BAB 2

1.3K 175 59
                                    

"Wah, baik banget, Gilga Alastair Regardi. Terima kasih." Avana menunjukkan senyum termanisnya saat Gilga datang dengan membawa sepiring nasi dan dua botol air mineral. "Tolong bukain sekalian, dong!"

"Siapa, ya?" jahil Gilga. Ia lalu meletakkan piring miliknya di lantai kemudian melakukan permintaan Avana.

"Hehehe." Avana menerima botol air mineral itu sambil meringis. Makan hanya dengan nasi membuat tenggorokannya terasa kering hingga hampir membuatnya tersedak beberapa kali. "Gue ngomong gitu supaya lo ngerasa nggak enak. Berhasil, kan?"

"Dasar licik." Gilga memulai suapan pertamanya. Pada saat bel istirahat berbunyi, semua murid segera melakuan antri makanan di aula berdasarkan kelompok masing-masing. "Kenapa nggak bawa sendiri, sih, tadi? Gimana kalau gue nggak ada?"

"Penting banget lo?" Avana memegangi perutnya yang terasa penuh. Sebagai hukuman, selain tidak mendapatkan telur, ia juga mendapatkan porsi nasi setengah kali lebih banyak. Mereka juga harus menghabiskannya, tidak boleh tersisa sedikitpun. Avana baru menghabiskan seperempat dan sebenarnya ia tidak yakin bisa melanjutkannya lagi.

"Kenapa?" tanya Gilga.

"Kenyang," jawab Avana. "Gue biasanya makan nasi sedikit, tapi lauknya yang banyak. Eh, sekarang kebalikannya."

"Asyik! Rejeki anak sholeh." Dengan tanpa permisi Gilga memindah semua nasi dari Avana ke piringnya. Semuanya – piring Avana benar-benar bersih.

"Astaga." Avana melongo terkejut. "Lo mau sok keren atau emang udah lama nggak makan? Itu, tuh, banyak banget, gila!"

"Lo nggak lihat tadi selama permainan antar kelompok gue mulu yang bagian beraktifitas fisik paling banyak? Mentang-mentang gue paling atletis. Untung aja gue bego, jadi nurut-nurut aja." Disela mengunyah makanan, Gilga terus berbicara. "Anggap aja ini ucapan terima kasih."

"Ga...." Avana memanggil dengan lirih.

"Apaan?" balas Gilga acuh.

Avana melirik takut kepada beberapa pembina yang melihat ke arah mereka. "Berhenti makan. Kayaknya pengorbanan lo bakal sia-sia, deh!"

Gilga merasa ada yang aneh dengan Avana. Ia pun berhenti makan dan menatap gadis itu. Gilga lalu mengikuti arah pandang Avana dan baru mengerti maksud gadis itu. Gilga mengedarkan pandang seolah mencari seseorang. "Van!"

Seorang pembina yang sedang lewat tak jauh di sebelah mereka menoleh Gilga. Ia juga datang saat Gilga mengayunkan tangan mengundang. "Apaan?"

"Kalau gue kelaparan, terus jatah nasi gue kurang dan gue minta nasi dia," Gilga melirik Avana yang terlihat takut dan khawatir. "....gue bakal dihukum nggak?"

"Nggak!" jawab Ivan singkat. "Makan aja. Jangan banyak bacot."

"Siap, kakak!" Gilga tersenyum bodoh.

"Haaaah?" Avana melongo tidak percaya. Sebenarnya siapa cowok ini? Kenapa ia seolah bisa mengendalikan keadaan seperti yang diinginkannya. Ia semakin penasaran. Avana lalu berpangku dagu melihat Gilga makan dengan lahap. "Ga?"

"Minum, tolong!" ujar Gilga sambil berusaha menelan nasi di mulutnya.

"Terima kasih." Avana memberikan minumannya yang masih banyak kepada Gilga. "Dua kali."

"Banyak banget?" Gilga mengerutkan kening.

"Oke." Avana menghela napas dalam. "Tadi lo tukar posisi sama gue, supaya gue nggak kepanasan, kan?"

Gilga tidak menggubris. Ia terus menikmati makanannya. Sengaja menghindar karena cukup terkejut ternyata Avana adalah sosok yang blak-blakkan. Tidak habis pikir, gadis itu akan berterus terang langsung kepadanya seperti itu.

"Jawab, dong? Gue cukup peka atau ke-geer-an?"

"Anggap aja itu sebagai bentuk permintaan maaf gue karena bikin lo dihukum." Sejujurnya, entah kenapa ia sedikit gugup. Gilga adalah orang yang tidak suka basa-basi. Dan terasa aneh ketika ia menemukan seorang gadis dengan sifat yang mirip seperti itu.

"Oke." Avana tersenyum. "Kalau bawain minuman, dalam rangka apa? Minta maaf juga."

Gilga mengangguk. "Semacam efek samping."

"Yeeee, emangnya obat!" sahut Avana. "Terus, kalau habisin nasi gue? Karena butuh atau pengorbanan?"

"Maunya aja apa?"

"Maunya jangan berhenti perhatian sama gue." Avana meringis manis. Tidak berniat menggoda. Ia hanya cukup tertarik. Selain wajahnya yang merupakan tipenya, sifat tidak tertebak Gilga, juga membuat Avana ingin tahu lebih banyak tentang cowok itu.

Gilga berhenti mengunyah dan terkekeh. Ia lalu menatap dalam kepada Avana. Jika diperhatikan dengan saksama, Avana cukup cantik. Matanya hitamnya berbinar, hidung kecilnya yang mancung, bibir merah mudanya yang tipis dan rambut hitam panjang sebahunya. Gadis itu banyak bicara, tapi sama tidak terdengar mengganggu.

"Jangan ngelihatin gue kayak gitu. Gue nggak bisa nolong kalau lo jatuh cinta." Avana tersenyum mengejek. "Dan juga, gue nggak percaya sama cinta pandangan pertama. Itu cuman bahasa halus dari napsu."

Gilga tertawa. "Wah, bener-bener, nih, cewek!"

"Cantik, ya?" timpal Avana sambil berkedip mata manja.

Gilga mengerutkan kedua alisnya dan menatap Avana tanpa berkedip. Ia mendesis lalu sembari mengambil piring Avana untuk dikembalikan, Gilga berkata, "Mulai sekarang jangan pernah hilang dari pandangan gue."

more than you know | gilga & avanaWhere stories live. Discover now