BAB 27

459 69 9
                                    

"Maaf, Ga." Avana menunduk menyesal.

"Nggak usah lebay!" Gilga terkekeh dengan semua kesabarannya dalam menghadapi sikap Avana yang labil hari ini.

Setelah berpikir ulang, ia merasa tidak seharusnya membuat Gilga kesulitan dengan menuruti keinginannya untuk pergi ke puncak. Avana meminta Gilga untuk berhenti dan putar balik. Tidak banyak yang diucapkan Gilga saat itu – nggak apa-apa, belum terlalu jauh, kok. Avana benar-benar merasa tidak enak hati. Alih-alih lewat kata-kata, Avana menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya melalui tindakan. Avana memeluk erat Gilga dan meletakkan kepala di bahu cowok itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasa lelah dan membutuhkan bahu untuk bersandar.

Ketika Gilga bertanya kemana tujuan mereka selanjutnya, Avana menjawab tanpa ragu – rumah lo. Cukup aneh, namun Gilga tidak mencari tahu lebih banyak. Ia sudah tidak tahan dan ingin segera tahu alasan gadis itu terlihat gelisah hari ini. Itu sebabnya ia sama sekali tidak protes terhadap semua permintaan Avana.

Sampai di rumah Gilga, Avana menyapa Ghani lebih dulu. Sementara Gilga sedang mandi, Avana menunggu cowok itu di halaman belakang sambil melihat bulan dan bintang-bintang yang mulai bermunculan. Ia memberikan waktu lima menit, dan Gilga benar-benar melakukannya. Setelah lima menit lebih beberapa detik, cowok itu menghampiri Avana dengan mengenakan celana pendek dan kemeja oversize. Dan juga di tangannya, menenteng beberapa kantong plastik dan kardus berisi makanan.

"Makan dulu, bos! Laper banget gue." Gilga meletakkan makanan di meja lalu menjatuhkan diri di samping Avana.

"Gila! Laper apa rakus, lo?" sahut Avana tidak percaya dengan banyaknya makanan dan minuman yang di bawa cowok itu.

"Nyetir butuh tenaga, anjir. Mie goreng cuman lewat, doang. Nggak berasa apa-apa damagenya"

"Alasan. Emang dasarnya aja lo rakus. Gue masih inget lo habis nasi dua piring pas pertama kita ketemu."

Gilga tertawa sambil mengunyah paha ayam goreng. "Emangnya hidup mau ngapain kalau nggak makan? Mana bisa hidup tanpa makan? Mana bisa makan kalau nggak hidup? Setuju, pemirsa?"

"Ah, pokoknya lo rakus! Terima aja, kalau nggak terima gelut aja."

"Wih, ampun, gue. Mana berani sama titisan Aphrodite."

"Iyalah. Sekali gue ultimate bisa jadi abu marimas lo!" balas Avana sambil menimati jus tomat kesukaannya.

Hening untu beberapa saat – Gilga menikmati makanannya dan Avana melamun. Gilga merasa ini waktu yang tepat untuk mengobrol dengan nyaman. "Oke, rileks. Jadi, kenapa lo kayak orang bingung? Atau, badmood?"

"Ummm." Pandangan Avana mendadak tidak fokus. Tangannya memegang erat gelas dan kakinya terus bergerak. "Tadi.... yang lo sapa pas ke rumah gue – itu bokap gue."

Gilga sudah menebaknya. Selama ini, Avana tidak pernah menceritakan apapun tentang keluarganya. Gilga tidak mencari tahu, bukan karena tidak peduli. Ia hanya ingin mendengarnya sendiri dari Avana. Gilga ingin Avana memberikan kepercayaan kepada dirinya untuk mengetahui tentang kehidupan gadis itu.

"Oh, gue udah nebak, sih. Mata kalian mirip." Gilga menanggapi sesantai itu. "Emang kenapa? Minta apa emangnya ke bokap lo sampai nggak diturutin? Pasti aneh-aneh, deh."

"Bukan gitu." Avana memasang wajah sedih. Ah, dia benar-benar sedih. "Nyokap-bokap gue mau cerai."

Gilga benar-benar terkejut. Di balik sifat ceria gadis itu, ternyata ia memiliki kisah sedih. Ia meletakkan kentang goreng di tangannya dan membawa Avana ke dalam pelukannya. "Sini. Nggak usah ditahan, nangis aja."

