. Lagian siapa gue harus nolongin mereka. Ya, gue tahu manusia makhluk sosial, tapi kalau salah tempat bisa jadi pahlawan kesiangan, kan?"

"Terserah lo, deh!" Avana memalingkan wajah kesal.

"Katanya lo mau tahu. Ini gue lagi cerita awal mulanya."

"Bertele-tele tahu, nggak?"

"Makanya jangan dipotong. Gue cerita dulu, nanti kalau udah selesai lo baru tanya. Jadi, ada dua sesi. Biar nggak bingung." Gilga lalu menyerahkan tasnya. "Ambil buku gue. Catet yang lo nggak ngerti. Biar nanti tinggal tanya."

"Astaga, dragon!" Avana mengelus dada. "Ribet banget hidup lo, Ga!"

"Bercanda, sayang!" ucap Gilga dengan cepat dan dengan nada bercanda. "Oke, gue serius. Tapi beneran jangan dipotong kalau nggak mau jadi belibet."

"Oke, oke. Terserah, ah." Avana kembali bersiap mendengarkan cerita.

Gilga berdeham untuk mendapatkan suara terbaiknya. "Jadi, pada suatu hari, si beberapa anak Flamma yang biasa lagi cari mangsa di deket sekolah. Nah, waktu itu gue nyuruh Gavin pulang duluan karena gue ada ekskul."

"Terus?" Avana benar-benar mendengarkan dengan serius.

"Sumpah, random asli. Baru lima langkah gue masuk aula. Tiba-tiba ada temen sekelas gue yang nyamperin gue. Wajahnya panik dan ngomongnya gugup gitu."

"Ngomong apa?" Avana semakin penasaran.

"Gavin dipalak sama anak-anak Flamma."

"Seriusan?" Mata Avana melebar terkejut. "Ah, kasihan banget Gavin – terus lo langsung nyamperin?"

"Gue lari, dong!" jeda Gilga. "Bodo amat sama semuanya, deh. Gue cuman khawatir sama sahabat gue – Awalnya gue nggak emosi, sih. Karena semua yang mereka palak, nggak pernah sampai terluka fisik sedikitpun."

"Mereka pukulin Gavin waktu itu?" tebak Avana dengan yakin.

Gilga tidak langsung menjawab, "Um, nggak mukul, sih. Cuman bikin Gavin sesak napas aja.... Sampai hampir pingsan di tanah."

"Gavin ada gangguan kesehatan?" Avana bertanya dengan hati-hati.

"Yeah, asma."

"Oh, gitu." Avana tidak menyangka. Selama ini Gavin terlihat sehat. Ia juga termasuk anak yang tidak bisa diam sehingga banyak beraktifitas fisik. "Oke, terus apa yang lo lakuin?"

"Gue ambil tas Gavin yang dipegang sama salah satu dari mereka. Dia pendek, jadi gampang ngerebutnya. Gue kasih inhaler ke Gavin – sebenernya gue santai Gavin nggak terluka, tapi lihat sahabat gue kesakitan karena orang yang bahkan nggak kenal sama dia, emosi gue tiba-tiba naik, dong!"

"Lo hajar mereka?"

"Jelas!" ucap Gilga sambil menjetikkan jari. "Um, berapa orang, ya, waktu itu? Sekitar enam mungkin, gue agak lupa. Nggak peduli banyak anak atau orang, gue tendang muka mereka satu-satu."

"Wah, langsung?" Avana menangkupkan tangan tidak percaya cowok imut menggemaskan di hadapannya bisa melakukan hal sekasar itu. "Lo sendirian?"

"Sama Aang pengendali udara, Katara pengendali air, Zuko pengendali api, Appa Yipyip menuju tak terbatas dan melampauinya." Gilga berbicara dengan begitu cepat.

"Gilga!" Avana merengek. "Gue serius!"

"Lagian, pertanyaan lo aneh-aneh, deh!" Gilga lumayan kesal karena Avana sepertinya tidak fokus dengan ceritanya. "Kalau ada yang berani ngelawan mereka, mana mungkin mereka terus malak di deket sekolah gue coba."

"Ya, kan gue belum kepikiran." Avana membela diri.

"Itu artinya lo bego," balas Gilga sambil mendorong kening Avana dengan telunjuknya.

"Gue nggak bego. Cuman lemot." Bibir Avana mengerucut. "Dikit – Yaudah terusin. Ada Albi waktu itu?"

"Nggak ada. Habis babak belur mereka pulang, besoknya mereka balik bawa pimpinan mereka. Albi banyak bacot, jadi langsung aja gue tantang dia berantem satu lawan satu."

"Terus Albi kalah, ya?"

"One hit, one kick, one kill." Gilga mempergakan bagaimana ia memukul saat itu.

"Maksudnya?"

"Sekali pukul sama sekali tendang doang, pingsan si Albi. Hidungnya mimisan." Gilga tertawa bangga. "Wakilnya terus ngajak damai. Gue ajuin syarat, dong."

"Apaan?"

"Pertama, gue suruh mereka minta maaf ke Gavin sambil sujud. Keterlaluan, sih. Tapi bodo amat. Kedua, mereka nggak boleh malak murid sekolah gue lagi. Dan mereka juga harus jagain Gavin dari geng lain. Awalnya mereka nggak mau, tapi gue ancam dikitlah kalau gue bakal ajak beberapa geng dari sekolah lain buat hancurin mereka." Gilga tertawa lagi, kali ini meremehkan. "Seminggu kemudian Albi datang lagi, ngajakin berteman. Yaudah, sih. Gue bukan pendendam juga."

"Sedeket apa sama kalian?"

"Sekedar hangout bareng. Kita sama-sama tahu sifat masing-masing, nggak sampai curhat masalah yang pribadi banget."

"Gitu aja? Semudah itu dia percaya lo bisa jaga Flamma?"

"Kan, dia udah tahu gimana gue."

Avana berpangku tangan. "Emangnya lo gimana orangnya?"

Gilga meniru gaya Avana. "Kan, gue udah bilang, lo cari tahu aja sendiri."

"Oke." Avana lalu berdiri tegak. "Lo juga jagoan di sekolah sebelumnya?"

Gilga menggeleng. "Gue murid teladan. Flamma adalah korban pertama gue."

"Lo bisa seemosi itu buat ngebelain Gavin. Lo sayang banget sama dia?" Adalah kesimpulan yang bisa diambil oleh Avana.

"Lo tahu kenapa gue pilih Gavin jadi wakil gue?" Nada bicara Gilga terdengar serius. "Supaya nggak ada yang berani nyakitin dia – Nggak ada yang tahu ini karena gue nggak mau Gavin terluka kalau ada yang ngatain dia pecundang yang berlindung di belakang gue. Itu fakta yang nggak gue suka."

Itu jelas bahwa Gilga mempercayai Avana memegang salah satu rahasianya. "Oke, I get it."

"Hal-hal kayak, gue batalin janji buat hal yang penting apalagi menyangkut orang banyak. Atau gue ninggalin lo waktu kita jalan dan hal nggak menyenangkan lainnya bakal sering terjadi. Entah buat Flamma atau Gavin."

"Ya?" Gilga benar-benar tipe orang yang berbicara secara jelas langsung pada intinya. Untuk sepersekian detik, Avana tertegun.

"Sorry kalau gue nggak pernah bener-bener minta lo buat jadi cewek gue. Bukan gue nggak pingin punya hubungan sama lo, tapi gue rasa waktunya belum tepat."

"Terus apa maksudnya lo ngungkapin perasaan waktu itu?"

"Bokap gue bilang, orang yang suka sama lo nggak akan bikin lo menebak-nebak tentang perasaan yang dia punya buat lo. Gue bilang suka sama lo, karena gue emang suka sama lo. Gue harus pastikan lo tahu itu." 

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now