"Gue nggak pingin nangis, Ga. Gue cuman sedih, tapi juga seneng akhirnya mereka memutuskan yang terbaik buat mereka." Avana mengangkat dagu – menatap polos kepada Gilga. "Mereka udah pisah selama lima tahun. Itu sebabnya lo nggak pernah ketemu bokap gue waktu ke rumah. Jadi, nyokap gue di Jakarta dan bokap gue di Singapura."

"Hubungan gue sama bokap, sebaik dan seburuk itu. Maksud gue, kita selalu baik-baik aja setiap ketemu, kayak nggak ada apa-apa. Tapi, kita ketemu atau sekedar telepon, bisa dihitung jari pertahun. Bisa dibilang, gue udah biasa sama keadaan ini."

"Um, lo cuman gugup ketemu bokap lo setelah sekian lama?"

"Dia bokap gue, tapi kayak orang asing – tapi itu bokap gue. Gitulah, susah jelasinnya. I'm okay sama apa yang akan terjadi. Cuman, gue mungkin kesel aja. Gue ngerasanya setelah dia cerai dari nyokap, dia bener-bener jadi orang asing, semacam dia mungkin bukan bokap gue lagi."

Gilga tertawa tanpa tenaga. "Mana bisa! Nggak ada namanya bekas bokap. Ngadi-ngadi lo. Gimanapun juga dia tetep bokap lo, bego!"

"Gue ngerasanya gitu. Gimana, dong?" balas Avana dengan nada dan ekspresi menyebalkan. "Gue juga nggak sebego itu. Tapi gue ngerasanya kayak gitu. Gue harus gimana, dong?"

Gilga menatap Avana datar untuk waktu yang lama. Ia tidak tahan dengan godaan jamur crispy di hadapannya dan memutuskan untuk memakannya. "Nyimak ajalah gue."

"Bingung, kan, lo?" ucap Avana lalu ia terus bermonolog sementara Gilga menikmati makanannya. "Ah, terserahlah pusing gue. Ini, tuh, sebenernya bukan masalah yang ribet. Tapi, entah kenapa tiba-tiba kerasa ribet. Padahal gini, doang. Tapi, lebih susah dari ujian matematika. Soalnya ini ujian kehidupan. Ya, kan?"

"Iya kayaknya," jawab Gilga asal-asalan. "Nggak paham gue sama lo."

"Oh, ya?" sahut Avana sambil menatap langit. "Gue juga nggak paham apa bedanya kita jadian dan enggak. Perasaan sama aja. Sering bareng-bareng. Sering lo tinggal juga."

Gilga berhenti mengunyah dan menoleh Avana. "Apa hubungannya, putri mahkota?"

"Nggak." Avana menggeleng. "Nggak ada."

"Kenapa? Pingin jadi pacar gue sekarang?" Pertanyaan Gilga serius, hanya saja nadanya menggoda.

"Ummm...." Avana menyembunyikan pipi merahnya. "Kan, gue bilang, kita pacaran atau nggak, tuh, nggak ada bedanya. Gue cuman takut aja kalau lo risih, atau gimana gitu."

"Nggak juga." Gilga menggelengkan kepala. "Lo tahu, kan, gimana perasaan gue ke lo?"

"Iya, gue tahu lo bucin ke gue." Avana diam sejenak. "Bukannya apa-apa, sih. Cuman iseng aja. Dan bukan berarti gue merasa digantung sama lo – maksud gue, gue nggak keberatan kalau lo tiba-tiba kayak ngakuin gue sebagai pacar lo, atau semacamnyalah....."

"Anjir!" Gilga tertawa terbahak-bahak dan membuat Avana salah tingkah.

"Brengsek lo!" Avana kesal dan terus memukuli Gilga.

"Ampun, ampun. Sumpah, ampun!" Tawa Gilga perlahan berhenti saat Pada saat itu ponsel Gilga berbunyi. Gilga tidak mengatakan apapun saat menerima panggilan. Ekspresinya juga datar. Meski begitu, Avana bisa menebak itu telepon dari siapa. Tentu saja, anak-anak Flamma.

"Van, lo pulang sama sopir gue, ya? Ada masalah sama Flamma."

"Sekarang banget, nih?" Avana menunjukkan wajah masam. Hal seperti ini sudah sering terjadi. Sebenarnya, Avana sudah terbiasa – yang membuatnya kesal adalah kenapa harus di saat seperti ini. Ketika mereka tengah membahas hal penting tentang masalah keluarga Avana dan hubungan mereka. 

more than you know | gilga & avanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang